Saat Konstitusi Tak Diikuti, di Mana Posisi Para Akademisi?
Para intelektual hukum dinilai seolah berlomba menempati pos jabatan strategis di Republik Indonesia. Namun, kiprahnya dianggap tak sebanding dengan harapan publik.
Dunia hukum mencatatkan sejarah kelam pada tahun 2022. Kekuasaan kehakiman diintervensi secara kasatmata melalui penggantian hakim konstitusi di tengah masa jabatannya. Penggantian oleh lembaga legislatif tersebut dilakukan karena putusan hakim yang bersangkutan tidak sesuai dengan keinginan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah 20 tahun konstitusi memberikan jaminan kemerdekaan badan peradilan menegakkan hukum dan keadilan, pelanggaran dilakukan. Sembilan mantan hakim konstitusi, termasuk tiga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, kompak menyatakan penggantian hakim itu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan Undang-Undang MK. Tetap saja, proses penggantian berjalan tanpa hambatan. Presiden yang diharapkan menghentikan pelanggaran terjadi dengan tidak mengeluarkan keputusan pemberhentian dan pengangkatan hakim baru seolah tutup mata.
Aswanto diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim konstitusi dan diganti dengan Guntur Hamzah yang ketika itu menjadi Sekretaris Jenderal MK. Pada November 2022, Guntur Hamzah mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi di hadapan Presiden Joko Widodo.
Terkait situasi tersebut, ada kegelisahan yang dilontarkan oleh salah seorang pemikir hukum tata negara (HTN) yang masih muda: mana suara para pakar HTN beserta organisasi yang menaunginya. Kritik dilontarkan, tetapi kebanyakan suara personal dan tidak masif. Boleh dibilang, dia lagi dia lagi.
Padahal, mengacu pada data Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Administrasi Negara (APHTN-HAN), ada lebih dari 1.100 orang yang menjadi anggota asosiasi. Belum lagi akademisi di bidang yang sama yang bergabung dengan organisasi di luar APHTN-HAN, seperti Constitucy and Administrative Law Society (CALS) dan lainnya.
Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdyansah Hamzah, melakukan analisis isi terhadap berita-berita di media massa nasional baik cetak maupun elektronik serta siaran pers yang dibuat oleh lembaga/organisasi dalam menyikapi isu tersebut. Hasilnya, untuk isu yang tidak berhubungan langsung dengan kekuasaan (revisi UU KPK, UU Cipta Kerja), respons yang diberikan cukup masif. Ia mencatat, ada 332 akademisi dari 119 kampus di seluruh Indonesia yang bergabung dalam pernyataan sikap terkait RUU Cipta Kerja yang dibuat dengan metode omnibus law.
Sebaliknya, untuk isu-isu yang berhubungan secara langsung dengan kekuasaan, seperti masa jabatan presiden tiga periode, penundaan pemilu, dan penggantian hakim MK di tengah masa jabatan, respons yang diberikan sangat minim. Jikapun ada, respons diberikan oleh CALS, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, dan organisasi sejenis. Beberapa akademisi HTN juga mengeluarkan respons yang kebanyakan bersifat pendapat personal.
Dalam analisisnya lebih jauh, Herdyansah menengarai ada konflik kepentingan ketika merespons sejumlah isu, terutama isu penggantian hakim MK di tengah masa jabatannya. Seperti diketahui, Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah yang juga Ketua Umum APHTN-HAN sejak 2021.
”Ada relasi kepentingan yang membuatnya sulit untuk memberikan respons terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan MK, terutama yang berhubungan dengan uji materi undang-undang. Hampir tidak ada respons dari AP HTN-HAN yang terkait uji materi undang-undang, terutama yang dianggap kontroversial dan bertentangan dengan nalar publik,” ungkap Herdyansah.
Faktor lainnya adalah intelektual HTN di pusaran kekuasaan. Ketua Umum APHTN-HAN sebelumnya adalah Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. ”Tentu akan sulit memberikan respons dalam bentuk pernyataan yang bertentangan dengan produk hukum ataupun kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, dalam merespons isu perpanjangan masa jabatan, baik tiga periode maupun penundaan pemilu, Mahfud MD seolah berada di dua kaki, yakni satu kaki dalam barisan intelektual HTN dan satu kaki lainnya berada di Istana,” tulis Herdyansah.
