Pidana Mati Pemerkosa 13 Santriwati dan Rezim KUHP Baru
Putusan kasasi MA memperkuat putusan PT Bandung yang menjatuhkan vonis mati kepada Herry Wiryawan, terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati. Lantas bagaimana implementasi vonis itu setelah pengundangan KUHP yang baru?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Pada awal Desember 2021, negeri ini digemparkan oleh berita pemerkosaan terhadap 13 santriwati di salah satu pondok pesantren tahfidz di Kota Bandung, Jawa Barat. Korban yang masih belia, berusia antara 13 tahun hingga 16 tahun tersebut, menjadi korban pelecehan seksual, hingga delapan orang di antaranya hamil dan melahirkan. Pelakunya adalah Herry Wirawan alias Heri bin Dede, yang juga merupakan guru sekaligus pemilik pesantren. Perbuatan tersebut terjadi selama kurang lebih lima tahun, tepatnya sejak 2016 hingga akhirnya terbongkar pada 2021.
Pada 8 Desember 2022, Mahkamah Agung melalui majelis kasasi yang dipimpin hakim agung Sri Murwahyuni dengan hakim anggota Hidayat Manao dan Prim Haryadi menjatuhkan vonis mati terhadap Herry. MA menolak kasasi yang diajukan Herry dan jaksa penuntut umum seperti dilansir dalam laman daring MA agung.
MA menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Bandung yang memidana Herry dengan hukuman mati. PT Bandung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung yang menghukum pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut dengan pidana seumur hidup. Adapun majelis hakim PN Bandung yang diketuai Yohannes Purnomo Suryo Adi dengan hakim anggota Eman Sulaeman dan Riyanto Aloysius tidak sepakat dengan tuntutan jaksa yang meminta yang bersangkutan divonis mati.
PN Bandung menyatakan, Herry Wirawan alias Heri bin Dede terbukti secara sah dan meyakinkan memaksa lebih dari satu anak melakukan persetubuhan dengannya. Majelis hakim juga menetapkan pembayaran restitusi dengan nilai bervariasi Rp 8 juta hingga Rp 75 juta, yang kemudian dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Restituti harus diberikan kepada anak korban.
Majelis hakim juga menetapkan sembilan anak dari para korban untuk diserahkan perawatannya kepada Pemprov Jawa Barat, di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, hingga korban dan para anak tersebut sudah siap mental dan kejiwaan. Majelis banding PT Bandung yang diketuai oleh Herri Swantoro dan hakim anggota Yuli Heryati dan Nur Aslam Bustaman mengubah putusan itu. Majelis banding menerima permintaan banding dari jaksa, kemudian memperbaiki putusan sebelumnya terkait pidana yang dijatuhkan, pembebanan pembayaran restitusi, perawatan sembilan anak dari para korban serta perampasan harta terdakwa.
Vonis mati dijatuhkan. Pembayaran restitusi yang semula dibebankan kepada pemerintah, oleh majelis banding kemudian dibebankan kepada Herry. Pengadilan juga memerintahkan perampasan kekayaan Herry berupa tanah dan bangunan, serta hak-hak terdakwa dalam yayasan yatim piatu, pondok pesantren, sekolah asrama, serta aset lainnya. Aset tersebut dilelang kemudian hasilnya diserahkan kepada Pemprov Jabar untuk digunakan sebagai biaya pendidikan serta kelangsungan hidup para anak korban dan bayi-bayinya hingga dewasa dan menikah.
Atas putusan itu, Herry dan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Namun, MA menolak kasasi itu, sehingga putusan PT Bandung otomatis berlaku dan berkekuatan hukum tetap.
Lantas, bagaimana vonis mati terhadap Herry tersebut dilihat dalam konteks UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mendefinisikan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus? Dalam konteks itu, pidana mati dijatuhkan dengan memberi masa percobaan selama 10 tahun. Apakah Herry bisa langsung mengikuti ketentuan tersebut?
Pengajar hukum pidana Universitas Brawijaya Malang, Melda Istiqomah, saat dihubungi melalui pesan singkat, Rabu (4/1/2023), mengungkapkan, ada masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana mati sesuai dengan KUHP baru. Terkait pelaksanaan masa percobaan dan kriteria pengubahan hukuman mati menjadi seumur hidup, ia memberikan catatan agar hal tersebut diatur dengan lebih detail khususnya berkenaan dengan kriteria yang digunakan. Ini penting untuk menghindari praktik ”keadilan transaksional” yang dilakukan para petugas terkait. Misalnya, untuk mendapatkan surat kelakuan baik dari kepala lapas dan rutan, membutuhkan biaya mahal.
