Harlah Emas dan Asa Mengembalikan Kejayaan PPP
Pada Harlah Emas tahun ini, PPP optimistis dapat mengembalikan kejayaannya. Target 40 persen kursi DPR pada Pemilu 2024 ditetapkan. Lalu, apa saja strategi yang dilancarkan PPP untuk mencapai target elektoral itu?
- PPP menargetkan meraih 40 kursi DPR pada Pemilu 2024.
- Untuk dapat mencapai target itu, PPP mengembalikan logo partai sama seperti logo awal saat partai ini didirikan pada 1973.
- Perekrutan anggota baru juga digencarkan dengan membuka kesempatan banyak kalangan untuk mendaftar sebagai bakal caleg PPP.
”Mabruuk alfa mabruuk ’alaika mabruuk. Mabruuk alfa mabruuk ‘alaika mabruuk. Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk....”
Lantunan lagu berjudul ”Mabruk Alfa Mabruk” menggema di lantai III kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kamis (5/1/2023) sore. Lagu berbahasa Arab yang berisi doa atau harapan untuk mendapatkan beribu berkah di hari lahir itu mengiringi pemotongan tumpeng pada perayaan Hari Lahir (Harlah) Ke-50 PPP.
Ketua Majelis Kehormatan PPP Zarkasih Nur didapuk untuk memotong tumpeng. Zarkasih diapit Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi, mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, serta jajaran pengurus lainnya. Potongan tumpeng pertama kemudian diserahkan kepada Mardiono yang baru empat bulan menduduki pucuk tertinggi kepemimpinan di PPP.
Wajah semringah para pengurus dan kader tetap terlihat meski Harlah Emas PPP dirayakan dengan sederhana. Tepat pukul 17.00, PPP mengenalkan nomor urut baru sebagai parpol peserta pemilu, yaitu 17. Angka itu diharapkan membawa hoki karena dimaknai sebagai satu tujuan untuk menjemput kemenangan.
Seusai acara, Mardiono menuturkan, di usia emasnya, PPP menargetkan bisa menguasai setidaknya 40 kursi DPR pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Jika melihat kursi PPP di DPR saat ini yang hanya 19 kursi, target itu memang terkesan muluk. Namun, jika melihat sejarah panjang PPP sejak kelahirannya pada 5 Januari 1973, wajar jika partai berlambang Kabah itu percaya diri memasang target kenaikan raihan kursi parlemen lebih dari 100 persen.
Selama masa Orde Baru, PPP yang merupakan fusi dari empat partai keagamaan, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), menjadi wadah serta saluran aspirasi politik kalangan Muslim di Tanah Air. PPP merupakan pusat kekuatan politik Islam kala itu.
Pada pemilu pertamanya tahun 1977, PPP meraih 18,74 juta atau 29,29 persen suara sah nasional. Dengan perolehan suara itu, PPP berhasil menguasai 99 atau 27,12 kursi DPR. Jika dibandingkan perolehan kursi gabungan empat partai politik (parpol) di Pemilu 1971, perolehan PPP itu naik lima kursi. Raihan itu menempatkan PPP menjadi pemenang kedua pemilu setelah Golongan Karya (sekarang Partai Golkar).
Raihan suara dan kursi parlemen PPP memang terus turun pada Pemilu 1982, 1987, hingga 1992. Namun, PPP tetap menjadi pemenang kedua dalam tiga kali pemilu tersebut. Selain itu, pada Pemilu 1997, perolehan suara dan kursi PPP melonjak. Dari 17,01 persen di Pemilu 1992 menjadi 22,43 persen suara sah nasional pada 1997. Dari62 kursi DPR menjadi 89 atau 20,94 persen kursi pada 1997.
Sayangya setelah sempat melonjak, perolehan suara dan kursi PPP kembali turun pasca-reformasi 1998. Pada Pemilu 1999, misalnya, PPP hanya meraih 10,79 persen suara sah nasional dengan 58 kursi DPR. Namun kala itu, pemilu diikuti oleh 48 parpol. Sebagian parpol peserta pemilu itu pun berasal sekaligus menyasar ceruk yang sama, yakni kalangan Muslim Indonesia yang selama Orde Baru memberikan suara mereka kepada PPP.
Terbuka luasnya keran kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk mendirikan parpol, membuat banyak kekuatan politik memutuskan membentuk parpol sendiri, termasuk kelompok Muslim. Dari 48 parpol peserta Pemilu 1999, setidaknya 15 parpol di antaranya didirikan oleh tokoh Muslim dan menyasar ceruk suara dari kalangan umat Islam di Indonesia.
Salah satunya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan oleh para tokoh NU, seperti KH Abdurrahmah Wahid atau Gus Dur, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruhiat, dan KH A Muchith Muzadi. Meski bukan sempalan PPP, keberadaan PKB berpengaruh pada dukungan suara bagi PPP. Sebagian warga NU yang selama Orba memberikan suara pada PPP beralih mendukung PKB.
Selain itu, ada pula Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan Amien Rais yang kala itu merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Meski setelah mendirikan PAN Amien mundur dari jabatannya di PP Muhammadiyah, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang memberikan dukungan dan suara pada PAN. Pada masa Orba, sebagian warga Muhammadiyah juga menyalurkan suara mereka lewat PPP.
