Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Langgar Etik dan Moral Politik
Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengigatkan, politik tidak semata-mata bagaimana meraih kejayaan dan mempertahankan kekuasaan. Ada pula etik dan moral yang mestinya juga dimiliki oleh para tokoh politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden tidak sesuai dengan semangat Reformasi 1998. Sebab, salah satu semangat yang diusung oleh Reformasi ialah adanya pembatasan kekuasaan.
Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, isu penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan bisa saja tetap diembuskan, atau bahkan diupayakan dengan membangun persepsi publik, serta membuat dukungan dari survei-survei politik. Namun, jika itu yang dipaksakan dilakukan oleh tokoh-tokoh politik, warisan yang mereka tinggalkan bagi generasi selanjutnya bukanlah warisan yang baik. Ini karena tindakan itu melanggar semangat Reformasi, yang salah satunya adalah pembatasan masa kekuasaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kalau ingin meninggalkan legacy (warisan), tinggalkan legacy yang baik karena soal legacy itu tidak ditentukan dari seberapa lama seseorang itu memegang jabatan,” katanya saat menjadi salah satu narasumber dalam diskusi Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), bertajuk ”Telaah Kritis Usul Perpanjangan Masa Jabatan Presiden,” Rabu (9/3/2022), yang disiarkan secara daring.
Narasumber lainnya ialah Ray Rangkuti, pendiri Lingkar Madani; dan Nurliah Nurdin, Dewan Pakar MIPI.
Mu’ti mengatakan, jika kekuasaan menghendaki, logika hukum dalam penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden bisa saja digunakan. Salah satunya dengan mengubah konstitusi. Namun, tindakan itu sekalipun dalam logika hukum bisa saja dilakukan, secara etik dan moral politik tidak pantas dilakukan.
”Kalau mau bisa saja logika hukum itu didorong dengan membangun persepsi publik. Survei-survei politik yang mendukung itu bisa saja dilakukan,” katanya.
Namun, sebagai sebuah keadaban, politik tidak semata-mata bagaimana meraih kejayaan, dan mempertahankan kekuasaan. Ada pula etik dan moral yang mestinya juga dimiliki oleh para tokoh politik. ”Ada pertimbangan pantas ataukah tidak hal itu dilakukan,” ujarnya.
Sementara itu, Nurliah Nurdin mengatakan, sejumlah partai yang berdiri di era Reformasi, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), adalah partai yang mengusung pembatasan masa jabatan presiden. Namun, ternyata kedua partai itu kini malah mengusulkan penundaan pemilu, yang itu dapat berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden.
”PKB dan PAN yang dulu ikut mengawal Reformasi kita dan membatasi masa jabatan presiden. Itu kan misi Reformasi 1998-1999,” katanya.
Amanat Reformasi ini juga telah ditetapkan di dalam Pasal 7 dan Pasal 22 E Undang-undnag Dasar 1945, yakni pemilu harus digelar lima tahun sekali, dan presiden maupun wakil presiden hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
”Salah satu ciri negara demokrasi ialah periodic election dan itu sudah dicantumkan di dalam konstitusi,” ujar Nurliah.
Sementara itu, menurut Ray Rangkuti, dalam sejarahnya, Indonesia memang pernah memundurkan ataupun memajukan pemilu. Setidaknya ada empat kali pemilu diundur dan dimajukan, yakni dari 1946 dimundurkan ke 1955, 1968 dimundurkan ke 1971, 1976 dimundurkan ke 1977, serta 2002 yang dimajukan ke 1999.
Namun, pemunduran dan pemajuan pemilu itu kerap kali dipicu oleh situasi sosial dan politik yang tidak stabil. Kondisi yang serupa tidak didapati dalam situasi Indonesia saat ini. Jika penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tetap dilakukan, justru hal itu yang akan menimbulkan kegaduhan politik.