Pengamat: Keterbatasan Anggaran dan Perencanaan Kurang Efektif Hambat Modernisasi TNI
Modernisasi alutsista TNI menjadi kebutuhan mendesak. Namun, hal itu terhambat akibat keterbatasan anggaran dan perencanaan yang kurang maksimal. Apalagi, tahun ini perhatian akan terfokus pada kepemiluan.
JAKARTA, KOMPAS — Modernisasi alat utama sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia menjadi prioritas dari setiap matra yang ada untuk menghadapi segala ancaman pertahanan. Keterbatasan anggaran dan proses perencanaan yang lamban dinilai menghambat upaya tersebut.
Analis militer dari Semar Sentinel, Fauzan Malutfi, di Jakarta, Selasa (3/1/2023), menerangkan, modernisasi merupakan kebutuhan mendesak bagi TNI. Selain untuk meningkatkan kapabilitas, modernisasi juga diperlukan untuk menangkal ancaman yang semakin dekat ke wilayah Indonesia, seperti permasalahan di Laut Natuna Utara.
Meskipun begitu, modernisasi alutsista tidak berjalan dengan efektif khususnya dalam bingkai kebijakan kekuatan pokok minimum (MEF) yang kini sudah berada di tahap ketiga. Beberapa hal yang menghambat tersebut adalah keterbatasan anggaran dan perencanaan dalam memilih alutsista pengganti yang kerap berganti-ganti setiap waktunya.
”MEF tahap III masih sekitar 60 persen dan sepertinya akan sulit mencapai 100 persen hingga tahun 2024. Anggaran memang terbatas, apalagi ini tahun politik dan mungkin ada refocusing anggaran untuk menghadapi resesi. Idealnya, anggaran pertahanan itu 1,5 persen dari produk domestik bruto, sedangkan kita masih sekitar 0,8 persen,” ujarnya.
Proses pemilihan pengganti F-5 Tiger dapat menjadi contoh soal perencanaan yang kurang efektif karena pemerintah kerap berpindah dari satu pilihan ke pilihan lainnya. Mulai dari Sukhoi-35, F-15 Ex, hingga akhirnya menambatkan pilihan pada Dassault Rafale buatan Perancis, yang direncanakan tiba pada 2026. Meskipun begitu, negosiasi untuk beberapa alutsista pengganti F-5 Tiger masih dilakukan.
Baca juga: Panglima TNI di Tahun Politik
Perpindahan pilihan tidak hanya terjadi akibat perencanaan yang lamban, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh situasi geopolitik saat itu.
Perencanaan yang lamban, membuat pemesanan alutsista terus mundur, dan akhirnya harus menunggu lebih lama untuk barang tersebut datang.
Pergantian pilihan yang kerap berganti ini berimbas pada mundurnya pemesanan alutsista. Akibatnya, alutsista yang diinginkan tak kunjung tiba karena beberapa alutsista membutuhkan waktu konstruksi bertahun-tahun hingga bisa sampai di tangan pemesan.
Dalam memodernisasi, pemerintah harus selektif dan komprehensif, khususnya terkait alutsista yang sudah uzur. Menurut dia, tidak semua alutsista berusia tua harus diganti karena beberapa masih bisa diperbarui.
”Seperti F-16 itu walaupun sudah 30 tahun lebih, masih bisa di-upgrade. Namun, untuk yang sudah tua, seperti kapal TNI AL kelas Ahmad Yani dan Parchim, itu sebaiknya diganti. Bisa diganti bertahap karena jumlahnya cukup banyak dan masih jadi andalan TNI AL,” ujarnya.
Selain itu, modernisasi melalui MEF yang memiliki tenggat 2023-2024 dinilai akan sulit karena bertepatan dengan tahun politik. Fauzan menilai, modernisasi bisa tersendat karena pemerintah dan juga parlemen akan mengalihkan fokusnya pada kegiatan kepemiluan. Untuk itu, diperlukan komitmen politik dan keuangan yang kuat oleh pemerintah dan juga TNI untuk menyelesaikan program ini dengan maksimal.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Thohari menjelaskan, capaian serta target modernisasi oleh TNI AD masih di dalam pembahasan internal, dan rencananya akan diumumkan pada rapat pimpinan TNI AD. ”Nanti akan kami sampaikan setelah rapat pimpinan bulan depan,” ujar Hamim.