Kemudian ada Partai Bulan Bintang (PBB). Parpol yang mengklaim sebagai penerus Masyumi itu didirikan dan didukung sejumlah ormas Islam nasional, seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). PBB juga didukung Perti, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, dan lainnya.
Semakin banyaknya parpol yang mengincar ceruk pemilih Muslim membuat dukungan pada PPP terus tergerus. Apalagi pada 2002, sebagian pengurus PPP memisahkan diri dan membentuk PPP Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan KH Zainuddin MZ yang dikenal luas dengan julukan Da'i Sejuta Umat.
Namun rupanya, PPP tetap bisa bertahan dan meraih 58 kursi pada Pemilu 2004. Baru pada Pemilu 2009 raihan kursi PPP turun menjadi 38, tetapi kemudian kembali naik menjadi 39 kursi DPR di Pemilu 2014. Padahal kala itu PPP tengah mengalami konflik internal.
Catatan Kompas, pada 23 Maret 2014, terjadi pembelahan di internal parpol pada saat Ketua Umum Suryadharma Ali dan Ketua DPP PPP Djan Faridz menghadiri kampanye Partai Gerindra. Saat itu, PPP belum menentukan apakah akan mengusung capres Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Namun, kehadiran Suryadharma dan Djan Faridz menyiratkan dukungan.
PPP kemudian terbelah menjadi dua kubu, yaitu Suryadharma dan Djan Faridz, dengan Sekjen PPP Romahurmuziy dan Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi. Ini pula yang menjadi cikal bakal perseteruan dualisme kemimpinan PPP, yakni kubu Djan Faridz dan kubu Romahurmuziy.
Perpecahan PPP di Pemilu 2014 Infografik
”Kami bisa menaikkan perolehan suara dan kursi di 2014, padahal saat itu konsolidasi partai tidak sebagus sekarang,” kata Mardiono saat peringatan Harlah PPP.
Pada 2019, perolehan kursi PPP turun dari 39 menjadi 19 kursi DPR. Namun, menurut Mardiono, hal itu bukan karena konstituen mulai meninggalkan PPP, tetapi karena sebagian kader trauma dengan dualisme kepengurusan PPP sehingga tidak bekerja secara maksimal.
”Memotret dari dua kasus ini, kami mengecek bahwa konstituen kami masih utuh. Hasil survei internal ataupun eksternal juga menunjukkan konstituen PPP masih loyal. Loyalitas konstituen itu merupakan salah satu modal untuk mencapai target 40 kursi DPR,” tuturnya.
Konsolidasi kader
Saat ini, PPP juga sudah menggelar konsolidasi kader di seluruh Indonesia. Untuk memanaskan mesin politik di daerah, Mardiono, bahkan, sudah mengunjungi pengurus di 28 provinsi. ”Saya ke daerah-daerah sampai Papua, melihat semangat kader-kader kami tinggi. Belum pernah kader sesemangat ini, sekondusif ini, sesolid ini di PPP. Ini persiapan yang terbaik untuk PPP menjemput kemenangan di 2024,” ucapnya.
Kami mengecek bahwa konstituen kami masih utuh. Hasil survei internal ataupun eksternal juga menunjukkan konstituen PPP masih loyal. Loyalitas konstituen itu merupakan salah satu modal untuk mencapai target 40 kursi DPR
PPP juga berupaya menambah kekuatan dengan merekrut anggota baru, salah satunya melalui pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) di berbagai daerah. Pada peringatan harlah pekan lalu, PPP mengumumkan empat anggota yang baru bergabung. Mereka adalah mantan Deputi II Badan Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal TNI (Purn) Neno Hamriono, mantan Ketua KPU DKI Jakarta sekaligus Pengurus Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Dahliah Umar, Ketua Umum Serikat Nelayan NU Wicaksono, dan mantan Ketua Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Fathan Hamil.
”Masih banyak tokoh yang akan bergabung. Menurut rencana, saya umumkan nanti pada puncak harlah,” tuturnya.
Baca juga: Targetkan 40 Kursi DPR di Pemilu 2024, PPP Tambah Kekuatan
Selain di pusat, banyak tokoh daerah yang juga bergabung dengan PPP. Sebagian dari mereka telah mendaftar sebagai bakal caleg di berbagai daerah di Indonesia.
Strategi lain adalah dengan mengubah logo menyusul perubahan nomor urut PPP menjadi 17. Logo baru PPP hanya berupa gambar Ka’bah tanpa ikat kepala merah-putih, sama dengan logo lama saat partai tersebut didirikan 50 tahun lalu. Keputusan kembali ke logo lama merupakan keinginan 86 persen kader.
Bukan hanya sudah dikenal luas oleh masyarakat, logo gambar Ka’bah itu pun juga didapat dari hasil shalat Istikharah para pendiri PPP di Tanah Suci. ”Dengan logo yang sama (dengan logo lama), kemudian juga warna yang sama, orang di kampung pun sudah mengenali,” kata Mardiono.
