Peringatan Hari HAM Sedunia, Komnas HAM Berikan Tiga Catatan
Wapres Ma’ruf Amin, saat peringatan Hari HAM Sedunia, mengajak semua pihak untuk menempatkan setiap kebijakan dalam konteks pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hak asasi manusia di Indonesia memerlukan komitmen politik yang lebih kuat. Wajah penegakan HAM di Indonesia dinilai semakin suram dengan tidak jelasnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat ataupun pelemahan sanksi pidana untuk tindak pidana berat pada HAM dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Abdul Haris Semendawai memberikan tiga catatan pada penegakan HAM di Indonesia. Pertama, rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM atas berbagai pengaduan masyarakat terkait hak sipil politik, ekonomi, dan sosial budaya kepada berbagai pihak, baik Kepolisian Negara RI, korporasi, maupun kementerian/lembaga lainnya.
”Mayoritas rekomendasi Komnas HAM belum ditindaklanjuti, paling hanya (menindaklanjuti) 30 persen (rekomendasi). Semestinya rekomendasi bisa ditindaklanjuti dengan cepat dan dilaporkan,” tutur Haris kepada Kompas, Senin (12/12/2022).
Kepolisian Negara RI menjadi salah satu lembaga yang mendapatkan pengaduan dan rekomendasi terbanyak, yakni 232, sepanjang 2022. Tindak lanjut atas rekomendasi oleh Polri juga termasuk rendah, padahal Kementerian Hukum dan HAM dalam peringatan Hari HAM Sedunia 2022 memberikan penghargaan kepada Polri sebagai salah satu institusi yang responsif terhadap tindak lanjut rekomendasi penanganan pelanggaran HAM.
Komitmen politik pemerintah untuk menegakkan HAM juga dipertanyakan. Sebab, banyak kasus pelanggaran HAM berat yang tak jelas tindak lanjutnya. Kalaupun masuk ke pengadilan, umumnya para terdakwa divonis bebas.
Contoh terakhir adalah terdakwa kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, yang divonis bebas di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar beberapa hari lalu. Vonis bebas ini menyusul lepasnya para terdakwa di pengadilan kasus Timor Timur, kasus Tanjung Priok, dan kasus Abepura.
Dalam kasus Paniai, yang ditetapkan terdakwa hanya satu dan divonis bebas karena dinilai hakim terdakwa tidak memiliki wewenang sebagai komandan. Komnas HAM pun mendorong Kejaksaan Agung melakukan kasasi serta memeriksa kembali para komandan ataupun pelaku lapangan atas peristiwa tersebut.
Komnas HAM juga memberikan catatan pada pelemahan pidana pelanggaran HAM berat dalam Rancangan KUHP yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang, 6 Desember lalu. Di dalamnya, pidana penjara yang dikenakan untuk pelaku pidana berat pada HAM, seperti genosida, hanya diancam paling sedikit lima tahun dan paling banyak 20 tahun. Adapun dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang HAM diatur hukuman penjara minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun.
”Dari segi hukuman jelas beda dan menunjukkan gradasi kejahatan itu sendiri. Jadi, apakah pelanggaran HAM berat masih the most serious crime?” tutur Haris.
Selain itu, dimasukkannya pidana genosida dan HAM dalam KUHP baru dikhawatirkan berimplikasi pada asas-asas yang dianut dalam penegakan HAM, seperti juga pada UU No 26/2000. Pelanggaran HAM dalam UU No 26/2000 ditegaskan tidak mengenal kedaluwarsa, sedangkan KUHP menerapkan ini.
Selain itu, UU No 26/2000 mengenal pertanggungjawaban komando untuk kejahatan kemanusiaan dan genosida. Adapun KUHP tidak mengatur secara eksplisit.
”Implikasinya secara teknis harus didiskusikan supaya tidak menjadi hambatan dalam implementasi penegakan hukum. Kalau tidak, UU No 26/2000 bisa jadi malah sulit digunakan,” ujar Haris.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf juga menilai pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo abai dalam pemajuan dan penegakan HAM. ”Janji Jokowi dalam pemajuan HAM selama ini hanya sebatas janji tanpa realisasi. Pemerintahan Jokowi tidak menjadikan isu HAM sebagai isu penting dan prioritas sehingga pemajuan HAM dan penegakan HAM mengalami stagnasi dan bahkan kemunduran,” tuturnya.
Dengan telah disetujui disahkannya RKUHP, Araf juga menilai penegakan HAM di Indonesia akan bertambah sulit dan rumit. Selama ini, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dinilainya sudah stagnan dan impunitas menguat. Hal ini ditandai dengan banyak kasus pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung diadili dan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada para korban.
Hukuman yang ringan, seperti diatur KUHP baru, juga tak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Bahkan, ini akan mencederai keadilan bagi korban.
Vonis bebas kasus Paniai pun semakin memperjauh harapan adanya keadilan untuk masyarakat Papua. Ini juga akan semakin memperumit penyelesaian konflik Papua secara damai.
Peringatan Hari HAM sedunia jatuh setiap 10 Desember. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengadakan peringatannya pada Senin (12/12/2022). Dalam sambutannya pada peringatan Hari HAM Sedunia tahun 2022, Wapres Ma’ruf Amin mengajak semua pihak untuk menempatkan setiap kebijakan dalam konteks pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Diingatkan pula kesetaraan untuk semua orang tanpa terkecuali perlu ditegakkan.
Wapres menambahkan, praktik toleransi, moderasi, dan kesetiakawanan sesama warga harus terus dijaga. Sebab, katanya, sikap dan perilaku intoleransi hanya menyebabkan runtuhnya sendi-sendi hak asasi manusia.
Kendati demikian, Wapres Amin tak mau memberikan kesempatan kepada media untuk mempertanyakan komitmen penegakan HAM pemerintah. Seusai memberikan sambutan, Wapres segera berlalu meninggalkan lokasi seremoni.