Masyarakat Sipil Anggap Penerbitan Perppu Cipta Kerja Banyak Kontradiksi
”Jadi penerbitan perppu ini memang akal-akalan. Saya tidak merasa ada pendekatan teoretis, bahkan tidak terlihat ilmu perundang-undangannya,” kata Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari soal Perppu Cipta Kerja.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
NINA SUSILO/KOMPAS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej mengumumkan Perppu Cipta Kerja setelah bertemu Presiden pukul 10.15 sampai pukul 10.45 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan masyarakat sipil menilai tidak ada hal ihwal kegentingan atau kekosongan hukum sehingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja harus diterbitkan. Penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai mengandung banyak kontradiksi.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari ketika dihubungi, Minggu (1/1/2023), berpandangan, penerbitan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja tersebut mengandung banyak kontradiksi. Beberapa kontradiksi tersebut adalah konsideran perppu yang menyatakan sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020.
Adapun Putusan MK tersebut memerintahkan pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dengan rentang waktu dua tahun. Hal yang menjadi kontradiksi, kata Feri, sejak putusan MK tersebut dikeluarkan pada 25 November 2021, tidak pernah ada upaya atau langkah untuk memperbaiki UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Sementara, kini Perppu No 2/2022 disebut sebagai upaya perbaikan tersebut sebenarnya bukanlah upaya perbaikan yang dimaksud. Terlebih, Perppu No 2/2022 juga mengaktifkan kembali UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja cacat hukum sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Putusan MK tersebut mengamanatkan agar proses pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja diperbaiki, khususnya yang berkaitan dengan asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari
Feri juga menyoroti mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa perppu diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sementara, kebutuhan hukum terhadap kegentingan itu tidak berasal karena adanya kekosongan hukum dan bukan menjadi kebutuhan yang dampaknya dirasakan publik secara luar. Di sisi lain, Perppu No 2/2022 disusun dengan menggunakan kalimat panjang yang sama sekali tidak menunjukkan kegentingan itu.
”Jadi penerbitan perppu ini memang akal-akalan. Saya tidak merasa ada pendekatan teoretis, bahkan tidak terlihat ilmu perundang-undangannya. Ini lebih banyak kepentingan politik yang bermain,” ujar Feri.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menuturkan, Perppu Cipta Kerja sekaligus menggugurkan inkonstitusional bersyarat yang disematkan MK pada UU Cipta Kerja. ”Inkonstitusional bersyarat artinya sesuatu dinyatakan inkonstitusional sampai dipenuhinya syarat-syarat tertentu. Dipenuhinya syarat-syarat tertentu itu, kan, di undang-undang. Karena ada kebutuhan mendesak, kita tidak menunggu undang-undang baru, tetapi membuat perppu karena perppu setara dengan undang-undang,” tuturnya.
Namun, perppu biasa diterbitkan ketika ada kondisi mendesak dan ada kekosongan hukum. Mahfud menyebut berbagai kondisi ekonomi yang dipaparkan Airlangga sebagai kondisi mendesak. Selain itu, dia menambahkan, kondisi mendesak adalah hak subyektif presiden. Presiden memiliki hak subyektif untuk menentukan keadaan genting dan memaksa itu yang akan dijelaskan pada proses legislasi di masa sidang DPR berikutnya (Kompas.id, 30/12/2022).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur dalam keterangannya menilai bahwa penerbitan Perppu No 2/2022 merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini, katanya, sekaligus menunjukkan sikap otoritarianisme dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.
”Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna sebagaimana diperintahkan MK,” kata Isnur.
Selain itu, penerbitan Perppu No 2/2022 tersebut tidak memenuhi syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, serta proses pembuatan yang tidak bisa dilakukan dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Demikian pula, Presiden dinilai telah mengakali Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 karena perintah MK adalah agar pemerintah memperbaiki UU tentang Cipta Kerja, bukan menerbitkan perppu.
Isnur juga menilai alasan penerbitan Perppu No 2/2022 mengenai dampak perang Ukraina-Rusia serta ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia sebagai alasan mengada-ada dan tidak masuk akal. Demikian pula alasan adanya kekosongan hukum juga dinilai tidak berdasar.
Sebaliknya, kata Isnur, penerbitan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja tersebut lebih dimaksudkan untuk memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Hal itu tampak dari pernyataan pemerintah bahwa penerbitan Perppu No 2/2022 tersebut akan memberikan kepstian hukum bagi pengusaha, bukan rakyat secara keseluruhan.
Sebagaimana diberitakan, ketika mengumumkan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja, Presiden menyatakan dunia tidak sedang baik-baik saja. Menurut Presiden, ada ancaman risiko ketidakpastian berupa kekosongan hukum yang diperlukan investor dalam dan luar negeri. Demikian pula Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, dunia usaha memerlukan kepastian hukum setelah terbit Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020. Untuk memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha, pemerintah menerbitkan Perppu No 2/2022 tersebut (Kompas.id, 30/1/2022).
Demikian pula mengenai pemilihan waktu penerbitan Perppu No 2/2022 yang berada di ujung tahun, menurut Isnur, hal itu memperlihatkan Presiden tidak ingin ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi. Sebab, di akhir tahun, kebanyakan masyarakat tengah berlibur akhir tahun. Oleh karena itu, Isnur meminta agar Presiden tetap melaksanakan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dan menarik kembali Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Massa demonstran bertahan di sekitar bundaran Patung Arjuna Wijaya meski tembakan gas air mata oleh polisi terus datang, Kamis (8/10/2020).
Wakil Koordinator II Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, dalam keterangan tertulis, juga menyampaikan, penerbitan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja sebagai bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020. Penerbitan perppu tersebut dinilai tidak sesuai dengan ucapan pemerintah yang sebelumnya telah menyatakan akan mematuhi Putusan MK tersebut.
Demikian pula hal ihwal kegentingan yang memaksa diterbitkannya Perppu No 2/2022 dinilai sama sekali tidak terpenuhi. ”Saat ini, tidak ada gejolak atau desakan dari publik agar presiden mengeluarkan Perppu terkait UU Cipta Kerja. Bahkan, sebaliknya, saat tahap pembahasan hingga pengesahan UU tersebut, penolakan justru sangat masif di berbagai daerah di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan hal itu, kata Rivanlee, pihaknya meminta kepada presiden untuk membatalkan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja. Ia berharap agar DPR tidak menyetujui langkah presiden dalam menerbitkan Perppu No 2/2022 tersebut.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang juga Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, ketika dihubungi, menyatakan belum bisa berkomentar terkait penerbitan Perppu No 2/2022. Sebab, ia mengaku belum membaca isi dari perppu tersebut.