Panitera Pengganti Tersangka, Mantan Hakim Agung Minta Majelis Hakim Diperiksa
Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, penetapan panitera pengganti kamar perdata MA, Edy Wibowo, sebagai tersangka ialah pengembangan dari penyidikan dugaan suap pengurusan perkara yang melibatkan Hakim Agung Sudrajat Dimyati.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan panitera pengganti di kamar perdata Mahkamah Agung, Edy Wibowo, sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara kepailitan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, Sulawesi Selatan. Edy diduga menerima suap senilai Rp 3,7 miliar untuk memengaruhi isi putusan. Mantan hakim agung mendesak agar KPK juga memeriksa majelis hakim dalam perkara itu.
Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers, Senin (19/12/2022), mengatakan, penetapan Edy Wibowo sebagai tersangka adalah pengembangan dari penyidikan perkara suap pengurusan perkara yang melibatkan Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Penyidik telah menemukan kecukupan alat bukti sehingga Edy ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah ditetapkan menjadi tersangka, Edy mendatangi Gedung Merah Putih KPK untuk diperiksa. Setelah sekitar enam jam diperiksa, Edy ditahan. ”Tim penyidik menahan tersangka EW selama 20 hari pertama dimulai tanggal 19 Desember 2022 sampai dengan 7 Januari 2023 di rumah tahanan KPK pada Gedung Merah Putih,” ujar Firli.
Kasus bermula pada saat PT Mulya Husada Jaya mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar. Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim memutus Yayasan SKM dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Atas putusan itu, Yayasan Rumah Sakit SKM lantas mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. Permohonannya agar Yayasan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit.
”Agar proses kasasi itu dapat dikabulkan, perwakilan Yayasan Rumah Sakit SKM, yaitu Wahyudi Hardi selaku ketua yayasan, melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan meminta MH (Muhajir Habibie) dan AB (Albasri), PNS di MA, untuk membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi yang diduga disertai adanya kesepakatan sejumlah uang,” tutur Firli.
Sebagai tanda jadi kesepakatan, lanjutnya, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap senilai hingga Rp 3,7 miliar kepada Edy Wibowo yang menjabat panitera pengganti atau hakim yustisial MA. Uang diterima melalui Muhajir Habibie dan Albasri sebagai orang kepercayaan Edy.
”Uang serah terima diduga dilakukan selama proses kasasi masih berlangsung di MA. Pemberian uang itu diduga untuk memengaruhi isi putusan. Setelah uang diberikan, putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” tuturnya.
Putusan kasasi Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa versus PT Mulya Husada Jaya Nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dibacakan pada 14 September 2022. Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim Takdir Rahmadi, serta hakim anggota Nurul Emiyah dan Rahmi Mulyati. Adapun panitera pengganti adalah Edy Wibowo. Vonis yang telah berkekuatan hukum tetap itu menganulir putusan sebelumnya, dan menyatakan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa tidak pailit.
Ikut diperiksa
Mantan hakim agung Gayus T Lumbuun berpendapat, jika memang suap untuk memengaruhi isi putusan, tersangka Edy tidak mungkin berdiri tunggal. Sebab, panitera pengganti tidak mempunyai kewenangan untuk memutus perkara. Panitera pengganti atau hakim yustisial biasanya adalah hakim di tingkat pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang tugasnya meneliti perkara.
Dia bisa saja menggunakan pengaruhnya untuk menentukan arah putusan. Namun, keputusan akhir tetap ada di majelis hakim. ”Mau tidak hakim perkara itu memutus sesuai pesanan? Mereka yang menentukan,” katanya.
Gayus melihat, dalam kasus ini yang terjadi adalah kesepakatan atau pertemuan pemikiran antarpihak. Semua orang yang terkait di perkara itu harus diperiksa, termasuk majelis hakimnya. Hal ini juga sudah diatur dalam beleid Maklumat Ketua MA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Sanksi Berjenjang. Apabila terjadi kasus korupsi di tingkat MA, Ketua MA juga wajib diperiksa sebagai pertanggungjawaban berjenjang.
”Putusan di MA itu, kan, juga kurang transparan, publik tidak bisa mengetahui sidangnya. Untuk meningkatkan transparansi ini, sebaiknya setiap sidang direkam supaya ada buktinya,” ujarnya.
Dia juga menyebut bahwa melihat kemelut kasus di MA ini, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo harus turun tangan. Jika tidak ditangani dengan serius, suap di peradilan ini bisa menggerus kepercayaan publik dan investor. Akuntabilitas dan kepastian hukum perlu dijaga. Terkait dengan putusan MA yang telah dibuat dan diketahui ada suap di belakangnya, Gayus mengusulkan agar dibuat eksaminasi putusan untuk memberikan keadilan terhadap korban.