Pidana Mati ala Indonesia, Jalan Tengah Kaum Abolisionis dan Retensionis
Dalam RKUHP, pemerintah bersama DPR merancang jalan tengah di antara dua mazhab terkait hukuman mati. Namun, ada sejumlah hal yang dikritisi. Tantangan berat juga menanti jika jalan tengah pidana mati itu disetujui.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Sebanyak 417 orang saat ini mendekam di balik jeruji besi, menunggu “keajaiban” untuk bisa hidup lebih panjang. Nasib orang-orang tersebut sudah ditentukan, pidana mati sudah dijatuhkan pengadilan karena dinilai bersalah dalam sejumlah tindak pidana yang dilakukan. Baik karena kasus narkotika, pembunuhan, pencurian, perampokan, pelanggaran terhadap perlindungan anak, maupun terorisme.
Ada tiga orang yang sudah menunggu lebih 20 tahun tetapi belum juga dieksekusi, 23 orang lainnya sudah menunggu antara 16 tahun hingga 20 tahun, dan 34 lainnya masuk dalam daftar deret tunggu antara 11 tahun hingga 15 tahun. Selebihnya sudah menunggu antara 8 bulan hingga 10 tahun. Data tersebut dipaparkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balitbang HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, dalam diskusi yang diselenggaran Indonesia for Criminal Justice Reform (ICJR), 24 Mei 2022.
Sistem peradilan pidana Indonesia memang masih menganut penerapan pidana mati (retensionis), meskipun banyak negara di dunia saat ini yang mulai menghapus pasal pengakhiran hidup di dalam sistem hukum mereka (abolisionis).
Dalam perkembangannya, pemerintah dan DPR dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) membuat jalan tengah diantara dua mazhab mengenai hukuman mati tersebut; hukuman mati ala Indonesia atau Indonesian Way. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengatakan, pemerintah menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus, bukan pidana pokok atau tambahan. Sebab, penjatuhannya harus dilakukan secara selektif dan diancamkan secara alternatif dengan pidana seumur hidup atau pidana sementara 20 tahun. Penerapannya pun dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 64, Pasal 67, dan Pasal 98 RKUHP).
Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun, apabila terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki. Selain itu, peran terdakwa dalam tindak pidana yang dilakukan tidak terlalu penting serta ada alasan yang meringankan (pasal 100). Masa percobaan tersebut harus dicantumkan dalam putusan pengadilan dan diberlakukan satu hari sejak putusan incracht. Bila terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, hukuman mati itu bisa diubah menjadi penjara seumur hidup dengan keputusan presiden. Akan tetapi apabila tidak ada perbaikan dalam diri terpidana mati dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan, maka eksekusi dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Mengenai masa tunggu/percobaan selama 10 tahun, Eddy mengatakan, pemerintah mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi hukuman mati. “Bahwa ada kritik 10 tahun itu terlalu lama, alasan kami merujuk pada putusan MK,” ujar Eddy.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengungkapkan, seluruh fraksi (10 fraksi DPR periode 2014-2019 dan 9 fraksi DPR periode 2019-2024) memandang masih diperlukannya hukuman mati di dalam sistem hukum di Indonesia. Dirinya pun yang seorang retensionis tetap berpandangan bahwa hukuman mati tidak dapat dijatuhkan secara sembarangan. Due process of law harus dilaksanakan. Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, proses hukum harus dijalankan dengan benar dan hati-hati. Misalnya, hak untuk mendapatkan pembelaan dari advokat dan mendapatkan penerjemah.
“Kalau tidak dipenuhi, mestinya tidak dijatuhi hukuman mati,” ujar Arsul Sani.
Deret tunggu
Ada beberapa catatan terkait dengan pengaturan pidana mati di RKUHP tersebut. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menyoroti pengaturan tidak berlaku otomatisnya masa percobaan 10 tahun dalam penjatuhan vonis mati. Pengaturan seperti ini membuka celah transaksional baru agar memeroleh penetapan masa percobaan bagi terpidana mati. ICJR berharap, pembuat undang-undang mengubah pengaturan hukuman percobaan dalam vonis mati dengan membuatnya menjadi otomatis.
