Kisah Avatar dan Peperangan Laut Masa Depan
Seperti dalam film ”Avatar: The Way of Water”, di balik laut yang digambarkan indah, ada potensi konflik yang terus mengintai seiring dengan keinginan manusia untuk mengeksploitasi alam.
Film Avatar: The Way of Water yang kini sedang tayang di bioskop berupaya mengulang sukses Avatar (2009). Film fiksi ilmiah petualangan ini mengambil latar kehidupan laut. Konflik abadi dalam film Avatar 1 dan 2 adalah ketika manusia mengolonisasi bulan Pandora dan harus berhadapan dengan penduduk asli, bangsa Na’vi. Manusia yang datang untuk menambang unobtanium, material superkonduktor yang sudah habis cadangannya di Bumi.
Dalam Avatar 1, konflik dan pertempuran terjadi di tengah hutan rimba. Dalam Way of Water, militer pengawal tambang yang dendam kepada Jake Sully, tokoh utama, sesama marinir yang membelot, mengejar hingga ke belahan lain Pandora. Klan Metkayina hidup di tepi pantai dan berdaptasi dengan laut. Di klan inilah Jake Sully meminta perlindungan. Pertempuran pun terjadi di laut, di antara pulau-pulau. Di satu pihak ada militer para penjajah dan pemburu Tulkun dengan senjata yang super canggih dan masif. Ikan Tulkun berbentuk seperti ikan paus dan dianggap sebagai saudara spiritual suku Metkayina.
Di pihak lain, ada Jake Sully dan klan Metkayina yang walaupun digambarkan primitif punya kelincahan dan penguasaan medan dan alam. Mereka mengendarai ikan terbang yang bisa dengan cepat menyelam lalu terbang sehingga membuat kendaraan permukaan para penjajah kewalahan. Apalagi, ada Payakan, Tulkun yang jadi sahabat keluarga Sully serta dendam pada para pemburu Tulkun.
Karakter perang laut
Lepas dari genre fiksi ilmiah film ini, banyak hal yang cukup realistis dalam film ini. Ada beberapa karakteristik peperangan laut, apalagi di negara kepulauan yang kian menjadi diskusi serius. Terutama ketika diposisikan dalam konteks kompetisi antara China dan Amerika Serikat kian meruncing di kawasan Asia Pasifik.
Pertama, kemampuan peperangan di laut hakikatnya adalah proyeksi dari kekuatan di darat. Berbicara tentang kekuatan laut, tidak saja menghitung jumlah kapal dan senjatanya. Dukungan di darat juga penting, mulai dari logistik, perbaikan dan pemeliharaan, hingga dukungan politik dari elite dan masyarakat. Di film Avatar, ketika militer penjajah bertempur melawan Metkayina, persenjataan mereka lebih canggih, tetapi markas besarnya sangat jauh sehingga lama untuk mendapatkan bantuan.
Dalam konteks Indonesia, dukungan terhadap maritim dan TNI Angkatan Laut belum optimal. Tidak saja karena budaya maritim hilang dihisap berbagai kerajaan agraris selama penjajahan Belanda, tetapi juga karena industri ekstraktif seperti batubara dan kelapa sawit lebih disukai elite. Salah satu implikasinya adalah kekuatan militer Indonesia sebagai negara kepulauan sangat minim.
Bahkan, dalam diskusi beberapa waktu lalu, Laksamana Pertama Didong Rio Duta, yang merupakan Kepala Pusat Kajian Maritim, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, menyampaikan, berdasarkan data, alokasi untuk modernisasi alat utama sistem persenjataan/non-alutisita/sarana dan prasarana menunjukkan kecenderungan menurun sejak tahun 2015. Padahal, kondisi nyata alutsista TNI sudah banyak yang uzur dan sistemnya tidak lagi sesuai dengan tantangan perang modern.
Kedua, laut tidak bisa diduduki seperti darat. Pertarungannya adalah pada pengendalian laut. Itu pun hanya terbatas di daerah yang dianggap strategis. Indonesia, misalnya, fokus pada pengendalian selat-selat strategis, seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, Laut Aru, dan Laut Natuna Utara. Konsekuensinya, tidak saja pihak yang daratannya berada di tempat yang jauh bisa hadir untuk berebut pengendalian laut, tetapi juga pengendalian itu bersifat relatif. Maksudnya relatif adalah tidak ada pengendalian mutlak.
Baca juga: Laut China Selatan, Babak Baru yang Makin Kompleks
Sebagai contoh, walaupun memiliki kekuatan militer, China dan AS sama-sama tidak bisa mengendalikan Laut China Selatan secara mutlak. Hu Bo, Direktur Eksekutif Institut Penelitian Laut Universitas Peking, mengutarakan pendapat di The National Interest (20/8/2018) bahwa pengendalian laut kini sifatnya inklusif. Apalagi ada negara-negara ASEAN yang walau kekuatannya menengah, punya senjata legitimasi dan jarak yang cukup dekat.
Hal ini diperkuat juga dengan karakter laut sebagai milik publik yang punya kepentingan yang sama, yaitu keamanan jalur untuk aktivitas ekonomi. United Nations Conference on Trade and Development(UNCTAD) memperkirakan, tahun 2016, 21 persen perdagangan global melewati Laut China Selatan.
