Dibutuhkan Penataan Ulang pada Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Pencucian Uang
Kajian yuridis normatif mengindikasikan pengaturan soal kewenangan penyidikan TPPU memiliki kelemahan. Salah satunya tak ada kewajiban penyidik tindak pidana asal melakukan penyidikan lanjutan terkait TPPU.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kajian yuridis normatif mengindikasikan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang atau TPPU memiliki kelemahan. Penyidik tindak pidana asal, salah satunya, tidak diwajibkan melakukan penyidikan lanjutan terkait TPPU. Hal itu menimbulkan inefisiensi pada penegakan hukum, dan merugikan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan untuk menata kembali pengaturan mengenai kewenangan dalam menyidik TPPU.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian RI Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto saat mempertahankan disertasinya yang berjudul ”Disharmoni Hukum dalam Regulasi Proses Penyidikan TPPU di Indonesia”, di Sidang Akademik Terbuka Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, Kamis (1/9/2022). Dari ujian untuk memperoleh gelar doktor bidang ilmu hukum tersebut, Arief memperoleh gelar doktor dengan predikat summa cum laude.
Lebih lanjut Arief mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi kelemahan pada pengaturan mengenai kewenangan penyidikan TPPU. Hal itu di antaranya tidak ada kewajiban penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penyidikan TPPU, dan tidak ada pengaturan yang jelas mengenai pola dan hubungan tata kerja antara penyidik Polri dan penyidik tindak pidana asal lainnya.
Kelemahan lainnya adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai koordinasi antarinstitusi penyidik di lingkungan internal Polri, serta tidak adanya pedoman atau panduan pembinaan dan pengembangan profesionalitas, integritas, dan moralitas penyidik. ”Selain itu terdapat disharmoni pengaturan mengenai kewenangan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) yang menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama terkait dengan kewenangan beberapa institusi penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penahanan,” ujarnya.
Ujian disertasi itu turut dihadiri oleh Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Arief mengatakan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memacu kemajuan kehidupan. Di satu sisi memberikan manfaat yang cukup besar, tetapi di sisi lain juga memberikan dampak yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Bahkan modus kejahatan semakin canggih sehingga sulit dideteksi, melintasi batas wilayah negara, serta menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Pelaku kejahatan akan menyamarkan harta hasil kejahatan dengan berbagai cara agar harta yang bersumber dari kejahatan menjadi seolah-olah dari sumber resmi. Mereka melakukan pencucian uang dengan cara penempatan, pemisahan, dan penggabungan harta hasil kejahatan.
Pencucian uang, lanjut Arief, telah menimbulkan dampak negatif terhadap tatanan kehidupan, sistem perekonomian, dan keuangan masyarakat. Pencucian uang yang marak akan dapat mengganggu kegiatan sektor swasta yang sehat, merongrong integritas pasar keuangan, serta dapat menghilangkan kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi.
”Bahkan pencucian uang dapat mendistorsi ekonomi karena menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari penerimaan pajak, membahayakan privatisasi perusahaan negara oleh pemerintah, merusak reputasi negara, dan tingginya biaya sosial,” ujarnya.
Pencucian uang, lanjut Arief, telah menimbulkan dampak negatif terhadap tatanan kehidupan, sistem perekonomian, dan keuangan masyarakat.
Indonesia pun telah menindaklanjuti ancaman tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dalam regulasi tersebut, pengaturan mengenai kewenangan penyidikan dan pelaksanaannya melibatkan banyak institusi, baik penyidik dari Polri maupun penyidik di luar Polri. Banyaknya institusi penyidik itu disebabkan TPPU bukan tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan kelanjutan dari tindak pidana asal.
Polri pun bukan menjadi satu-satunya institusi yang berwenang untuk menyidik TPPU. Pola dan hubungan tata kerja antara penyidik Polri dan penyidik tindak pidana asal juga tidak diatur secara jelas. Bahkan di lingkungan internal Polri juga tidak ada pengaturan khusus mengenai koordinasi antarpenyidik. Dengan pengaturan seperti itu, terdapat potensi tumpang tindih kewenangan yang disertai dengan perbedaan penafsiran dan perlakuan dalam penanganan penyidikan TPPU.
”Sejalan dengan itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai koordinasi antarinstitusi penyidik, terutama untuk mencegah penonjolan sikap ego sektoral dan perbedaan penafsiran hukum dalam proses penyidikan TPPU,” kata Arief.
Oleh karena itu, ia menilai perlu beberapa perbaikan untuk mengoptimalkan penanganan TPPU, di antaranya pemerintah perlu menyusun naskah akademik untuk merevisi UU TPPU guna memperkuat jaminan dan kepastian hukum. Selain itu, perlu penyelarasan kewenangan penyidik tindak pidana asal di luar institusi Polri dalam menyidik dan menahan tersangka TPPU.
”Arahnya untuk menegaskan ketentuan tentang kedudukan dan kewenangan institusi Polri sebagai penyidik utama perkara TPPU. Peran institusi penyidik tindak pidana di luar institusi Polri sebagai pendukung penyidik Polri dalam menyidik TPPU,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Arief, Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2019 perlu direvisi untuk memperjelas kewajiban penyidik Polri di luar Subdit TPPU untuk berkoordinasi dengan Subdit TPPU. Koordinasi tersebut saling terkait jika laporan hasil penyidikan tindak pidana asal menunjukkan adanya indikasi praktik pencucian uang.
Guru Besar Hukum Pidana sekaligus promotor Arief, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, penelitian yang dilakukan Arief mampu mengembangkan teori yang sudah ada. Arief tak hanya meneliti kepastian hukum dan keadilan atas kasus TPPU, tetapi juga kemanfaatan dari penyidikan TPPU.