Dua Dekade Pasca-amendemen UUD, Sejumlah Problem Mengemuka
Salah satunya, menguatnya model koalisi mayoritarian dan semakin menghilangnya oposisi di perlemen. Hal ini membuat fungsi-fungsi lembaga legislatif pada akhirnya hanya menjadi stempel penguasa.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Dua dekade pasca-amendemen konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, menemukan ada sejumlah persoalan yang mengemuka dalam praktik ketatanegaraan di negara ini. Diharapkan, sejumlah temuan persoalan tersebut bisa dihentikan dan diselesaikan dalam periode pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sehingga kepercayaan terhadap konstitusi semakin meningkat.
Temuan tersebut dikelompokkan di dalam beberapa isu besar, yakni hubungan pusat dan daerah, dinamika lembaga negara, hubungan eksekutif dan legislatif, penyelenggaraan pemilu, serta kegagalan reformasi partai politik.
Dalam isu hubungan pusat dan daerah, Pusako menyimpulkan terjadi resentralisasi kekuasaan dan kewenangan pascarevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang melahirkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Cipta Kerja, dan beberapa UU sektoral lainnya.
”Dua puluh tahun otonomi daerah masih melahirkan tarik-menarik wewenang terutama dalam kerangka desentralisasi asimetris. Pembagian urusan menjadi tiga lapis pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota di mana yang semula diberikan kepada kabupaten/kota atau provinsi perlahan-lahan mulai ditarik menjadi wewenang pemerintah pusat,” ungkap peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, di Malang, Jumat (2/12/2022).
Hal itu terjadi pada bidang-bidang yang menyangkut perizinan, tata ruang, hubungan keuangan pusat dan daerah, kepegawaian, penentuan norma, standar, prosedur dan kriteria, dan penyusunan produk hukum.
Belakangan ini, kata Charles, empat daerah otonom baru disahkan dalam waktu yang cepat. Papua dipecah menjadi tujuh provinsi. Sementara itu, di sisi lain wilayah RI, seperti Provinsi Sumatera Utara, sudah mengajukan pemekaran selama bertahun-tahun tetapi tidak disetujui. Contoh lain, mengenai masih adanya tarik-menarik antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah juga ditunjukkan dengan adanya uji materi yang diajukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terkait penyeimbangan keuangan daerah.
”Yang terakhir, IKN (Ibu Kota Nusantara) melahirkan otorita baru yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Tidak ada pemilu di sana yang asimetris. Hari ini masalah pegawai honorer diputuskan oleh pemerintah pusat, untuk dihapus, sementara pemerintah daerah teriak keras. Ini bagian dari resentralisasi,” ungkap Charles.
Menurut Charles, pemerintah pusat tidak mau direpotkan dengan berbagai dinamika di daerah atau karakteristik lokal yang ada. Segala sesuatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang strategis ditentukan oleh pusat yang peruntukannya dengan bungkus ”proyek strategis nasional”, hak-hak masyarakat menjadi terpinggirkan dengan alasan tersebut. Banyak konflik yang muncul, menurut Charles, di lokasi-lokasi yang menjadi tempat proyek strategis nasional itu dilakukan.
Fenomena lain dilihat oleh Pusako adalah adanya pelemahan peran lembaga-lembaga yang dibentuk setelah amendemen konstitusi, baik yang dibentuk atas dasar konstitusi, seperti Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Perwakilan Daerah, maupun yang dibentuk berdasarkan UU, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ombudsman RI.
”Misalnya KY di awal cukup bagus, mulai ke sini sangat birokratis, kemudian tidak terdengar lagi suaranya. Demikian pula dengan KPK, DPD, dan Komnas HAM. Harapan terhadap lembaga-lembaga ini seperti putus,” ungkap Charles.
Guru Besar Hukum Internasional dan Ilmu Politik dari Universitas Chicago Tom Ginsburg sebelumnya menguraikan ada tiga model pelemahan terhadap lembaga demokrasi, termasuk kekuasaan kehakiman, yaitu, ignore (pengabaian putusan ataupun rekomendasi), intimidate (serangan fisik dan psikis, serta ancaman kriminalisasi), dan interfere (dalam proses rekrutmen termasuk bahkan melalui jalur konstitusional.
”Dalam pengabaian, bisa dilihat bagaimana putusan MK diabaikan, rekomendasi Komnas HAM tidak didengar, apalagi rekomendasi KY,” kata Charles sembari meminjam model pelemahan terhadap lembaga Tom Ginsburg yang sering dilakukan.
Saat ini, ia pun melihat adanya upaya untuk mengintervensi lembaga-lembaga melalui dimasukkannya orang partai politik atau orang yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan politik untuk masuk ke institusi-institusi, termasuk institusi independen seperti Bank Indonesia.
Seperti diketahui, independensi BI kembali dalam sorotan sehubungan dengan adanya keputusan DPR dan pemerintah yang seakan membuka peluang bagi anggota atau pengurus parpol untuk menjabat sebagai anggota Dewan Gubernur BI. Ketentuan ini terdapat di dalam draf RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disusun oleh DPR.
Catatan lain yang diungkapkan dalam penelitian Pusako adalah menguatnya model koalisi mayoritarian dan semakin menghilangnya oposisi di perlemen. Hal ini membuat fungsi-fungsi lembaga legislatif pada akhirnya hanya menjadi stempel penguasa.