Sementara itu, Juru bicara Tim Sosialisasi KUHP, Albert Aries, mengungkapkan, KUHP baru saat ini belum berlaku. KUHP tersebut baru akan berlaku tiga tahun sejak diundangkan pada 2 Januari 2023, yaitu pada 2 Januari 2026. Dengan demikian, untuk Herry, tetap berlaku KUHP lama yang belum mengenal hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Apalagi, menurut Pasal 100 Ayat (2) KUHP, pidana mati dengan masa percobaan tersebut harus dicantumkan di dalam putusan pengadilan. ”Kita lihat apakah dalam waktu dekat ini (vonis mati) akan dilaksanakan eksekusi atau di-postpone. Kalau dilaksanakan sekarang, itu ikut KUHP lama, kalau nggak ngantri. (Perbuatan pidananya) tergolong sadis, kalau mau dilaksanakan, bisa dilaksanakan pidana mati,” ujarnya.
Bahwa benar, eksekusi terpidana mati sangat tergantung pada keputusan Jaksa Agung. Hanya saja, sejak 2016, pemerintah RI sudah melakukan moratorium eksekusi mati. Eksekusi terakhir dilaksanakan pada 29 Juli 2016 terhadap Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike. Freddy Budiman merupakan warga Indonesia yang dihukum karena kasus impor 1,4 juta butir ekstasi. Michael Titus dan Humprey Ejike merupakan warga Nigeria yang terkait penyelundupan heroin masing-masing 5.223 gram dan 300 gram. Sementara Seck Osmane merupakan warga Senegal yang juga terkait penyelundupan 2,4 kilogram heroin.
Skenario kedua untuk Herry Wirawan adalah apabila eksekusi mati terhadapnya ditunda hingga berlaku KUHP yang baru pada Januari 2026. Herry bisa mengajukan peninjauan kembali ataupun grasi kepada Presiden. Apabila grasi tersebut ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun kemudian, mengacu pada Pasal 101 KUHP baru, pidana mati yang bersangkutan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan presiden.
Siapkan peraturan pemerintahSaat ini, pemerintah tengah menyiapkan peraturan turunan KUHP (peraturan pemerintah/PP) terkait detail pelaksanaan pidana mati. PP tersebut antara lain mengatur tentang tata cara asesmen untuk menentukan terpidana mati yang sudah menunggu eksekusi hingga lebih dari 10 tahun layak diubah hukumannya menjadi pidana seumur hidup ataukah tidak.
Adapun hingga Desember 2022, terdapat 404 terpidana mati yang berada dalam deret tunggu eksekusi. Sebanyak 97 orang di antaranya sudah lebih dari 10 tahun dalam masa deret tunggu eksekusi mati. ”Kalau sudah 10 tahun menunggu, nanti tinggal di-assess apakah layak atau tidak diubah hukumannya menjadi seumur hidup,” kata Albert Aries.
Selain mengatur asesmen, PP turunan KUHP juga akan mengatur perlakuan terhadap terpidana mati yang peristiwa pidana dan putusan berkekuatan hukum tetapnya terjadi saat KUHP baru sudah berlaku. Hal-hal yang diatur, antara lain, parameter yang digunakan untuk menilai. Misalnya, apakah selama 10 tahun sudah ada perbaikan diri atau belum baik dari sisi rohani, karakter, dan variabel lainnya.
”Ini bukan hanya kelakuan baik ya, tapi termasuk item-item khusus yang bisa menerangkan selama 10 tahun ini ada penyesalan atau tidak, ada perubahan untuk lebih baik ataukah tidak. Begitu, lho,” kata Aries.
Kembali pada kasus Herry Wirawan, apakah yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri selama 10 tahun untuk kemudian diubah hukumannya menjadi seumur hidup, hal tersebut saat ini sangat tergantung pada jaksa penuntut umum. Jika jaksa akan melakukan eksekusi mati pada dalam jangka waktu tiga tahun sebelum KUHP baru berlaku, hal tersebut secara hukum sah untuk dilakukan. Namun, jika jaksa mengadopsi semangat di dalam KUHP baru yang memberi jalan tengah bagi penentang hukuman mati (kaum abolisionis) dan yang setuju pidana mati (retensionis), penundaan eksekusi selama tiga tahun menjadi jawabannya.