Kontras Kritik PPHAM Kesampingkan Empat Kasus HAM Berat Masa Lalu
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mempertanyakan alasan Tim PPHAM hanya memberikan rekomendasi atas 12 kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan mengesampingkan empat kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mempertanyakan langkah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Lalu (Tim PPHAM) yang hanya merekomendasikan pemulihan korban 12 kasus pelanggaran HAM berat. Empat korban kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang telah diproses secara hukum dikesampingkan.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti di Jakarta, Selasa (3/1/2022), mengatakan, Kontras mempertanyakan waktu kerja Tim PPHAM yang terbilang singkat. Kinerja yang singkat itu diprediksi tidak akan membuahkan hasil yang maksimal bagi korban.
Dia juga mempertanyakan tim hanya memberikan rekomendasi atas 12 kasus dan mengesampingkan empat kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni kasus Paniai, Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000. Padahal, idealnya, penyelesaian kasus HAM berat secara nonyudisial sifatnya saling melengkapi penyelesaian secara yudisial.
”Kami bertanya-tanya mengapa korban membiarkan korban empat kasus itu tidak menerima apa pun, baik keadilan, pengungkapan kebenaran, pemulihan, maupun memorialisasi. Padahal, di masa kampanyenya sebelum menjadi presiden, Jokowi berjanji melalui Nawacita untuk menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu,” katanya.
Secara umum, Kontras juga mempertanyakan mengapa hingga awal tahun 2023 laporan akhir yang berisi rekomendasi atas korban 12 kasus pelanggaran berat tak juga diserahkan kepada Presiden. Padahal, masa tugas tim berakhir pada 31 Desember 2022, seperti tertuang di Keputusan Presiden (Keppres) 17 Tahun 2022.
”Kami menduga kuat akan terbentuk tim-tim baru untuk mengawal implementasi hasil rekomendasi itu,” ujarnya.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko yang hadir dalam serah terima rekomendasi dari Tim PPHAM di Kemenko Polhukam, Kamis (29/12/2022), menyampaikan, perlu dibentuk tim untuk mengawal implementasi dari rekomendasi itu. Namun, selama Presiden belum menerima rekomendasi itu, pemerintah masih menunggu arahan dari kepala negara.
Jika hal itu yang terjadi, Kontras khawatir rekomendasi dari Tim PPHAM hanya melahirkan tim baru tanpa ada kebaruan cara serta upaya untuk mendorong tanggung jawab negara. Rekomendasi Tim PPHAM tentang pengakuan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui permintaan maaf Presiden sebagai perwakilan negara atas adanya kejahatan kemanusiaan juga dinilai bukan hal yang baru. Sejak tahun 1999, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah menyampaikan rekomendasi yang sama.
”Pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri. Itu harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan,” ujarnya.
Fatia menilai, pemberian pemulihan bagi korban tanpa ada pengakuan negara atas adanya pelanggaran HAM berat, juga akan membuat upaya pemulihan korban tidak bermakna. Itu justru akan bersifat kontraproduktif dari upaya pemberian hak-hak korban. Pemulihan tanpa pengakuan akan dimaknai hanya sebatas pemberian bantuan sosial.
”Korban dalam pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan dari badan atau pejabat pemerintahan yang melawan hukum,” ujarnya.
Kontras juga menilai bahwa rekomendasi berupa rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, beasiswa, dan pemulihan nama baik juga pernah direkomendasikan oleh Komnas HAM, DPR, dan Mahkamah Agung sejak awal reformasi. Pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh mengimplementasikan rekomendasi itu.
Bahkan, berdasarkan hasil pemantauan Kontras, pemulihan oleh negara itu melenceng jauh dari hak korban sebenarnya. Misalnya, Deklarasi Damai di Talangsari Lampung, yang justru menggantungkan pemulihan korban pada syarat yang tidak memudahkan korban. Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dibatalkan oleh MK mensyaratkan pemulihan korban setelah memberikan maaf kepada pelaku.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono mengatakan, tim memang belum bertemu dengan Presiden secara langsung untuk menyerahkan rekomendasi. Namun, agenda sudah terjadwal di awal tahun 2023. Tim diminta menunggu jadwal pasti pertemuan dengan Presiden.
Saat ditanya mengenai empat kasus pelanggaran HAM berat yang dikesampingkan dari program pemulihan korban, Makarim enggan menjawabnya. Menurutnya, hal itu sudah termasuk substansi rekomendasi yang akan disampaikan kepada Presiden. Dia berjanji akan menjelaskan substansi rekomendasi secara lebih rinci setelah bertemu dengan Presiden.
”Mohon maaf, karena sudah masuk substansi rekomendasi, kami tidak bisa menjelaskannya sekarang. Kami minta ditunggu sampai bertemu dengan Presiden dulu,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kompas mendapat informasi, salah satu poin penting dari rekomendasi Tim PPHAM adalah permintaan dari korban untuk pengakuan dari negara atas peristiwa tersebut. Korban sudah sekian lama merasakan penderitaan dan diskriminasi akibat pelanggaran HAM berat masa lalu, tetapi belum pernah ada pengakuan dari negara. Selain itu, poin lain dalam rekomendasi juga memberikan pendidikan atau penanaman nilai-nilai universal HAM kepada instrumen pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI dan Polri.