TNI AU Tekankan Pentingnya Skuadron Angkut untuk Bantuan Kemanusiaan
TNI AU memberangkatkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi yang terdampak erupsi Gunung Semeru. Hal ini semakin membuktikan peran vital skuadron angkut TNI AU dalam mengirimkan bantuan ke daerah bencana.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam konteks kebencanaan, kehadiran skuadron angkut TNI AU dibutuhkan sebagai upaya mempercepat penyebaran bantuan kemanusiaan. Dengan kemampuan yang dimiliki skuadron angkut TNI AU, bantuan bisa menembus daerah-daerah yang kondisinya terisolasi dan tidak mungkin didarati pesawat sipil.
Dalam acara pelepasan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, Rabu (7/12/2022), Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo menerangkan, TNI AU menggunakan pesawat CN-295 milik Skuadron Udara 2 TNI AU untuk membawa enam ton bantuan menuju Jawa Timur. Bantuan yang diberikan berupa makanan siap saji, makanan balita, selimut, kasur, dan kebutuhan dasar lainnya.
”Kami bawa bantuan ini ke Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, lalu dibawa lewat darat ke Lumajang. Kami juga mengerahkan 60 personel untuk membantu masyarakat di sana, dan juga menyiagakan dua peleton,” ucapnya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kehadiran skuadron angkut TNI AU seakan menjadi jawaban bagi kebutuhan pengiriman bantuan kemanusiaan dengan cepat bilamana dibutuhkan segera. Ke depan, TNI AU akan menambah beberapa pesawat angkut lain untuk meningkatkan kapabilitas operasional, salah satunya dengan membeli pesawat angkut buatan Lockheed Martin, C-130J Super Hercules. ”Insya Allah, kita akan kedatangan C-130J pada awal tahun depan,” ujar Fadjar.
TNI AU sudah cukup familiar dengan pesawat Hercules. Tercatat, TNI AU mengoperasikan beberapa tipe Hercules seperti C-130H, C-130H-30, dan yang paling lawas, yaitu C-130B. Untuk tipe C-130B, TNI AU baru saja memensiunkan salah satu pesawat dengan kode A-1312 ini pada 10 November 2022. Pesawat ini sudah berusia kurang lebih enam dekade dan pernah dipakai Angkatan Udara Amerika Serikat saat Perang Vietnam dahulu.
Selain membeli C-130J, rencananya Indonesia membeli pesawat angkut lain, yaitu A400M, buatan perusahaan Perancis, Airbus. Namun, pembicaraan mengenai pembelian ini masih berada di tangan Kementerian Pertahanan. TNI AU juga berencana menambah jumlah pesawat angkut CN-235 di Skuadron Udara 27 TNI di Pangkalan Udara Manuhua, Biak, Papua, yang baru saja dibentuk empat tahun lalu.
Pengembangan skuadron angkut ini diharapkan mampu membantu masyarakat Indonesia yang terisolasi akibat bencana untuk mendapatkan bantuan yang cepat dari pemerintah.
”A400M masih di Kemenhan. Saya pikir pesawat ini cukup bagus karena kapasitasnya yang besar bisa mendukung kapabilitas angkut TNI AU. Pesawat ini bisa terbang dari Halim menuju Sentani atau Wamena tanpa berhenti sambil membawa barang sebesar 40 ton,” tuturnya.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah mengatakan, TNI AU memiliki kekhasan operasional yang membuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki selalu menjadi andalan saat bencana terjadi. Beragamnya tipe pesawat yang dimiliki membuat TNI AU bisa memberikan bantuan ke banyak daerah sesuai kondisi yang dihadapi.
”Adanya pesawat angkut membuat kita bisa cepat mengirimkan bantuan dan mengerahkan personel. Bantuan juga bisa cepat diturunkan karena ada ramp door. Jadi, loading dan unloading barangnya bisa cepat,” ucapnya.
Pengembangan skuadron angkut ini diharapkan mampu membantu masyarakat Indonesia yang terisolasi akibat bencana untuk mendapatkan bantuan yang cepat dari pemerintah.
Kemampuan taktis
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur menjadi rumah bagi beberapa tipe pesawat angkut ataupun transpor TNI AU, yang kerap diperbantukan untuk kegiatan penanggulangan bencana.
Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Marsekal Pertama Adrian Damanik menjelaskan, penggunaan pesawat merupakan salah satu cara yang paling cepat dan efektif untuk merespons kebutuhan masyarakat akan bantuan di daerah bencana.
”Kita flashback ke tahun 2004 saat tsunami Aceh. Di tengah kondisi yang kurang baik, dengan Hercules, kita bisa mendarat dan memberikan bantuan bagi warga di sana,” ucapnya.
Salah satu pembeda utama dari pesawat angkut militer dan pesawat sipil adalah kemampuannya untuk mendarat di landas pacu yang kurang baik. Apabila pesawat sipil rata-rata membutuhkan landas pacu beraspal untuk mendarat, tidak demikian dengan pesawat militer seperti CN-295 dan Hercules.
Memberikan bantuan ke daerah terisolasi juga bisa dilakukan dengan teknik lain, yaitu container delivery system (CDS). CDS merupakan sistem pengiriman barang dengan menjatuhkan suatu wadah kontainer berkapasitas kurang lebih 800 kilogram, yang sudah dipasangkan parasut, dari pesawat menuju titik-titik yang sulit dijangkau dengan transportasi darat.
”Kemampuan utamanya bisa mendarat di unpaved runway, tapi tentu tingkat kekerasan tanahnya juga perlu diperhatikan karena tidak semua jenis landasan tanah juga bisa didarati,” ucapnya.
Adapun Lanud Halim Perdanakusuma memiliki empat skuadron angkut/transpor dan satu skuadron teknik. Para skuadron tersebut adalah Skuadron 2 yang mengoperasikan CN-295, Skuadron 17 yang mengoperasikan pesawat Boeing 737-400, Boeing 737-500, dan Boeing 737-800 yang merupakan pesawat kepresidenan. Lalu, ada Skuadron 31 yang mengoperasikan pesawat Hercules, Skuadron 45 yang mengoperasikan helikopter Super Puma, dan terakhir Skuadron Teknik 21 yang bertugas melakukan pemeliharaan beberapa jenis pesawat di atas.