Soal Gugatan Sistem Pemilu, Wapres Amin Serahkan Putusan ke MK
Wakil Presiden Ma’ruf Amin merespons uji materi Undang-Undang Pemilu terkait sistem pemilu proporsional daftar terbuka di MK. Wapres menyerahkan putusan soal hal itu kepada MK.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya gugatan uji materi terkait sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi disikapi pemerintah secara pasif. Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyerahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus gugatan tersebut.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Jumat (6/1/2023), menjelaskan, sistem proporsional terbuka sudah diterapkan dalam beberapa kali pemilu di Indonesia. Namun, ada pihak yang ingin mengubahnya menjadi sistem proporsional tertutup dan mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kita harapkan bahwa yang jadi putusan MK itu yang sesuai dengan prinsip pemilu, yaitu jujur, adil, transparan, terbuka,” ujarnya seusai menunaikan shalat Jumat dan membagikan bantuan Baznas kepada pelaku usaha kecil di Masjid At-Taqwa, Jakarta Timur.
Uji materi terhadap sistem pemilu ini diajukan enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Mereka didampingi Sururudin dan Maftukhan sebagai kuasa hukum. Adapun pemohon mengajukan uji materi atas Pasal 168 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pasal ini, diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Mahkamah Konstitusi menjadwalkan sidang untuk perkara ini pada 17 Januari 2023. Agenda sidang ini, antara lain, pemeriksaan pendahuluan dengan mendengarkan keterangan Presiden, DPR, dan pihak terkait.
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang mendorong sistem pemilu dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Selasa (3/1/2023), menjelaskan, partainya mendorong sistem proporsional tertutup karena peserta pemilu adalah partai politik.
PDI-P ingin mengutamakan mekanisme kaderisasi di internal. Dengan demikian, basis keterpilihan seorang anggota legislatif nantinya adalah kompetensi, bukan popularitas seperti selama ini terjadi dalam sistem proporsional daftar terbuka.
Kendati demikian, delapan dari sembilan fraksi parpol di Dewan Perwakilan Rakyat menolak wacana pengembalian sistem pemilu ke sistem proporsional tertutup. Para politisi delapan partai ini mendesak MK tetap konsisten dengan putusan sebelumnya yang mengamanatkan sistem pemilihan proporsional daftar terbuka.
Wapres Ma’ruf Amin menilai prinsip-prinsip pemilu yang jujur, adil, transparan, dan terbuka harus betul-betul dijaga. Adapun kewenangan untuk memutuskan uji materi terkait sistem pemilu terdapat di MK. Karena itu, semua pihak diharap menunggu keputusan MK yang final dan mengikat.
”Biarkan MK memutus sesuai kewenangannya. Kalau ada orang yang enggak puas (dengan aturan di Undang-Undang dan) pengin mengubah sesuatu, salurannya di MK,” tambah Wapres.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga enggan menyampaikan sikap pemerintah terkait usulan perubahan sistem pemilu ini. ”Biar di MK saja. Pemerintah akan menjawab MK. Ini ’kan belum sidang,” ujarnya kepada wartawan Jumat (30/12/2022).
Dalam diskusi publik ”Pro-Kontra Sistem Proporsional Tertutup, Kamis (5/1/2023), Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) Sirojudin Abbas menyampaikan, dalam survei SRMC Agustus 2022, sebanyak 70 persen responden menginginkan anggota DPR dan DPR dipilih secara langsung, bukan oleh partai. Masyarakat merasa terwakili di DPR oleh anggota DPR, bukan oleh parpol.
Sirojudin juga menilai semestinya perdebatan sistem pemilu sudah selesai di ranah DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Semestinya hal ini tidak perlu dibawa ke MK.