Benny Tjokro Divonis Nihil, tetapi Dihukum Bayar Rp 5,73 Triliun
Vonis nihil dijatuhkan karena Benny Tjokrosaputro sudah divonis hukuman seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Selain itu, tuntutan hukuman mati oleh jaksa tak ada dalam surat dakwaan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang di PT Asabri, Benny Tjokrosaputro, divonis nihil oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta di Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2023). Vonis ini dijatuhkan dengan alasan Benny sudah dijatuhi pidana seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Meski demikian, majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 5,73 triliun.
Oleh majelis hakim yang dipimpin Ignatius Eko Purwanto, Benny dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dana investasi di PT Asabri dalam rentang waktu 2012-2019.
”Menyatakan terdakwa Benny Tjokrosaputro secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana nihil,” ucap Ignatius dalam sidang.
Adapun menyangkut pidana uang pengganti, turut diperhitungkan barang bukti yang disita dari Benny, berupa 1.069 tanah dan bangunan yang dirampas untuk negara. Jika setelah putusan berkekuatan hukum tetap, seluruhnya dilelang dan hasilnya melebihi uang pengganti, maka sisanya dikembalikan kepada terpidana.
”Namun, apabila hasil lelang tidak mencukupi dan terpidana tidak membayar kekurangan paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan dilelang untuk menutupi uang pengganti,” kata Ignatius.
Untuk diketahui, dalam kasus Jiwasraya, selain dijatuhi pidana penjara seumur hidup, Benny juga dipidana membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 6,078 triliun.
Dalam amar putusannya, majelis hakim memberikan beberapa pertimbangan mengapa tuntutan hukuman mati oleh jaksa tidak dapat dikabulkan. Pertama, tuntutan dari jaksa tidak sesuai dengan surat dakwaan.
Jaksa mendakwa Benny dengan Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup. Adapun pada tuntutan, jaksa menggunakan Pasal 2 Ayat (2) dalam undang-undang yang sama dengan ancaman hukuman mati.
Surat tuntutan jaksa di luar dari dakwaan. Untuk itu, tuntutan hukuman mati dikesampingkan.
Majelis hakim menilai, perbedaan antara surat dakwaan dan tuntutan membuat pidana mati tidak bisa diberlakukan.
”Tuntutan haruslah didasarkan pada surat dakwaan yang sudah ada dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,” tambahnya.
Tindakan berulang
Alasan lain, pemberlakuan pidana mati akibat perbuatan korupsi sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus memenuhi beberapa kondisi, seperti korupsi dilakukan dengan menggunakan dana bantuan bencana alam, saat krisis keuangan, atau tindakan korupsi dilakukan berulang-ulang.
Berkaca pada hal tersebut, jaksa dinilai tidak mampu menunjukkan bahwa Benny memenuhi unsur di atas sehingga layak dihukum mati.
”Tindakan korupsi Benny di Jiwasraya, lalu di Asabri, bukanlah berulang, tapi concurus realis atau penggabungan tindakan korupsi yang dilakukan pada waktu bersamaan,” katanya.
Terakhir, Benny tidak bisa dijatuhi hukuman mati pada kasus Asabri karena sudah dipidana pada kasus Jiwasraya. Hakim menjelaskan, berdasarkan Pasal 67 KUHP, apabila seseorang sudah dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman mati pada suatu perkara, ia tidak bisa lagi dijatuhi hukuman yang sama pada perkara lain. Terdakwa hanya bisa dijatuhi hukuman berupa pencabutan hak-hak tertentu atau sesuai pengumuman putusan hakim.
Atas vonis hakim tersebut, jaksa belum memutuskan menerima atau mengajukan banding. ”Kami menghormati putusan hakim dan pikir-pikir dulu tujuh hari ke depan," ujar Jaksa Sophan.
Sikap serupa disampaikan oleh kuasa hukum Benny, Aditya Warman.
Sebelum dijatuhkannya vonis nihil untuk Benny, terdakwa korupsi Asabri lainnya, Heru Hidayat, juga divonis nihil majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/1/2022). Majelis hakim kala itu juga dipimpin oleh Ignatius Eko Purwanto.
Alasannya mirip. Tuntutan hukuman mati oleh jaksa dinilai tidak ada dalam surat dakwaan jaksa terhadap Heru Hidayat. Selain itu, Heru telah dihukum seumur hidup untuk korupsi di PT Jiwasraya.