Negara Dinilai Tidak Serius Tangani Pelanggaran HAM di Papua
Terdakwa kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua, tahun 2014, divonis bebas. Negara dinilai tidak berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Persidangan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Kabupaten Paniai, Papua, telah berakhir dengan terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu divonis bebas. Keputusan ini dinilai penggiat dan aktivis kemanusiaan sebagai wujud tidak seriusnya negara menangani kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar, saat dihubungi dari Jayapura, Jumat (9/12/2022), mengatakan, pihaknya merasa apatis ketika persidangan hanya menghadirkan Isak Sattu sebagai terdakwa tunggal. Padahal, Komnas HAM merekomendasikan pelaku yang terlibat dalam kasus itu lebih dari satu orang dan tidak hanya dari satu institusi militer.
Ia memaparkan, kasus kekerasan di Paniai yang menewaskan empat warga setempat telah memenuhi tiga unsur pelanggaran HAM. Ketiga unsur ini adalah adanya peristiwa pembunuhan, sasaran serangan kepada warga, serta sistematis dan meluas.
Latifah menduga Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar, Sulawesi Selatan, hanyalah pencitraan dari negara saja. Negara terkesan tidak serius memberikan keadilan bagi keluarga korban kasus Paniai yang telah menanti selama delapan tahun terakhir.
”Persidangan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai sama sekali tidak memenuhi syarat karena hanya satu terdakwa. Seharusnya dalam persidangan kasus HAM, pelaku yang dihadirkan lebih dari satu orang karena terjadi aksi kekerasan secara sistematis dan meluas,” ujar Latifah.
Sementara itu, Juru Bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, berpendapat, penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai yang tidak serius berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah. Hal ini juga berpotensi menyebabkan konflik terjadi di wilayah Papua.
Hal ini mencederai hak masyarakat Papua untuk pemenuhan penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM.
”Persidangan kasus Paniai yang hanya membebankan pada Isak Sattu sebagai terdakwa tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat Papua. Hal ini mencederai hak masyarakat Papua untuk pemenuhan penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM,” tutur Yan.
Diketahui dalam pertimbangannya, majelis hakim mengatakan, berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk saksi ahli, bukti-bukti, dan fakta-fakta persidangan, Isak tidak terbukti melanggar pasal-pasal yang dikenakan. Sebagai perwira penghubung, secara struktural Isak tidak bertanggung jawab pada pasukan di Markas Koramil. Walau saat itu memiliki pangkat tertinggi, dia tak diberi mandat atau wewenang untuk menggantikan atau mengambil alih tugas Danramil yang saat peristiwa berlangsung sedang tidak berada di tempat.
Fakta lain adalah hasil uji senjata api yang menunjukkan tidak ada kesesuaian. Sementara pemeriksaan atau otopsi terhadap korban meninggal juga tidak dilakukan, termasuk uji balistik pada peluru yang mengenai korban tewas.
Sebelumnya, dalam sidang tuntutan, jaksa menuntut Isak dengan hukuman 10 tahun penjara. Jaksa menyebut Isak melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar dakwaan ke-1 Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b, juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pada kasus Paniai, pasukan TNI disebutkan menembak warga dan menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka. Kasus yang terjadi pada 8 Desember 2014 ini membutuhkan waktu cukup panjang untuk dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Penembakan terjadi di tengah aksi unjuk rasa warga di Koramil 1705-02 Enarotali yang memprotes pemukulan yang dilakukan oleh sejumlah oknum prajurit TNI. Pemukulan itu adalah dampak cekcok mulut saat seorang anggota TNI nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Subkoordinator Penegakan HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Wilayah Papua Melkior Weruin mengungkapkan, pihaknya dalam penyelidikan sudah merekomendasikan para pelaku yang terlibat dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai lebih dari satu orang. Hasil tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.
”Kami tidak berwenang hingga proses penuntutan, tapi Kejaksaan Agung. Putusan vonis bebas dalam kasus Paniai dapat berdampak masyarakat Papua tidak lagi mempercayai pengadilan HAM," ujar Melkior.