MK Diminta Batalkan Larangan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode
Majelis panel hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim soal uji materi pasal di UU Pemilu yang melarang presiden dan wakil presiden dua periode untuk mengajukan diri sebagai capres-cawapres.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur larangan presiden dan wakil presiden dua periode untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Setelah dua sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan, MK akan menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menentukan apakah perkara yang diajukan oleh Partai Berkarya tersebut dilanjutkan atau tidak.
Ketua majelis panel, Guntur Hamzah, dalam sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (9/1/2023), mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan informasi dan data terkait perbaikan permohonan yang dilakukan. ”Selanjutnya, kita para Yang Mulia akan mengadakan RPH (rapat permusyawaratan hakim) dan hasil RPH itu akan disampaikan kepada pemohon, kepada kuasa, melalui kepaniteraan,” tutur Guntur.
Sebelumnya, Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu beserta penjelasannya dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu. Pasal tersebut mengatur persyaratan menjadi capres dan cawapres, antara lain belum pernah menjabat sebagai presiden dan wapres selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, baik berturut-turut maupun tidak.
Dalam permohonannya, Partai Berkarya merasa hak konstitusionalnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden terganggu dan dibatasi dengan ketentuan tersebut. Hal itu juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22 E Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal-pasal tersebut menjamin hak partai politik untuk mengusung pasangan capres/cawapres dalam pemilu serta hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil.
Ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU Pemilu, oleh pemohon, juga dinilai keliru dalam menerjemahkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan masing-masing Presiden dan Wakil Presiden sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Partai Berkarya merupakan partai politik peserta Pemilu 2019 dengan perolehan suara 2.929.495 atau setara dengan 2,09 persen dari suara nasional. Jumlah suara Partai Berkarya berada di bawah Partai Perindo dengan 3.738.320 suara atau setara 2,67 persen.
Dalam sidang pada Senin siang, kuasa hukum Partai Berkarya, Rino, menyatakan bahwa kliennya tidak tercantum dalam Surat Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu tertanggal 14 Desember 2022. ”Sehingga pemohon tidak termasuk partai politik peserta Pemilu 2024. Meskipun pemohon bukan sebagai partai politik peserta Pemilu 2024, pemohon berpendapat tetap memiliki legal standing dari sudut pandang lain,” kata Rino sembari bernjanji akan menguraikannya dalam berkas permohonan.
Guntur Hamzah mengatakan, status Partai Berkarya sebagai partai politik yang tidak ikut serta dalam Pemilu 2024 menjadi catatan MK.
Dalam persidangan sebelumnya, pada 15 Desember 2022, persoalan tersebut menjadi pertanyaan para anggota majelis panel. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, misalnya, mempertanyakan apakah Partai Berkarya pernah ikut pemilu sebelumnya dan akan menjadi peserta pada pemilu mendatang ataukah tidak. Sebab, hal itu sangat penting dalam menentukan apakah partai itu memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mempersoalkan pasal persyaratan capres/cawapres ataukah tidak.
”Kalau legal standing-nya enggak kuat, enggak bisa masuk, nanti NO (niet ontvankelijke verklaard), ya,” katanya.