Faktor lain yang menyebabkan minimnya penyikapan di kalangan intelektual HTN berkaitan dengan kemandirian, lemahnya konsolidasi barisan intelektual HTN, dan karakter isu yang dihadapi.
Baca juga : Masyarakat Sipil Anggap Penerbitan Perppu Cipta Kerja Banyak Kontradiksi
Guru besar hukum tata negara Denny Indrayana menyebut budaya ewuh-pakewuh berkontribusi besar dalam banyak ”diamnya” para intelektual HTN terhadap isu penggantian hakim konstitusi di tengah masa jabatannya. ”Akademisi harus tetap dengan nilai-nilainya, jangan gamang ketika ketemu realitas. Persoalan independensi kekuasaan kehakiman yang kita ajarkan di kuliah HTN terlihat dalam kasus Aswanto. Kita kemudian tidak banyak bersuara karena ewuh-pakewuh. Artinya, pelajarannya ke depan adalah jangan pilih ketua yang punya potensi konflik kepentingan,” katanya saat ditemui secara terpisah.
Dia juga menyarankan agar APHTN-HAN sebagai organisasi terbesar yang mewadahi lebih dari 1.000 pengajar hukum tata negara dan administrasi negara untuk meninjau ulang diperbolehkannya pengurusnya merangkap jabatan di pemerintahan/lembaga negara.
Sebuah pengkhianatan?
Julien Benda, filsuf Perancis, pernah menulis tentang ”pengkhianatan kaum intelektual”, yang bagi Herdyansah menggambarkan kondisi intelektual hukum hari ini. Menurut dia, para intelektual hukum seolah berlomba menempati pos jabatan strategis di Republik Indonesia. Namun, kontribusinya tidak sebanding dengan harapan yang dikehendaki publik.
”Kiprah mereka tidak memberikan dampak apa-apa terhadap perbaikan sendi-sendi hukum bangsa. Bahkan, kebaikan publik yang seharusnya menjadi fondasi dasar dalam pembentukan hukum sering diabaikan oleh pemerintah dan DPR. Dan parahnya, para intelektual hukum seolah menjadi juru bicara bagi kedua lembaga negara tersebut,” ujar Herdyansah, yang sering dipanggil Castro oleh rekan-rekannya itu.
Beberapa isu yang seharusnya disikapi secara kritis oleh para kaum intelektual HTN dan organisasi HTN tersebut adalah fenomena fast track legislation yang menafikan partisipasi bermakna, seperti perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Minerba, UU MK, dan pembentukan UU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law.
”Semua dikebut dengan cara ugal-ugalan, nir-partisipasi, dan hanya mengakomodasikan kepentingan para oligarki yang menyandera negara. Dan dalam proses legislasi ugal-ugalan ini ada kontribusi para intelektual hukum kita, termasuk intelektual yang bergelut di bidang HTN. Intelektual HTN tersebut pada akhirnya hanya menjadi stempel kekuasaan,” tulisnya dalam makalah berjudul ”Lunturnya Moralitas Konstitusi Intelektual Hukum Tata Negara”. Makalah tersebut dipresentasikan dalam salah satu panel Konferensi Hukum Tata Negara VII yang digelar di Batu, Malang, Jawa Timur, awal Desember lalu.
Lebih lanjut Herdyansah juga mengkritik para intelektual HTN seolah memberi lampu hijau bagi elite politik untuk mengobok-obok konstitusi. ”Mereka tidak bereaksi, bahkan cenderung diam saat demokrasi dan UUD 1945 berada dalam ancaman. Mereka telah melepaskan moralitas konstitusi (constitutional morality) yang seharusnya mereka pegang teguh sebagai intelektual HTN,” paparnya.
Ia mendefinisikan moralitas konstitusi sebagai tanggung jawab moral tiap warga negara untuk setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi serta bersedia menjaganya dengan segenap upaya dari segala macam ancaman. Minimnya respons akademisi terhadap isu-isu HTN yang mengancam demokrasi dan konstitusi menunjukkan adanya pertanda lunturnya moralitas konstitusi dari hari ke hari.