Rencana modernisasi
Di matra laut, modernisasi dan peningkatan kemampuan prajurit menjadi fokus dari Kepala Staf TNI Angkatan Laut yang baru, Laksamana Muhamad Ali. Ia menyebut ada empat fokus prioritas yang ingin ia wujudkan selama kepemimpinannya. Pertama, ia menekankan akan pentingnya pengembangan kemampuan sumber daya manusia.
Baginya, meningkatkan kemampuan prajurit TNI AL adalah prioritas utama. Hal ini sejalan pula dengan visi yang disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono saat menjalani uji kelayakan di DPR, yaitu peningkatan kemampuan dan kesejahteraan prajurit.
”Berputarnya roda sebuah organisasi akan bertumpu pada kemampuan SDM (sumber daya manusia)-nya,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Fokus kedua yang menjadi prioritas adalah modernisasi alutsista yang dimiliki TNI AL. Modernisasi dibutuhkan agar kekuatan operasional TNI AL bisa meningkat dalam menjawab tantangan dan ancaman yang datang.
Pada 2023, TNI AL dijadwalkan akan menerima beberapa alutsista, salah satunya Kapal Bantu Rumah Sakit Dr Radjiman Wedyodiningrat-992 yang akan segera diserahterimakan oleh PT PAL Indonesia. Kehadiran kapal ini bisa memperkuat armada laut TNI AL, khususnya dalam menggelar operasi kemanusiaan di wilayah Indonesia.
”Modernisasi dan pemeliharaan serta perawatan alutsista harus memiliki hasil nyata, yaitu bisa diterjunkan sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Baca juga: TNI AU Tekankan Pentingnya Skuadron Angkut untuk Bantuan Kemanusiaan
Sementara itu, program prioritas ketiga adalah peningkatan fasilitas pangkalan TNI AL, baik sarana maupun prasarana yang dapat menunjang kemampuan operasinya. Menurut dia, peningkatan fasilitas pangkalan dibutuhkan untuk membantu operasi, khususnya di daerah perbatasan. Peningkatan kapasitas juga perlu dilakukan karena TNI AL memiliki beberapa satuan baru yang baru direlokasi dan sarananya belum memadai.
Pada 2023, TNI AL dijadwalkan akan menerima beberapa alutsista, salah satunya Kapal Bantu Rumah Sakit Dr Radjiman Wedyodiningrat-992.
TNI AL memiliki satu organisasi baru, yaitu Komando Armada Republik Indonesia (Koarmada RI), yang lahir dari Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Koarmada RI ini sebagai komando operasi utama yang bertugas membawahi tiga komando armada lainnya, yaitu Koarmada I, Koarmada II, dan Koarmada III.
Terbaru, TNI AL merelokasi beberapa markas, salah satunya markas Koarmada I yang dipindahkan dari Jakarta menuju Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 5 Desember 2022. Pemindahan dilakukan karena faktor kerawanan yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Keempat, pihaknya akan meningkatkan sistem dukungan logistik dan manajemen operasi yang dimiliki. Ali menyebut, dalam mencapai keberhasilan operasi ataupun tugas-tugas, diperlukan manajemen operasi yang efektif yang diikuti dengan evaluasi. Hal ini diperlukan agar TNI AL mengetahui keefektifan suatu strategi. Selain keempat hal di atas, ia meminta untuk setiap prajurit TNI AL menyamakan visi dan langkah agar program-program prioritas tersebut dapat dicapai dengan baik.
Di matra udara, TNI AU akan menambah kekuatannya dengan membeli pesawat angkut buatan Lockheed Martin, C-130J Super Hercules, yang direncanakan tiba pada 2023. ”Insya Allah, kita akan kedatangan C-130J pada awal 2023,” ujar Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo.
Selain membeli C-130J, rencananya Indonesia membeli pesawat angkut lain, yaitu A400M, buatan perusahaan Perancis, Airbus. Namun, pembicaraan mengenai pembelian ini masih berada di tangan Kementerian Pertahanan. TNI AU juga berencana menambah jumlah pesawat angkut CN-235 di Skuadron Udara 27 TNI di Pangkalan Udara Manuhua, Biak, Papua, yang baru saja dibentuk empat tahun lalu.
”A400M masih di Kemenhan. Saya pikir pesawat ini cukup bagus karena kapasitasnya yang besar bisa mendukung kapabilitas angkut TNI AU. Pesawat ini bisa terbang dari Halim menuju Sentani atau Wamena tanpa berhenti sambil membawa barang seberat 40 ton,” tuturnya (Kompas.id, 7/12/2022).