Pemerintah Janji Kawal Implementasi Rekomendasi Tim PPHAM
Tim PPHAM merekomendasikan agar Presiden membuat pernyataan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengamat menilai, pengakuan negara atas pelanggaran HAM ini dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS - Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) secara resmi telah menyerahkan laporan dan rekomendasi kepada pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan Mahfud MD, Kamis (29/12/2022). Menurut rencana, rekomendasi akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada awal 2023.
Untuk selanjutnya, pemerintah menunggu arahan dari Presiden Jokowi untuk menindaklanjuti rekomendasi itu.
Tim PPHAM yang dibentuk dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada 26 Agustus 2022. Tim bekerja sejak akhir September 2022, dan merampungkan laporan serta rekomendasinya selama tiga bulan bekerja.
Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono saat menyerahkan dokumen rekomendasi mengatakan, tugas yang diberikan kepada tim sesuai dengan Keppres 17/2022 ada tiga. Pertama, adalah mengungkap dan menganalisis kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Untuk itu, tim sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Komnas HAM untuk menganalisis dokumen dan data hasil penyelidikan mereka.
Usulan dari tim kepada Bapak Presiden agar bisa membuat pernyataan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kedua, tim juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi mengenai pemulihan korban. Ketiga, tim diminta menyusun rekomendasi untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di Indonesia. "Kami sampaikan kepada Menko Polhukam dua hal. Satu, laporan mengenai hasil kinerja Tim PPHAM. Kedua, usulan dari tim kepada Bapak Presiden agar bisa membuat pernyataan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu," katanya.
Usulan kepada presiden yang banyak disampaikan oleh korban kepada tim adalah pengakuan terhadap kekejaman pelanggaran HAM berat masa lalu. Korban juga berharap pengakuan itu bisa diungkapkan dengan permohonan maaf dari negara atas peristiwa tersebut.
Baca juga: Mendorong Revisi UU Pengadilan HAM
Tim memakai tolok ukur pemulihan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara lain terutama Chili, di Amerika Selatan. Chili membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bernama Rettig Commision. Komisi itu bersifat independen dan memberikan rekomendasi kepada Presiden. Presiden Chili kemudian membuka kebenaran terkait pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim militer di masa lalu, dan memberikan pandangan mengenai posisinya terhadap hal itu.
Dalam jurnal berjudul "Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat di Argentina dan Cile" yang ditulis Andrey Sujatmoko pada 2017 disebut bahwa Presiden Chile Aylwin membentuk Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 1990 untuk memberi penjelasan tentang kematian dan penghilangan orang di Chile dengan menimbang tiga aspek pemulihan yaitu pengungkapan kebenaran dan mengakhiri kerahasiaan, pengakuan martabat para korban dan rasa sakit yang diderita oleh keluarga mereka, serta langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko yang hadir dalam serah terima rekomendasi itu mengatakan, dia merasa perlu dibentuk tim untuk mengawal kembali implementasi dari rekomendasi tersebut. Tim diharapkan dapat mengawal tindak lanjut dan arahan presiden mengenai rekomendasi itu. Namun, selama presiden belum menerima rekomendasi itu, pemerintah masih menunggu arahan yang jelas dari kepala negara.
"Apa yang menjadi kebijakan presiden terkait rekomendasi itu harus terkontrol dengan baik. Saya sarankan perlu ada tim lagi yang ad hoc dan independen untuk mengawal kebijakan presiden itu agar lebih terkontrol dengan baik," ucapnya.
Baca juga : Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Dipertanyakan
Untuk membentuk tim pengawal implementasi rekomendasi Tim PPHAM, salah satu opsinya adalah membuat tim baru dengan payung hukum Keppres. Namun, jika tidak, negara juga bisa menggunakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut, secara umum, materi laporan rekomendasi PPHAM memuat di antaranya pengungkapan dan analisis mengenai faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya yang selama ini telah terabaikan, serta langkah pencegahan agar pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di masa depan.
"Tim ini tidak mencari siapa yang salah karena hanya menyantuni atau menangani korban untuk pemulihan sosial, politis, psikologis, dan sebagainya. Tidak mudah mencapai kesepakatan ini, tim mencari kemungkinan dari berbagai ketidakmungkinan," ucapnya.
Secara umum, materi laporan rekomendasi PPHAM memuat di antaranya pengungkapan dan analisis mengenai faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Mahfud juga menyebut bahwa selama bekerja tim menghadapi sejumlah kendala di antaranya tidak tersedianya data yang komprehensif mengenai korban. Ketertutupan lembaga yang memiliki data tetapi ketika diminta tidak bersedia memberi data. Tim juga terkendala kurangnya kepercayaan korban karena lamanya penyelesaian pelanggaran HAM berat baik secara yudisial maupun non yudisial. Selain itu, juga ada sensitivitas di kalangan korban, karena tidak ada pendampingan negara yang memadai. Ada yang tidak mau luka lama itu terus dikorek karena khawatir berdampak secara psikologis.
"Kebijakan pembentukan Tim PPHAM ini diambil pemerintah dengan melihat fakta bahwa upaya mengajukan pelanggaran HAM ke pengadilan selalu gagal sampai saat ini," tambahnya.
Pengungkapan kebenaran
Pengajar hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dengan strategi dari tim ke tim justru menunjukkan bahwa tidak ada peta jalan yang jelas dari pemerintah. Baik untuk memutus mata rantai impunitas atau kekebalan hukum, maupun untuk pemulihan korban. Jika memang serius ingin menyelesaikan kasus itu dari jalur non yudisial, pemerintah seharusnya membuat lagi Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menggantikan UU lama yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Politik hukum dari pemerintah dan DPR tidak ada untuk membuat UU KKR baru yang bisa digunakan untuk pengungkapan kebenaran dan upaya rekonsiliasi dari korban ini," ungkapnya.
Payung hukum yang kuat diperlukan, karena Herlambang menilai, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang dibentuk dari mandat Perjanjian Helsinki, tidak berjalan efektif. Upaya untuk memulihkan korban konflik bersenjata di Aceh masih setengah hati. Tidak ada dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah pusat. Korban juga kesulitan untuk menagih janji pemulihan hak korban tersebut.
"Di Aceh, ada beberapa faktor kendala KKR Aceh. Mulai dari saling lempar tanggung jawab, tidak ada dukungan anggaran, dsb. Korban justru dikriminalisasi saat menagih haknya. Pemerintah harus berkaca dari kegagalan KKR Aceh ini," katanya.
Jika ingin meniru langkah keberhasilan di negara Chile, Herlambang juga menyebut apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Chile tidak sama. Sebelum memulihkan hak korban, Chile terlebih dahulu memastikan beban sejarah masa lalunya selesai.
Sementara itu, dari pemerintah Indonesia, tidak pernah mengakui adanya peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu. Pemerintah juga tidak tegas membatasi pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat agar tidak duduk di kursi pemerintahan.
"Pekerjaan besar dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat adalah upaya pencarian kebenaran. Kebenaran harus diupayakan oleh semua pihak, termasuk pemerintah harus hadir mengungkapkan kebenaran ke ruang publik. Harus ada rekognisi atas peristiwa itu, jangan terus menerus denial (menyangkal)," katanya.
Salah satu syarat untuk pengungkapan kebenaran itu, lanjutnya, adalah dengan membuat forum atau dialog yang melibatkan seluruh korban dalam peristiwa tersebut. Jangan sampai pemerintah membuat dialog yang kurang inklusif, ataupun program sekali jadi, yang akhirnya gagal untuk menegakkan kebenaran itu sendiri.