Menanggapi sepinya pendapat resmi dari organisasi, Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono mengatakan, pendapat organisasi biasanya disampaikan dalam Konferensi Nasional APHTN-HAN yang diselenggarakan tiap tahun. Forum ini dinilai paling representatif untuk membuat pernyataan sikap asosiasi atas kondisi penyelenggaraan ketatanegaraan.
Namun, APHTN-HAN tidak melarang para anggotanya untuk menyampaikan pandangan pribadi mereka, bahkan dengan menggunakan atribusi sebagai pengurus. Dalam kasus penggantian hakim konstitusi di tengah masa jabatannya, Khairul Fahmi dari Pengurus Pusat APHTN-HAN, misalnya, mengkritik hal tersebut dalam tulisan berjudul ”Bersepakat Melanggar Konstitusi”.
Bayu mengatakan, sulit memberikan respons resmi organisasi untuk setiap isu hukum tata negara yang mengemuka. Sebab, APHTN-HAN yang beranggotakan lebih dari 1.100 orang memiliki pendapat berbeda-beda dan tidak mungkin dilakukan voting untuk menentukan sikap organisasi. Ia memberikan ilustrasi, di antara hakim MK yang jumlahnya hanya sembilan, putusan yang dibuat tak selalu bulat. Ada dissenting opinion (pendapat berbeda), ada pula concurring opinion (pendapat sama dengan alasan yang berbeda).
”Di APHTN-HAN ini politiknya kesetaraan, kesetaraan semua anggota. Anggota punya hak yang sama, nggak ada yang diistimewakan. Ketika ada perbedaan itu, kan, nggak mungkin divoting. Masak organisasi ambil keputusan divoting. Akhirnya kami putuskan begini, sudah setahun sekali kami pasti keluarkan rekomendasi Konferensi Nasional APHTN-HAN,” ujar Bayu.
Tahun ini, konferensi yang digelar di Bali pada Mei lalu itu menghasilkan sejumlah pokok pikiran dan rekomendasi. Terkait pemilu, misalnya, APHTN-HAN menyatakan penundaan pemilu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip konstitusionalisme. Pemilu harus tetap dilakukan pada 2024 dan wacana penundaan pemilu sebaiknya dihentikan. Perlu pula diatur lebih lanjut di dalam undang-undang jika pemilu harus ditunda karena keadaan bahaya, kualifikasi keadaan bahaya yang dimaksud, dan limit waktu pemberlakuan pemilu lanjutan/susulan.
Terkait penataan legislasi dan peraturan kebijakan, misalnya, APHTN-HAN merekomendasikan perlunya adopsi secara resmi program penataan peraturan perundang-undangan di tingkat politik negara sebagai pedoman bersama menata perundang-undangan, mendorong pembentukan kementerian/lembaga khusus untuk urusan pembentukan peraturan perundang-undangan, merealisasikan konsep partisipasi bermakna (meaningful participation), dan lainnya.
Bayu tidak sepakat jika APHTN-HAN telah kehilangan daya kritiknya karena dekat dengan kekuasaan. Ia mempertanyakan parameter yang digunakan untuk menilai sebuah kedekatan kekuasaan tersebut.
Menutup tulisan ini, barangkali pesan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang juga begawan HTN saat purnabakti sebagai guru besar pada 6 Oktober 2011 penting untuk diingat kembali. Isi pidato itu masih sangat relevan hingat saat ini.
”Kepada rekan-rekan yang mendalami ilmu hukum tata negara. Ilmu hukum tata negara bukanlah ilmu yang sangat netral, karena itu tidak selalu aman dan nyaman. Ilmu hukum tata negara adalah salah satu cabang ilmu kenegaraan, sangat erat bersentuhan dengan organisasi dan sistem kekuasaan yang tidak selalu sejalan dengan asas, kaidah, dan konsep ilmu hukum tata negara. Tanpa karakter atau kepribadian yang kuat, ahli hukum tata negara dapat menjadi alat kekuasaan belaka. Saya berharap kalian tetap teguh dengan prinsip-prinsip keilmuan yang bertanggung jawab. Jadilah selalu peniup sangkakala apabila kekuasaan tidak lagi bekerja demi kepentingan dan kebaikan bersama.”