Revisi KUHAP dan Kisah Perebutan Kewenangan yang Belum Usai
Perbaikan hukum acara pidana mendesak dilakukan untuk mengakhiri perebutan kewenangan antarlembaga penegak hukum akibat konsep diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP yang berlaku saat ini.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah disahkan pada 6 Desember 2022. Pekerjaan besar berikutnya dalam memperbaiki sistem peradilan pidana menanti di depan mata. Pekerjaan itu adalah memperbaiki hukum acara pidana agar lebih menjamin terselenggaranya proses hukum yang lebih memperhatikan hak-hak tersangka dan terdakwa. Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP menjadi agenda yang mendesak.
Banyak pihak menyatakan bahwa KUHAP yang berlaku saat ini jauh dari ideal dan perlu disesuaikan dengan semangat dan perkembangan zaman. Praktik-praktik penyimpangan dalam proses penegakan hukum, seperti praktik penyiksaan yang dilakukan penyidik terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, minimnya perlawanan yang dapat dilakukan seorang tersangka terhadap upaya paksa penyidik, sulitnya melawan bukti yang diajukan penyidik, serta sederet permasalahan lainnya, menjadi titik lemah dalam KUHAP yang berlaku saat ini.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam acara peluncuran Audit KUHAP yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), akhir Desember lalu, mengungkapkan, filosofi sebuah hukum acara pidana adalah bukan untuk memproses tersangka, melainkan untuk mencegah agar jangan sampai aparat penegak hukum bertindak sewenang- wenang. ”Itu harus dipahami bersama. Dan saya tidak melihat itu (di KUHAP),” kata Eddy.
Ada banyak persoalan yang ada di dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Eddy sepakat dengan perlunya revisi, khususnya dalam tiga hal, yaitu pengaturan mengenai upaya paksa (penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lainnya), pembuktian, serta advokat.
Tukang pos
KUHAP yang berlaku saat ini sudah berusia 41 tahun. Ia dibentuk pada tahun 1980-an, era di mana negara memiliki kekuasaan yang sedemikian besar atau otoritarian. Tidak heran apabila instrumen hukum yang dihasilkan, termasuk KUHAP, pun tidak sejalan lagi dengan berbagai konvensi internasional yang berkembang saat ini. Umumnya, konvensi internasional saat ini memiliki semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Sebanyak 12 peneliti telah mengaudit KUHAP sejak September 2020. Hasil audit diluncurkan ICJR, Selasa (21/12/2022). Penelitian yang dilakukan akademisi lintas perguruan tinggi tersebut menemukan banyak masalah dalam KUHAP. Diharapkan, hasil audit tersebut nantinya dapat menjadi masukan pada saat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas perubahan KUHAP.
Dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, KUHAP menganut konsep diferensiasi fungsional yang didesain untuk mempertegas independensi dan menyelesaikan tumpang tindih kewenangan penanganan perkara pidana. Dalam praktiknya, seperti diungkapkan peneliti ICJR, Anugerah Rizki Akbari, konsep tersebut justru menimbulkan banyak persoalan.
Sistem diferensiasi fungsional memisahkan secara tegas kewenangan masing-masing institusi penegak hukum. Dari penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, hingga jaminan adanya independensi dalam pelaksanaannya.
Hal itu menyebabkan kejaksaan tidak memiliki fungsi pengendalian perkara sejak awal tahap penyidikan (dominus litis) karena posisi tersebut diserahkan kepada kepolisian. Sementara menurut Anugerah Rizki, tidak ada pengawasan horizontal terhadap polisi. Jaminan profesionalitas atau independensi penegak hukum diarahkan dalam kerangka pra- penuntutan yang sering kali tergambar dalam bolak-baliknya perkara dari kejaksaan ke penyidik dan sebaliknya apabila ada kekurangan berkas.
Tidak adanya kendali perkara oleh jaksa tersebut mengakibatkan penuntutan tetap dilanjutkan meski ada rekayasa kasus dalam tahap penyidikan. Penuntutan hanya didasarkan pada berkas perkara yang dinyatakan sudah lengkap oleh kejaksaan. Tidak ada tinjauan keakuratan atas proses yang dilakukan. Jaksa menjalankan apa saja yang dihasilkan dari proses penyidikan. Karena itu bisa dikatakan posisi jaksa terbatas sebagai tukang pos dalam sistem peradilan pidana. Jaksa hanya sebagai justice system postman.
Oleh karena itu, tidak heran apabila jaksa akan mati-matian mempertahankan hasil penyidikan dan membuktikannya di pengadilan. Kondisi ini sama seperti diungkapkan dalam penelitian Fachrizal Afandi, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, yang dituangkan dalam disertasi berjudul ”Maintaining Order: Public Prosecutors in Post-authoritarian Countries, the Case of Indonesia” di Universitas Leiden, Belanda. Begitu jaksa melanjutkan persidangan sebuah kasus, dengan segala cara mereka akan mempertahankan fakta yang termuat dalam berkas perkara polisi. Jika dalam persidangan jaksa menemukan bukti palsu yang diajukan polisi, mereka tetap menuntut terdakwa dan meminta hakim menjatuhkan hukuman minimum yang sama dengan masa penahanan.
