Para Mantan Anak Buah Sambo Luapkan Amarah di Persidangan
Dalam lanjutan sidang perkara pembunuhan Brigadir J, para mantan anak buah Ferdy Sambo mengaku ditipu Sambo.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para mantan anak buah Ferdy Sambo marah, kecewa, dan sedih karena kebohongan atasannya menghancurkan karier mereka. Ferdy Sambo menyebut sudah bertanggung jawab dengan meminta Polri tidak memecat ataupun mengusut anak buahnya ini karena rekayasa kasus murni dilakukan karena inisiatifnya.
Dalam persidangan pemeriksaan saksi kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, mantan Kepala Biro Provos Divisi Propam Polri, Brigadir Jendral (Pol) Benny Ali meluapkan emosi kekecewaannya karena ulah Sambo, ia dicopot dari jabatannya dan didemosi selama satu tahun.
”Saya merasa dibohongi dan saya sedih, yang menderita bukan saya saja, tapi anak dan istri saya,” ucapnya dengan suara bergetar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2022).
Kok tega ya? Jendral kok Bohong? Kalau saya tahu itu rekayasa, saya bisa tangkap dia (Ferdy Sambo) dari awal.
Benny baru mengetahui kebohongan atasannya setelah diperiksa oleh Tim Khusus Polri, dan pengakuan Ferdy Sambo setelahnya yang mengamini rekayasa tersebut. Ia tidak mempermasalahkan sanksi etik yang diberikan Polri, tetapi menyayangkan karena hal ini juga berimbas kepada kondisi psikis keluarganya.
”Saya kena prank. Andai saja saya tahu itu rekayasa, saya bisa tangkap dia (Ferdy Sambo) dari awal,” ujarnya.
Luapan emosi juga ditumpahkan bekas Kepala Bagian Penegakan Hukum Divpropam Mabes Polri Komisaris Besar Susanto Haris. Sambil menahan tangis, ia menyebut Ferdy Sambo sebagai seorang pembohong yang tidak memedulikan nasib para bawahannya.
”Hancur pengabdian saya di Polri selama 30 tahun, Yang Mulia. Hancur ke titik nadir! Kok tega, ya? Jenderal kok bohong, kan susah menjadi Jenderal,” ujarnya keras yang memecah heningnya ruang sidang.
Akibat menuruti skenario palsu sang atasan, Santo mendapat sanksi penempatan khusus selama 30 hari, dan didemosi selama tiga tahun. Ia pun tak bisa menahan malu karena dirinya yang memegang jabatan Kepala Bagian Penegakan Hukum Divpropam Polri malah harus berurusan dengan tindakan indisipliner macam ini. ”Saya biasanya yang periksa polisi nakal, sekarang malah saya yang kena,” tambahnya.
Mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sanksi demosi adalah sanksi pelepasan dan penurunan jabatan ke tingkat yang lebih rendah dari jabatan yang diemban sebelumnya.
Dihukum pidana
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus pembunuhan Nofriansyah, Irfan Widyanto merasakan kegundahan yang sama. Ia mengaku menyesal karena telah salah mengartikan perintah yang diberikan oleh atasannya mengenai pengambilan CCTV.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan, mantan Kepala Sub Unit (Kasubnit) I Sub Direktorat (Subdit) III Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri itu disebut telah menyita dan mengganti barang bukti krusial, yaitu digital video recorder (DVR) kamera pengawas di Asrama Polisi Duren Tiga, Jakarta Selatan.
”Bagaimana perasaan Saudara?” tanya Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa pada Irfan setelah tahu semua rekayasa palsu Sambo.
”Saya sedih, Yang Mulia, karena karier saya masih panjang. Saya hanya menjalankan perintah kenapa saya dipidana,” balas lulusan terbaik Akademi Kepolisian tahun 2010 ini.
Bila para seniornya sudah mendapatkan putusan mengenai kariernya di Polri, Irfan masih harap cemas karena masih menunggu jadwal sidang etik untuk dirinya.
Kekecewaan juga dirasakan mantan Kepala Unit I Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Ari Cahya Nugraha karena juga mendapat hukuman berupa demosi selama lima tahun. Selama persidangan terungkap, Ari Cahya adalah orang yang memerintah Irfan Widyanto mengambil CCTV di Asrama Polisi Duren Tiga setelah mendapat perintah dari mantan Kepala Detasemen A Biro Paminal Divisi Propam Polri Agus Nur Patria.
“Bagaimana perasaan Anda,” tanya Hakim Wahyu.
”Kecewa, Yang Mulia,” balas Ari.
”Kenapa kecewa?” tanya Wahyu lagi.
Mendengar pertanyaan itu, Ari menghela napas dan hanya diam dengan raut muka menahan tangis tanpa melontarkan satu patah kata pun.
Selang beberapa detik kemudian, ia pun menjawab: ”Selama Pak Sambo jadi atasan, tidak pernah ada yang aneh dari beliau. Beliau di Propam juga mengajarkan yang baik kepada anggotanya, tetapi kenapa di peristiwa ini tidak mengatakan yang sejujurnya, padahal kasus ini mudah. Yang perintah Kadiv Propam, saya bisa apa.”
Merespons segala kekecewaan dan amarah para anak buahnya, Ferdy Sambo menyebut dirinya bertanggung jawab penuh, bahkan saat pemeriksaan oleh Tim Khusus, ia meminta para petinggi Polri untuk tidak menjerat para anak buahnya ini karena dinilai tidak tahu apa-apa. ”Saya minta untuk mereka ini tidak disidang etik dan pidana karena mereka tidak tahu apa-apa. Saya yang salah. Saya tanggung jawab!” ucapnya dengan nada bergetar.
Ferdy pun mengaku sedih melihat nasib para bawahannya karena banyak dari mereka masih muda dan memiliki perjalanan karier yang masih panjang. ”Sedih melihat mereka selesai seperti itu,” tambahnya.
Hal yang sama juga diutarakan Putri Candrawathi. Sambil menahan tangis, Putri meminta maaf bagi semua polisi yang terkena sanksi.
Persidangan kasus ini akan dilanjutkan pada Rabu (7/12/2022) dengan menghadirkan saksi, yaitu Ferdy Sambo dan Benny Ali, untuk terdakwa Richard Eliezer, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal.