Tak Terima Dipecat, Sambo Gugat Presiden dan Kapolri
Sebelas tanda kehormatan yang diterima dari pimpinan Polri dijadikan dalih Ferdy Sambo menggugat keputusan pemecatannya ke PTUN Jakarta.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo menggugat Presiden Joko Widodo dan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Terdakwa kasus pembunuhan berencana dan kasus perintangan penyidikan terkait tewasnya Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat itu merasa dirugikan telah diberhentikan tidak dengan hormat dari kepolisian. Padahal, ia merasa cakap dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Polri.
Kuasa hukum Sambo, Arman Hanis, dalam keterangan pers, Jumat (30/12/2022), membenarkan bahwa kliennya menggugat keputusan pemecatannya dari kepolisian. Surat gugatan terhadap Presiden Jokowi sebagai tergugat I dan Kapolri sebagai tergugat II itu telah didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (29/12/2022).
”Kami telah melakukan pertimbangan yang cukup dan cermat serta memperhatikan ruang hukum yang tersedia bagi klien kami untuk dapat mengajukan gugatan terkait keputusan PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) yang dijatuhkan kepada klien kami,” kata Arman.
Tim kuasa hukum dari Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, yakni Arman Hanis dan Febri Diansyah, tengah berada di gedung Jampidum Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Sambo diberhentikan dengan tidak hormat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71/POLRI/Tahun 2022 tentang Pemberhentian Tidak Hormat Perwira Tinggi Polri tanggal 26 September 2022. Sambo yang kala itu berpangkat inspektur jenderal dipecat karena terbukti melanggar etik dan melakukan perbuatan tercela karena terlibat dalam pembunuhan berencana Nofriansyah.
Arman menjelaskan, sesuai Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, seseorang atau badan dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah jika merasa dirugikan. Ruang hukum itulah yang digunakan Sambo untuk menggugat keputusan pemecatannya ke PTUN Jakarta.
Salah satu pertimbangan gugatan ke PTUN tersebut adalah bahwa selama menjadi anggota Polri, Sambo telah dengan cakap melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai anggota Polri. Hal itu terbukti dengan telah diterimanya 11 tanda kehormatan dari pimpinan Polri.
Pada prinsipnya, Polri akan menghadapi gugatan tersebut. Selain itu, Polri juga tetap menghargai hak konstitusional setiap warga negara.
Demikian pula terkait dengan kasus pidana yang melibatkan Sambo, menurut Arman, pada 22 Agustus 2022 Sambo telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai anggota Polri yang ditujukan kepada Kapolri. Namun, surat tersebut tidak diproses. Padahal, hak pengunduran diri tersebut telah diatur dalam Pasal 111 Ayat (1) dan Ayat (2) Huruf a dan b Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP).
Gugatan tersebut, menurut Arman, merupakan cara untuk memperoleh jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum untuk Sambo. Dengan demikian, Arman menilai gugatan ke PTUN sebagai hal yang biasa saja dan merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh negara kepada warga negara.
”Proses peradilan pidana dan upaya hukum di PTUN yang dijalani oleh klien kami adalah dua obyek yang berbeda dan seyogianya tidak perlu dikaitkan secara berlebihan,” ujar Arman.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan bahwa pada prinsipnya, Polri akan menghadapi gugatan tersebut. Selain itu, Polri juga tetap menghargai hak konstitusional setiap warga negara.