Kritik RKUHP, Negara Lain Diminta Memahami Evolusi Hukum Indonesia
KUHP diklaim telah merefleksikan nilai-nilai Indonesia, hak asasi manusia, hingga paradigma pemidanaan yang modern. Jauh meninggalkan paradigma KUHP lama warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi internasional beserta negara-negara asing diminta menerima dan memahami evolusi pembangunan hukum Indonesia, termasuk terkait pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pembangunan hukum di Indonesia diklaim telah mengadopsi perkembangan paradigma hukum pidana modern serta memperhatikan kebutuhan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Dalam keterangan pers tertulis Kantor Staf Presiden bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Senin (12/12/2022), Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto menyoroti reaksi beberapa perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu terkait Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang pada 6 Desember lalu. ”Secara geopolitik, pasca-pengesahan KUHP, Indonesia perlu menegaskan otonomi strategis Indonesia,” ujar Andi.
Otonomi strategis ini akan diperkuat dengan mematahkan intervensi asing terhadap kedaulatan hukum Indonesia. Ia menegaskan bahwa pihak-pihak perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional harus menerima dan memahami evolusi pembangunan hukum Indonesia, termasuk terkait pengesahan RKUHP.
”Pembangunan hukum di Indonesia telah dilakukan dengan mengadopsi perkembangan paradigma hukum pidana modern serta memperhatikan kebutuhan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia,” tambah Andi.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa KUHP menjadi penanda Indonesia saat ini telah mencapai tonggak pencapaian baru dalam ikhtiar menjadi bangsa yang berdaulat dan beradab. ”Sudah 77 tahun Indonesia merdeka, baru sekaranglah Indonesia memiliki kodifikasi hukum pidananya sendiri,” ujarnya.
Menurut Moeldoko, KUHP merefleksikan nilai-nilai Indonesia, hak asasi manusia, hingga paradigma pemidanaan yang modern. ”Jauh meninggalkan paradigma KUHP lama zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda,” ucap Moeldoko.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengungkapkan bahwa setiap produk hukum yang dilahirkan secara pragmatis tentu akan ada perbedaan pandangan. Perbedaan pendapat ini wajar akan mewarnai dinamika seputar produk hukum tersebut. Untuk itu, Jaleswari menekankan bahwa sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia sudah memiliki mekanisme untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan tersebut.
”Kita sudah memiliki mekanisme yang berbasiskan pada prinsip negara hukum dan demokrasi dalam menyelesaikan perbedaan pandangan terkait dengan produk hukum berupa undang-undang,” katanya.
Salah satu mekanisme tersebut adalah melalui koridor uji materi di Mahkamah Konstitusi. ”Pemerintah tentu akan menghormati proses hukum tersebut apabila kemudian ada bagian dari kelompok masyarakat yang menguji KUHP ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Jaleswari.