Jaksa Agung diminta memproses komandan sesungguhnya, bukan perwira penghubung, baik dari unsur TNI maupun kepolisian atas kasus Paniai. Pasukan juga disebut perlu dimintai pertanggungjawaban.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia kepada Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM dalam kasus kekerasan di Paniai, Papua, dinilai sudah dapat diprediksi. Pasalnya, dari awal, dakwaan jaksa sudah meragukan. Jaksa Agung diminta menggelar penyidikan kembali dengan langkah hukum baru.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (9/12/2022), dalam konferensi pers ”Catatan Situasi Hak Asasi Manusia (HAM) 2022”. Menurut Usman, dakwaan jaksa terhadap Isak Sattu meragukan sedari awal lantaran jaksa tidak melihat peristiwa secara menyeluruh. Peristiwa Paniai, kata Usman, perlu dilihat sebagai rangkaian peristiwa yang saling terhubung pada 7 dan 8 Desember 2014.
Pada 7 Desember 2014 terjadi pemukulan oleh sejumlah anggota TNI terhadap warga di sekitar Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua. Peristiwa itu kemudian memicu peristiwa keesokan harinya di Lapangan Karel Gobay, Paniai, yang berujung kematian lima orang akibat penembakan oleh aparat. Pernyataan Usman sejalan dengan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyimpulkan peristiwa Paniai merupakan gabungan dari sejumlah peristiwa yang saling bertalian.
Untuk itu, Usman meminta penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai dilakukan kembali dengan tersangka baru, tersangka atas dua peristiwa terpisah dalam dua hari itu. Setelah itu, ia meminta Jaksa Agung juga melakukan penyidikan lanjutan dengan langkah hukum baru.
Jaksa Agung perlu menggali fakta lebih jauh lagi agar menemukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Paniai.
”Jaksa Agung bisa menggali lebih jauh fakta peristiwa dan menghubungkannya dengan siapa pelaku langsung dan siapa yang paling bertanggung jawab berdasarkan rentang kendali komando. Kalau Isak Sattu, kan, kebetulan sedang ada di situ dan pangkatnya paling tinggi, tetapi sebenarnya tidak punya rentang kendali langsung secara hierarkis kemiliteran,” tutur Usman.
Majelis hakim Pengadilan HAM menjatuhkan vonis bebas kepada Isak Sattu dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12). Dalam pertimbangan majelis hakim, Isak tidak terbukti melanggar Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b, juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Saat peristiwa Paniai terjadi, Isak merupakan perwira penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai. Majelis hakim menilai, sebagai perwira penghubung, Isak secara struktural tidak bertanggung jawab pada pasukan di Markas Komando Rayon Militer (Koramil). Kendati saat itu memiliki pangkat tertinggi, ia tak diberi mandat atau wewenang untuk menggantikan atau mengambil alih tugas komandan Koramil Paniai yang saat peristiwa berlangsung sedang tidak berada di tempat (Kompas.id, 8/12/2022).
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai, yang hadir secara daring dalam acara konferensi pers, menyampaikan, majelis hakim dapat membuktikan bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai benar terjadi. Namun, mereka memang tidak dapat membuktikan keterlibatan Isak. Walakin, ada dua majelis hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas vonis bebas itu. Maka dari itu, Komnas HAM mendorong Jaksa Agung melakukan upaya hukum lanjutan berupa kasasi.
Selain itu, Komnas HAM juga meminta Jaksa Agung memproses komandan yang sesungguhnya, baik komandan rayon militer, komandan distrik militer, maupun komandan resor militer. Bahkan, kata Semendawai, komandan dari pihak kepolisian juga perlu diproses, baik kepala polres maupun kepala polda. Sebab, ada pasukan yang sedang melaksanakan bantuan kendali operasi (BKO) di wilayah sana saat kejadian terjadi.
Komandan dari unsur TNI maupun kepolisan perlu diproses. Begitu juga pasukan yang menembak masyarakat.
”Pasukan di lapangan juga harus dimintai pertanggungjawaban. Pasalnya, berdasarkan kesaksian, setelah tembakan ke atas dilakukan, pasukan itu menembak secara langsung kepada masyarakat yang sedang berdemonstrasi sehingga mengakibatkan tewasnya lima orang,” ujar Semendawai.
Semendawai menambahkan, Komnas HAM terus berkomunikasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membahas kasus Paniai dan pelanggaran HAM berat lain. Pada Selasa (5/12), kedua pihak telah bertemu untuk mengetahui kendala Kejaksaan Agung dalam memproses rekomendasi dari Komnas HAM. Dari pertemuan diketahui, Kejagung terkendala dengan tiadanya nota kesepahaman dengan Komnas HAM.
”Kami akan mempercepat pembuatan nota kesepahaman, khususnya penanganan pelanggaran HAM. Sebab, itu jadi kendala yang dikemukakan Kejagung dalam menindaklanjuti laporan Komnas HAM. Kami juga bersepakat untuk membuat diskusi dan pelatihan agar pola pikir penyelidik Komnas HAM dan penyidik Jaksa Agung bisa sesuai,” ucapnya.
Pengakuan dari negara
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menuturkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat terkendala banyak hal. Terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, misalnya, Jaksa Agung dibayangi kendala pembuktian sehingga ada ketakutan pertanyaan soal akuntabilitas.
Selain itu, ada juga kendala dalam pembentukan pengadilan ad hoc yang hanya bisa dilakukan DPR. Sementara itu, DPR dinilainya dipenuhi kepentingan politik. Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Mengacu ketentuan Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000, pengadilan ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ketentuan itu tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme bagaimana pembentukan pengadilan ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Namun, apabila melihat pengadilan ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, mekanisme dimulai dengan hasil penyelidikan Komnas HAM diserahkan ke Kejagung. Selanjutnya, Kejagung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan kepada presiden. Presiden kemudian mengirimkan surat ke DPR agar parlemen mengeluarkan rekomendasi. Presiden lalu mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan ad hoc.
”Jadi, hal paling utama, semua kasus di Komnas HAM perlu diakui lebih dulu oleh pemerintah sebagai tanggung jawab dan utang negara kepada rakyat. Pasalnya, penyelesaian ini menyangkut keputusan politik yang lebih tinggi. Adapun soal penyelesaian secara yudisial maupun non-yudisial dapat dibahas selanjutnya,” ucap Jaksa Agung periode 1999-2001 ini.