Penyelesaian Nonyudisial Peristiwa 1965 Diterima dengan Catatan
Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu menggelar audiensi dengan PBNU dan ulama NU di Pondok Pesantren Islam Miftachus Sunnah, Surabaya. Audiensi itu membicarakan peristiwa 1965-1966.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menerima upaya yang dilakukanTim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu dengan catatan tidak mengorek luka lama. Nahdlatul Ulama menilai santunan dan bantuan kepada pihak-pihak yang menjadi korban mutlak didukung, siapa pun yang menjadi korban.
Hal itu terungkap saat Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) menggelar audiensi dengan PBNU dan ulama NU di Pondok Pesantren Islam Miftachus Sunnah, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (27/12/2022). Audiensi itu membicarakan peristiwa1965-1966, di antaranya konflik horizontal antara NU dan Partai Komunis Indonesia.
Audiensi dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang juga Ketua Pengarah Tim PPHAM, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono dan anggota tim, serta sejumlah tokohNU.
KH Anwar Iskandar, Wakil Rais Aam PBNU, menyampaikan, tidak ada alasan bagi PBNU untuk tidak menerima upayaTim PPHAM. Namun, upaya itu diterima tidak dengan mutlak. Ada catatan, di antaranya jangan sampai ada diksi yang membuat luka lama terkorek kembali.
Dia juga berharap Tim PPHAM menghasilkan rekomendasinetral dan tak bias kepentingan politik tertentu. Keberadaan tim PPHAM seharusnya menjamin terciptanya persatuan bangsa yang lebih kuat.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf juga menyebut upaya yang dilakukan oleh Tim PPHAM minim pretensi ataupun desakan politik. Upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu secara nonyudisial adalah inisiatif pemerintah.
Dari sudut pandang NU, dia menilai sudah tidak ada kekhawatiran terkait dengan peristiwa 1965. Peristiwanya sudah terjadi jauh di masa lalu, pihak-pihak yang terlibat mayoritas sudah meninggal dunia. Keinginan dari Tim PPHAM untuk merehabilitasi dan memberikan restitusi bagi korban tanpa mempersoalkan pertentangan yang pernah terjadi perlu diapresiasi.
”Karena peristiwa sudah lama, mau diapakan lagi? Kalau kata orang Rembang, kaya benang ruwet kecemplung peceren (seperti benang ruwet jatuh di got). Diurai lagi itu sudah susahnya minta ampun,” ucapnya.
Dia menambahkan, bagi NU, yang penting dari upaya penyelesaian nonyudisial adalah semua kesengsaraan yang pernah ditanggung kelompok mana pun apabila negara bisa memberikan bantuan tentu akan lebih baik. NU juga mendukung upaya penegakan hukum kasus pelanggaran HAM berat sejauh yang bisa dilakukan.
”Santunan dan bantuan kepada pihak-pihak yang menjadi korban mutlak didukung, siapa pun yang menjadi korban. PBNU dan Kiai NU percaya kepada Tim PPHAM bisa melakukan agenda-agenda yang arahnya konstruktif terkait peristiwa-peristiwa traumatis,” ujarnya.
Terkait dengan permintaan maaf, Yahya menyebut ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, permintaan maaf terkait peristiwa 1965 pernah disampaikan. Hal itu diulangi saat Gus Dur menjabat sebagai presiden. Oleh karena itu, NU tidak lagi meminta permintaan maaf dari negara sebagai langkah politik pemerintah.
”Tetapi, saya kira publik membutuhkan kejelasan posisi pemerintah soal ini (permintaan maaf),” ucapnya.
Mahfud MD menuturkan, sesuai amanat undang-undang, pemerintah dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM berat adalah kasus yang melibatkan campur tangan negara secara terstruktur, sistematis, dengan dampak yang masif.
Hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan ada 13 kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Di antaranya adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1984, Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer Aceh 1989-1998,Talangsari 1989,Trisakti1998, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998,Simpang KAA 1999, pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1999,Wasior 2001,Wamena 2003, Jambo Keupok Aceh 2003, dan Paniai 2014.