Arsul Sani menambahkan, konsolidasi ke akar rumput juga berbeda dengan dua pemilu sebelumnya. Konflik di internal partai yang sudah selesai, diharapkan juga tidak terjadi lagi. ”2014 dan 2019 berbeda karena setiap mau pemilu didahului dengan konflik. Kalau kemarin, memang ada konflik tetapi sudah selesai. Insya Allah konsolidasi di internal partai berjalan, dan soliditas partai tetap kuat,” terangnya.
Terobosan
Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor berpadangan, untuk mencapai target 40 kursi DPR, terobosan mutlak dilakukan oleh PPP. Jika melihat data perolehan suara sebelum reformasi jumlah suara tertinggi pernah dicapai PPP di tahun 1977, yakni 29,29 persen suara sah nasional dengan 99 atau 27,12 kursi DPR.
Namun, setelah reformasi, suara PPP terus menurun. ”Di awal reformasi, capaian masih cukup besar karena ada sisa-sisa loyalis yang memilih PPP. Namun, sekarang, jumlahnya sudah memprihatinkan karena terus menurun,” katanya. Pada Pemilu 1999, PPP masih mendapatkan dukungan dari 10,79 persen pemilih.
Oleh karena itu, Firman menyarankan PPP melakukan penyegaran. Selain melakukan rebranding parpol, PPP juga perlu mendekati basis kelompok muda. Salah satunya dengan memperjuangkan hal-hal riil bagi generasi muda agar mudah mendapatkan pekerjaan di masa depan. PPP juga harus bisa mengarahkan bonus demografi agar bisa dimanfaatkan Indonesia di tahun 2045. PPP perlu mendekati basis kelompok muda.
Hal yang tak kalah penting adalah menjaga PPP dari konflik internal, karena itulah yang menyebabkan konsolidasi terbengkalai. Kader-kader PPP tidak leluasa bergerak untuk sosialisasi atau kampanye karena gamang dengan urusan struktural yang belum selesai. ”Akan berbeda jika situasinya tenang. Seperti Demokrat yang suaranya cenderung merangkak naik setelah kudeta yang dilakukan oleh Moeldoko tidak berhasil. Membangun jaringan ke bawah itu butuh kepastian, dan arahan yang jelas dari pemimpin yang memahami situasi,” terangnya.
Pimpinan PPP juga mesti lebih memperhatikan aspirasi kader di akar rumput. Menurut dia, karakteristik konstituen PPP lebih fanatik dalam berpolitik. Mereka memiliki tendensi kepada tokoh-tokoh yang merepresentasikan kalangan Islam. Aspirasi dari bawah ini perlu diperhatikan agar tidak ada lagi keterbelahan di internal parpol.
”Aspirasi akar rumput harus selaras dengan aspirasi elite. Jangan sampai elite memaksakan pilihannya sendiri karena bisa memicu ketidakpuasan dan perpecaan internal,” katanya.
Baca juga: PPP Lanjutkan Konsolidasi
Sementara itu, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno berpendapat, jika ingin mengembalikan kemenangan di Pemilu 2014, hal itu sangat bergantung pada kerja politik PPP untuk turun ke masyarakat. Parpol harus mampu memberi harapan kehidupan yang lebih baik melebihi parpol lain.
Menurut dia masih ada ceruk pemilih yang cukup luas untuk bisa dikapitalisasi. Sebab, ada sekitar 80 persen masyarakat yang belum terafiliasi dengan parpol. Mesin politik mesti diintensifkan untuk menjangkau ceruk pemilih ini.
Dia menyarankan agar PPP bisa memunculkan figur sentral yang bisa menjadi magnet elektoral bagi PPP. Sosok itu diharapkan berperan sebagai katalisator untuk menyedot magnet elektoral bagi PPP. "PPP bisa mengulang kesuksesan dengan mengombinasikan antara mencari figur sentral sebagai magnet elektoral serta memaksimalkan caleg-caleg yang menjadi ujung tombak perolehan suara di pileg. Perlu kawin silang dua strategi itu," katanya.
Raihan suara PPP memang cenderung turun dari pemilu ke pemilu. Dalam survei sejumlah lembaga setiap menjelang pemilu juga menunjukkan bahwa elektabilitas PPP jeblok. Survei Litbang Kompas yang dirilis satu bulan jelang Pemilu 2019, misalnya, menunjukkan elektabilitas PPP sebesar 2,9 persen. Adapun survei Charta Politika pada bulan yang sama juga memperlihatkan elektabilitas PPP 3,6 persen; dan survei Fox Populi 2,9 persen. Jika melihat hasil survei itu, PPP diperkirakan tak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang ditetapkan sebesar 4 persen suara sah nasional.
Namun kenyataannya, PPP tetap lolos ke parlemen, meski hanya berhasil menguasai 19 atau 3,3 persen kursi DPR. Kini, logo dan nomor baru telah diluncurkan. Konsolidasi kader dan perekrutan anggota baru juga sudah digencarkan. Namun, belajar dari pengalaman PPP sebelumnya, asa untuk dapat menguasai 40 kursi parlemen 2024 akan sulit terwujud jika soliditas kader dan pengurus tak terjaga.