Menkumham: Kita Sudah Terlalu Lama Gunakan KUHP Produk Belanda
Menkumham Yasonna Laoly mempersilakan warga yang keberatan dengan pasal dalam KUHP yang baru untuk uji materi ke MK. Setelah RKUHP disetujui disahkan DPR, masih ada suara keberatan atas sejumlah pasal.
Oleh
NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP sudah lama disosialisasikan ke publik, dan sejumlah materi di dalamnya juga sudah menyerap aspirasi publik. Karenanya, masyarakat yang masih belum sepakat dengan pengaturan di KUHP diminta mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kelompok masyarakat sipil tetap menilai RKUHP yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, Selasa (6/12/2022), ini mengandung banyak pasal bermasalah.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan selama tiga tahun sosialisasi, tim pakar termasuk yang sudah ke sejumlah daerah untuk membahas bersama para penegak hukum, berbagai komunitas, ataupun akademisi.
”Kita sudah terlalu lama menggunakan KUHP lama, produk Belanda, yang di Belanda sendiri sudah diubah banyak. Kita mengikuti perkembangan zaman, bahwa ada perbedaan pendapat silakan saja,” tutur Yasonna kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (6/12/2022).
Penyusunan RKUHP juga sesungguhnya, menurut Yasonna, sudah dimulai sejak 1963. Tim penyusun dibentuk di masa pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998) dan pekerjaan ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999), sampai zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004). ”Saat zaman Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), tim sempat masuk periode kedua, masuk dibahas di DPR. Ini sudah lama sekali, tetapi tidak selesai,” tambahnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Yasonna mengakui banyak protes terutama terkait 14 isu dalam RKUHP. Karena itu, sosialisasi dan diskusi sempat dibuka kembali sampai ke daerah-daerah. ”Atas perintah Presiden, setelah sosialisasi, Presiden meminta lagi untuk diadakan sosialisasi. Berkali-kali kita dan ini semua daerah kita sudah kita (ajak bicara), pakar, dewan pers, LSM, semua sudah. Masukan itu banyak yang diakomodasi. Bahwa ada yang pada akhirnya beda persepsi, ya, enggak mungkinlah kita semua bisa menyetujui 100 persen. Belum ada UU yang seperti itu,” tambah Yasonna.
Setelah RKUHP disetujui disahkan, menurut dia, RKUHP akan segera diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan.
Dia meminta supaya diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi bila dalam KUHP dinilai masih ada yang tidak pas atau bahkan bertentangan dengan konstitusi. ”Saya mengajak teman-teman untuk melakukan langkah-langkah konstitusional saja, kita belajar melakukan hal-hal secara konstitusional, secara hukum,” tambahnya.
Secara terpisah, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menilai pengesahan RUU KUHP menjadi UU sebagai langkah nyata reformasi hukum pidana Indonesia. Menurut dia, KUHP yang disahkan akan menyempurnakan tata regulasi hukum pidana Indonesia yang dicapai melalui konsolidasi ketentuan pidana dalam berbagai undang-undang sektoral dan mencegah disparitas pidana antara satu ketentuan dan ketentuan lainnya.
Tenaga ahli pemerintah, Prof Harkristuti Harkrisnowo menambahkan, tim ahli sudah menyosialisasikan RUU KUHP selama tiga tahun. Ke depan, akan diadakan pelatihan bagi aparat penegak hukum mengenai makna, esensi, dan filosofi dari RUU KUHP.
”Kami meminta dukungan kepada seluruh masyarakat untuk bisa menyosialisasikan isi-isi dari KUHP ini ke depannya dan juga mendapatkan manfaat yang besar untuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen ini,” tambahnya.
Sementara itu, kritik terus bermunculan sebab masih ada pasal-pasal yang dinilai tidak sesuai dengan nilai demokrasi. Pasal yang menyebutkan unjuk rasa bisa dihukum pidana misalnya. Selain itu, penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden maupun lembaga negara juga masih ada kendati diklaim pengaturannya sudah lebih detail di dalam bagian penjelasan. Menyebarkan ajaran yang dinilai bertentangan dengan Pancasila juga bisa dipidana penjara. Karena itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil masih memprotes pengesahan UU KUHP.
Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti KontraS, LBH Jakarta, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan Amnesty International Indonesia termasuk yang menyuarakan penolakan terhadap pengesahan RKUHP. Mereka mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa KUHP baru akan membuat masyarakat semakin rentan dipidana, bahkan semua atau siapa pun warga negara bisa kena dengan KUHP baru.
Dalam media briefing yang diadakan PVRI bertajuk ”Menyoal RKUHP: Catatan Kritis atas Rencana Pengesahannya”, Selasa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjajaran, Bandung, Virdian Aurellio mengatakan, sejumlah norma dalam KUHP baru membuat mahasiswa menjadi lebih ragu untuk berpendapat. ”Dari kalangan mahasiswa dan masyarakat harus diakui ada ketakutan dengan KUHP baru, tetapi yang lebih membahayakan adalah ketakutan untuk bersuara ini seolah-olah adalah hal yang normal,” kata Virdian.
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue dan juga Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai ketakutan masyarakat tersebut mencerminkan hasil dari praktik legislasi di Indonesia yang anti partisipasi masyarakat. ”Proses legislasi nasional dalam tahun-tahun belakangan, paling tidak sepanjang tahun 2019 hingga 2022 seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Mineral dan Batubara, hingga saat ini pengesahan UU Hukum Pidana, dibuat tanpa melalui partisipasi dan konsultasi publik yang bermakna,” tuturnya.
Proses pembahasan sampai pengesahan RKUHP pun demikian. Karena itu, alih-alih membawa spirit demokratisasi dan dekolonisasi, KUHP yang baru justru merupakan bentuk rekolonisasi dan reautokratisasi. ”Demokrasi Indonesia akan kian mengalami kemerosotan dengan adanya pasal-pasal bermasalah tersebut,” ujarnya.