”Cara menyelesaikannya ada dua, satu melalui pengadilan dan dua melalui nonyudisial. Yang nonyudisial itu biasanya disebut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tetapi undang-undangnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan belum jadi dibuat lagi. Sementara kami punya tugas untuk rehabilitasi sosial, mental, psikologis, dsb. Itulah sebabnya dibentuk Tim PPHAM,” katanya.
Dia juga menegaskan bahwa penyelesaian nonyudisial itu tidak akan menghapuskan proses yudisial karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dari jalur hukum tidak ada kedaluwarsanya. Kasus baru dinyatakan selesai ketika sudah diputus oleh pengadilan. Dia meminta masyarakat tidak salah mengira tentang kinerja PPHAM. PPHAM tidak akan menutup kasus pelanggaran HAM berat.
”Silakan saja hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku,” ungkapnya.
Mahfud juga menyebutkan, setelah audiensi dengan PBNU, tim PPHAM segera merampungkan rekomendasi untuk diserahkan kepada Presiden. Tenggat penyerahan rekomendasi itu adalah awal tahun 2023 sehingga tim harus menyelesaikannya paling lambat 31 Desember 2022.
Melengkapi
Sejarawan Bondan Kanumoyoso berpandangan rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang harus disikapi arif, bukan dengan dikotomi hitam-putih. Rekonsiliasi membutuhkan syarat menerima apa yang sudah terjadi di masa lalu sebagai perjalanan bangsa. Apa yang terjadi di masa lalu tidak boleh dilupakan agar bisa menatap masa depan. Untuk peristiwa 1965, menurut dia, memang masih banyak kontroversi yang belum sepenuhnya bisa diurai dengan gamblang. Ada berbagai peristiwa yang saling berurutan dan saling bertumpuk-tumpuk.
”Dengan demikian, tidak bisa kita menyalahkan satu penyebab atau pihak tertentu karena ini adalah hal yang kompleks. Negara harus meminta maaf karena telah membiarkan tindak kekerasan itu terjadi di masa lalu, untuk menciptakan rekonsiliasi nasional,” tuturnya.
Jika membaca dokumen dan riset terkini, Bondan meyakini pihak yang bersalah dalam peristiwa tersebut tidaklah tunggal. Agar bisa menjadi pembelajaran ke depan, negara perlu meminta maaf kepada seluruh rakyat karena telah membiarkan kekerasan itu terjadi di masa lalu.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menegaskan, keseluruhan proses yang dilakukan Tim PPHAM termasuk rekomendasi yang dihasilkan tidak boleh menyimpangi prinsip-prinsip dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Prinsip-prinsip terkait keadilan transisional, negara hukum, HAM, dan reparasi korban tidak boleh ditinggalkan. Rekomendasi juga harus dipastikan bahwa tidak akan menggantikan langkah-langkah yudisial yang berlangsung di Komnas HAM. Meskipun realitanya, sampai dengan hari ini, penyidikan kasus pelanggaran ham berat masih mandek di Kejaksaan Agung.
”Bukan berarti penyelesaian hukum bisa digantikan dengan mekanisme nonyudisial yang dilakukan Tim PPHAM. Rekomendasi Tim PPHAM seharusnya melihat pola-pola pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu atau sebelum tahun 2000. Setelah tahun 2000 sepenuhnya harus menggunakan mekanisme yudisial,” tegasnya.
Menurut dia, penyelesaian nonyudisial sifatnya hanya melengkapi mekanisme penyelesaian secara hukum di pengadilan. Hasil rekomendasi dari Tim PPHAM seharusnya bisa mendesak negara untuk memberikan pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di masa lalu. Setelah itu, baru bisa bergerak ke langkah reparasi yang bisa dilakukan oleh negara. Itu bisa dilakukan dalam bentuk permintaan maaf atau penyesalan resmi negara yang ditindaklanjuti dengan pemulihan hak korban.