Perebutan kewenangan
Advokat senior Luhut MP Pangaribuan juga mengkritik konsep diferensiasi fungsional yang dianut di dalam KUHAP saat ini. Ia menyebut konsep itu menjadi perseteruan yang tidak pernah selesai di antara lembaga yang tidak memiliki kewenangan dalam subsistem peradilan pidana. ”Kenapa diferensiasi fungsional dibuat? Karena masing-masing ingin menjadi pulau-pulau tersendiri. Penyidik sendiri, jaksa tersendiri, maka dibuat pra-penuntutan sebagai jembatan,” katanya.
Revisi KUHAP merupakan tugas yang lebih berat dibandingkan mengubah KUHP. Sebab, KUHAP berkaitan dengan beberapa institusi penegak hukum yang tidak bisa dimungkiri akan ada perebutan kewenangan di antara mereka
Maka, tidak heran apabila kemudian Wamenkumham Eddy OS Hiariej mengungkapkan bahwa revisi KUHAP merupakan tugas yang lebih berat dibandingkan mengubah KUHP. Sebab, KUHAP berkaitan dengan beberapa institusi penegak hukum yang tidak bisa dimungkiri akan ada perebutan kewenangan di antara mereka. Dalam kaitannya dengan hal itu, pemerintah dan DPR sudah sepakat revisi KUHAP akan menjadi RUU hak inisiatif DPR, bukan pemerintah.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengamini pernyataan Wamenkumham. DPR memaklumi tidak mudah bagi pemerintah menyusun naskah akademik dan draf revisi KUHAP. Sebab, pada rumpun eksekutif ada Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan.
”Memang tidak mudah. Saya sampaikan kepada Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly), kalau jadi inisiatif pemerintah, memang sampai kiamat kurang dua hari, susah mengajukan RUU perubahan atas UU KUHAP. Karena apa? Tidak mudah,” ujarnya.
Ia kemudian bercerita tentang apa yang terjadi saat Komisi III DPR membahas revisi UU Kejaksaan yang kini sudah diundangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2011. Arsul pernah mempertanyakan mengapa fenomena berkas penyidikan yang sering kali bolak-balik kepolisian-kejaksaan sampai 7 hingga 10 kali untuk satu perkara sampai akhirnya dinyatakan lengkap (P21).
”Jaksanya mungkin bilang, ini penyidik memang setengah hati karena petunjuk jaksa tidak dipenuhi. Polisinya bilang: ini jaksa minta yang enggak-enggak. Jangan-jangan sudah masuk angin. Padahal sudah sama-sama masuk angin. Itu ada yang seperti itu,” kata Arsul blak-blakan.
Komisi III DPR akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan isu tersebut dan memutuskan akan diperdebatkan kembali pada amandemen KUHAP. Sebab, jaksa meminta adanya kewenangan penyidikan tambahan untuk mengatasi bolak-baliknya berkas perkara, sementara kepolisian tidak setuju jika jaksa diberi kewenangan penyidikan tambahan. ”Ini nanti yang harus diselesaikan,” kata Arsul.
Kecenderungan mengusulkan penambahan kewenangan oleh tiap-tiap institusi penegak hukum juga menjadi catatan Luhut. Menurut dia, masing- masing institusi ada keinginan untuk mendapatkan kewenangan lebih banyak, bukan bekerja dengan lebih baik lagi. Ini setidaknya terlihat dalam peraturan mengenai pelaksanaan keadilan restoratif di mana tiap-tiap institusi menerbitkan aturan tersendiri.
Saat ini, revisi KUHAP telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2023. Namun, Arsul mengakui penyusunan draf revisi KUHP akan sulit dibahas tahun ini mengingat tahun politik sudah tiba. Konsentrasi anggota DPR, khususnya mereka yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 2024, akan terpecah.
Sebelum memasuki substansi norma yang mau diatur di KUHAP, DPR harus memutuskan terlebih dahulu apakah KUHAP tersebut akan direvisi ataukah diganti sepenuhnya. Mengacu pada UU Pembentukan Peraturan Perundangan, perubahan dan pergantian merupakan dua terminologi yang berbeda. Jika yang diubah lebih dari 50 persen dari materi yang ada, KUHAP menjadi undang- undang baru.
Terlepas dari persoalan tersebut, semua pihak sepakat bahwa ada urgensi untuk memperbaiki KUHAP. Hukum acara pidana yang berlaku saat ini tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum yang sudah jauh lebih maju dan mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.