Konflik di Asia Pasifik
Salah satu adegan paling menentukan dalam The Way of Water adalah ketika Payakan, seekor ikan Tuklun beraksi. Saat itu, Jake Scully telah berada di ujung tanduk kekalahan. Tiba-tiba, Payakan muncul dari dalam laut dan membuat serangan yang tidak saja mematikan, tetapi mengubah perimbangan konflik. Ukurannya yang besar membuat Payakan bisa membuat kerusakan masif. Namun, keunggulan utamanya adalah kemampuan silumannya karena berenang di dalam air sehingga bisa membuat serangan tiba-tiba.
Dalam konflik nyata, Payakan bisa diibaratkan kemampuan kapal selam. Kapal selam yang punya kemampuan siluman adalah senjata unggulan dalam peperangan laut. Apalagi di wilayah Asia Pasifik yang punya pulau-pulau kecil baik di permukaan maupun kontur di dasar laut membuat kapal selam semakin sulit terdeteksi. Tidak heran, negara-negara di Asia Pasifik kini berlomba-lomba memiliki kapal selam.
Salah satu peristiwa yang drastis adalah kerja sama Australia, Inggris, dan AS terkait pengadaan kapal selam nuklir. The Military Balance 2021 mencatat, AS memiliki 68 kapal selam, 14 di antaranya punya kemampuan rudal balistik, sementara China memiliki 59 kapal selam, enam di antaranya punya rudal balistik.
Negara-negara ASEAN juga tidak tinggal diam. Indonesia kini punya empat kapal selam dan berencana dalam waktu dekat membeli dua lagi dari total rencana memiliki 12 kapal selam. Singapura baru saja ketambahan dua kapal selam canggih kelas Invincible buatan Jerman sehingga sekarang punya tujuh kapal selam. Vietnam tahun 2009 membeli enam kapal selam Kilo Class dari Rusia, Malaysia punya dua Scorpene Class, sementara Thailand dan Filipina dalam waktu dekat juga berencana membeli kapal selam.
Kapal selam masih memberikan keunggulan strategis karena sulit dideteksi. Teknologi yang ada saat ini mendeteksi kapal selam lewat gelombang suara, walau dianggap paling efektif dan memiliki banyak kekurangan. Hal ini diperumit lagi dengan banyaknya kapal selam dan dunia yang multipolar. Mendeteksi kapal selam saja sudah susah, apalagi mengidentifikasikan, kapal selam itu milik negara mana.
Di masa Perang Dingin, ketika kapal selam AS mendeteksi kehadiran kapal selam lawan, hampir bisa dipastikan milik Rusia. Wilayah operasinya juga di samudra lepas yang minim pulau, tidak seperti di kawasan Asia Tenggara. Salah serang kapal selam malah bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Diskusi soal peperangan antikapal selam ialah hal menarik yang perlu didalami juga.
Baca juga: TNI AL Bahas Strategi Pertahanan IKN
Teknologi dan perang mendatang
Salah satu hukum teknologi yang mengemuka saat ini adalah Moore’s Law yang menyebutkan kemampuan komputasi meningkat dua kali lipat dalam waktu dua tahun dan harganya menurun jadi setengah. Konsekuensinya dalam teknologi pertahanan menjadi sangat besar. Kemampuan mengolah data menjadi lebih cepat yang di antaranya membuat teknologi sensor berkembang, demikian juga teknologi nirawak.
Dalam konteks Asia Pasifik, dua strategi yang saat ini berhadapan adalah antiakses/penangkalan area (AA/AD) dari China dan air-sea battle (ASB) atau pertempuran udara-laut dari AS. Dari sudut pandang China, mereka perlu melancarkan operasi kontra-intervensi untuk memastikan Taiwan tetap menjadi bagian dari China.
Wilayah dalam rentang antara daratan China dan apa yang disebut First Island Chain, yaitu rantai kepulauan dari Jepang-Taiwan-Filipina, menjadi wilayah strategis yang bagi China harus dikendalikan secara mutlak. Untuk itu, China membangun kekuatan rudal balistik antikapal perang, ranjau laut, kemampuan siber menyerang komando dan pengendalian lawan, serangan bergerombol (swarming), dan tentunya kemampuan serangan dari pertahanan pantai dan kapal selam.
Kalau dalam film Avatar: The Way of Water, penonton melihat pentingnya kekuatan udara yang ditunjukkan oleh panah-panah Neytiri, istri Jake Scully yang terbang dan sembunyi di bawah laut dengan mengendarai ikan terbang. AS membuat strategi ASB yang digagas sejak tahun 2010.
Dalam pelaksanaannya, berbagai literatur menyebutkan ada tiga langkah ASB, yaitu 3D: disrupt sistem komando pengendalian dan intelijen elektronik lawan, destroy atau penghancuran persenjataan AA/AD, dan defeat atau kekalahan lawan dalam serangan. Aaron L Friedberg dalam bukunya, Beyond Air-Sea Battle, mencatat bahwa AS menyebut ASB ini fokus hanya pada titik terlemah dari mata rantai yang dimiliki lawan. Langkah pertama adalah membutakan lawan, yaitu bertarget pada satelit, pos satelit di darat dan radar.
Banyak pihak memperkirakan, walaupun ketegangan China dan AS tidak sekeras Rusia dan AS dalam masa Perang Dingin, kemungkinan konflik akan terjadi di laut. The Military Balance, terbitan dari International Institute for Strategic Studies (IISS) menyebutnya ”meningkatnya dinamika dalam kompetisi maritim”.
Seperti dalam film Avatar: The Way of Water, di balik laut yang digambarkan indah, ada potensi konflik yang terus mengintai seiring dengan keinginan manusia untuk terus-menerus mengeksploitasi alam.