Perkuat Demokrasi Parpol Sebelum Tentukan Sistem Pemilu
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengatakan, sebelum menentukan sistem pemilu antara proporsional terbuka atau tertutup, sebaiknya yang lebih utama ditangani adalah penguatan parpol.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Apa pun pilihan sistem pemilu yang diadopsi, tidak akan menghasilkan sistem pemilu demokrasi jika partai politik belum menjalankan fungsinya secara demokratis. Oleh karena itu, penguatan fungsi parpol seharusnya lebih diutamakan sebelum memilih sistem pemilu yang paling tepat diterapkan di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengatakan, sebelum menentukan sistem pemilu antara proporsional terbuka atau proporsional tertutup, sebaiknya yang lebih utama ditangani adalah penguatan partai politik. Sebab, sistem politik demokrasi hanya akan terkonsolidasi dengan baik jika parpol telah menjalankan fungsinya dengan baik.
Sebagai negara demokrasi perwakilan, lanjutnya, parpol memegang dua peran penting. Pertama, menyiapkan calon pemimpin dan menawarkannya kepada rakyat saat pemilu. Kedua, merumuskan rencana kebijakan publik berdasarkan aspirasi rakyat dan ideologi partai untuk ditawarkan kepada rakyat saat pemilu.
Maka, sebagai pilar dan penggerak demokrasi perwakilan, pengelolaan parpol dalam menjalankan kedua fungsi tersebut harus dilaksanakan secara demokratis. Tanpa prasyarat itu, pilihan sistem pemilu apa pun tidak akan menghasilkan penguatan demokrasi. Bahkan parpol sebagai penggerak demokrasi perwakilan bisa kehilangan legitimasinya di mata rakyat.
Parpol memegang dua peran penting. Pertama, menyiapkan calon pemimpin dan menawarkannya kepada rakyat saat pemilu. Kedua, merumuskan rencana kebijakan publik berdasarkan aspirasi rakyat dan ideologi partai untuk ditawarkan kepada rakyat saat pemilu.
”Sistem pemilu apa pun tidak akan menghasilkan sistem pemilu demokrasi bila partai belum melaksanakan kedua peran atau fungsi tersebut secara demokratis. Tidak ada gunanya mengadopsi sistem pemilu apa pun bila partai tidak melaksanakan kedua fungsi itu secara demokratis,” ujar Ramlan di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Adapun wacana penerapan kembali sistem pemilu proporsional daftar tertutup muncul seiring dengan adanya uji materi Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebanyak sembilan parpol parlemen pun menyatakan penolakan sistem proporsional tertutup. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memiliki sikap yang berbeda dengan mendukung sistem proporsional tertutup.
Pucuk pimpinan dari parpol yang menolak sistem proporsional tertutup bahkan menyatakan sikap bersama-sama di Jakarta, Minggu (8/1/2023). Tujuh parpol itu ialah Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Nasdem, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Adapun pucuk pimpinan Gerindra tidak hadir, tetapi menyatakan sepakat dengan poin penolakansistem proporsional tertutup.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, munculnya keinginan kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penerapan sistem proporsional terbuka. Sebab, kompleksitas dan realitas sistem proporsional terbuka terkesan melemahkan parpol karena kekuatan utamanya ada pada figur kandidat populis. Bahkan cenderung tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh parpol.
Tidak ada gunanya mengadopsi sistem pemilu apa pun bila partai tidak melaksanakan kedua fungsi itu secara demokratis.
”Menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena antitesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu, dan kompetensi 575 anggota DPR yang terpilih di periode sekarang. Walaupun mereka dipilih rakyat secara langsung, produk undang-undang yang dihasilkan jauh dari jeroan selera rakyat, undang-undang untuk kepentingan elite semata,” katanya.
Pihak terkait
Sementara itu, terkait gugatan sistem pemilu di MK, Partai Keadilan Sejahtera, Senin, telah mendaftarkan permohonan sebagai pihak terkait pada permohonan pengujian UU Pemilu terkait sistem pemilu proporsional terbuka. Pendaftaran PKS sebagai pihak terkait untuk meminta MK tetap konsisten dengan putusannya pada 2008 lalu, bahwa pemilu digelar dengan sistem proporsional terbuka sesuai Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu.
PKS memandang putusan MK pada 2008 lalu, yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bisa mengenal, memililh, dan menetapkan wakil mereka secara langsung, orang per orang. Sistem proporsional terbuka dinilai tidak lagi menyerahkan kewenangan penuh kepada partai politik.
Kuasa Hukum PKS, Zainudin Paru, menilai, pengujian UU Pemilu agar mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Terlebih, pengujian sistem pemilu ini sudah pernah diuji di MK sehingga pengawal konstitusi tersebut diharapkan tetap pada putusan yang pernah dibuatnya.
”PKS memandang putusan MK pada 2008 lalu, yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bisa mengenal, memililh, dan menetapkan wakil mereka secara langsung, orang per orang. Sistem proporsional terbuka dinilai tidak lagi menyerahkan kewenangan penuh pada partai politik,” ujarnya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Mochammad Afifuddin, menegaskan, KPU sebagai pelaksana undang-undang selalu bekerja sesuai aturan yang berlaku. Tahapan pemilu yang saat ini dilaksanakan oleh KPU dilakukan berdasarkan pemilu yang menganut sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. ”KPU sebagai pelaksana undang-undang tidak memiliki kecondongan ke sistem pemilu tertentu,” katanya.