Selain itu, ICJR mempertanyakan keputusan masa percobaan/masa tunggu selama 10 tahun. Pembuat undang-undang diharapkan mengubah angka tersebut menjadi lima tahun sesuai dengan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, masa tunggu selama 10 tahun, menurut Iftitah, termasuk bentuk penyiksaan.
Ia mengutip ungkapan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat periode 2010-2016, Juan Mendez, dalam sidang umum PBB Agustus 2012, bahwa fenomena deret tunggu memunculkan penderitaan mental dan fisik sebab terpidana mati mengalami kegelisahan dan ketakutan. Ini juga diperburuk dengan kondisi tempat penahanan yang tidak memadai seperti overcrowding, tidak tersedia pembinaan khusus, serta tak adanya fasilitas Kesehatan fisik dan psikis.
Iftitah juga menyarankan agar pembuat undang-undang memperjelas konsep pidana alternatif dengan memberikan sejumlah syarat yang ketat. Misalnya, penuntutan pidana mati hanya untuk perbuatan kejam dan di luar batas kemanusiaan, pelaku memiliki peran tertinggi dalam suatu tindak pidana, diberlakukan untuk residivis, dan jumlah korbannya yang masif. Pembuat undang-undang juga perlu mengatur siapa saja yang dikecualikan dari ancaman hukuman ini. Misalnya, lansia (diatas 60 tahun), ibu hamil dan menyusui, anak kecil, dan orang dengan gangguan jiwa.
Tantangan
Sri Puguh Budi Utami, menjelaskan, tantangan yang dihadapi petugas Lembaga pemasyarakatan menjadi berat begitu RKUHP disahkan, khususnya terkait dengan hukuman mati. Sebab, petugas pemasyarakatan harus sukses memanfaatkan masa percobaan 10 tahun tersebut untuk bisa mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup atau penjara 20 tahun.
“Kalau sampai gagal, luar biasa beratnya. Negara sudah kehilangan waktu dan anggaran untuk melakukan pembinaan terhadap terpidana mati. Memang harus berhasil. Supaya sekali lagi orang tidak kemudian mendapatkan dua macam pidana sekaligus. Penjara 10 tahun lalu dieksekusi kalau gagal,” kata Sri Puguh.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus memikirkan model pembinaan yang tepat, baik tepat sasaran maupun tepat waktu. Jika diperlukan, asesmen terhadap terpidana mati perlu dilakukan untuk bisa menentukan program yang dapat diikuti. “Setelah RKUHP disahkan, mau tidak mau dibuat aturan yang lebih jelas, panduan dan pedoman untuk melaksanakan ini,” kata Sri Puguh.
Demikian pula dengan monitoring pelaksanaan program. Tim asesmen perlu dibentuk. “Pemasyarakatan tidak bisa sendiri, harus didukung pihak lain. Bisa saja dengan menghidupkan hakim wasmat (hakim yang mendapat tugas khusus mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan-Red),” ujarnya.
Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah bagaimana dengan 417 terpidana mati yang ada saat ini. Sebanyak 60 orang diantaranya sudah mendekam di balik jeruji besi selama lebih 10 tahun. Mekanisme apa yang harus digunakan untuk mengubah pidana mati tersebut menjadi pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun.
Sri Puguh menyarankan pemberian grasi terhadap para terpidana mati. Hanya saja, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi mengatur bahwa narapidana hanya dapat mengajukan grasi satu kali. Bagaimana jika para terpidana mati tersebut sudah pernah mengajukan grasi dan ditolak Presiden? Terkait hal itu, ia mengusulkan agar ada perubahan UU Grasi sehingga nantinya grasi bisa diajukan lebih dari sekali.