Amendemen UUD Seharusnya untuk Kepentingan Rakyat
Perubahan pertama hingga keempat UUD 1945 selalu mendapat dorongan kuat dari publik dan didukung parpol. Namun, untuk usulan perubahan kelima, tak ada dorongan kuat dari rakyat dan diajukan elite penguasa.
BATU, KOMPAS — Usulan amendemen UUD 1945 seharusnya bertumpu pada kepentingan rakyat dan tidak seharusnya dilakukan demi melindungi oligarki kekuasaan atau bahkan melindungi kepentingan sesaat.
Sebelum melakukan amendemen, harga yang harus dibayar dengan dilakukannya perubahan harus dipikirkan dan ditimbang secara matang. Dengan demikian, amendemen tak hanya menguntungkan pihak-pihak yang punya kepentingan akan perubahan, tetapi betul-betul untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti mengingatkan kembali peran para pakar hukum tata negara untuk memiliki karakter dan kepribadian kuat sehingga tidak semata terjebak sebagai alat kekuasaan semata, khususnya dalam konteks perubahan kelima UUD 1945.
Meminjam ungkapan yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, ilmu hukum tata negara bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sangat bersentuhan dengan kekuasaan.
Rektor Universitas Brawijaya, Malang, Widodo membuka Konferensi Hukum Tata Negara VII yang bertema "20 Tahun Perubahan UUD 1945" di Malang, Jawa Timur, Kamis (1/12/2022).
Hal tersebut disampaikan Susi dalam orasi konstitusi dalam kegiatan pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara VII di Batu, Malang, Jawa Timur, Kamis (1/12/2022) malam. Selama tiga hari, para pakar hukum tata negara akan berkumpul untuk membahas sejumlah tema, seperti pemilu, otonomi daerah, pembagian kekuasaan, dan kemerdekaan Mahkamah Konstitusi.
Dalam orasi selama lebih kurang 30 menit itu, Susi mengungkapkan, belakangan ini wacana perubahan UUD 1945 muncul kembali setelah 19 tahun berlalu dari perubahan terakhir. Keinginan perubahan tersebut dimaksudkan untuk memasukkan materi pokok-pokok Haluan negara.
Sebenarnya, gagasan perubahan tersebut sudah diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Daerah sejak tahun 2007 tetapi kandas di tengah jalan. Dalam catatan Susi, beberapa fraksi besar, seperti Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Amanat Nasional, ketika itu menolak ide perubahan tersebut. Hanya Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang sejak awal menunjukkan konsistensi dukungannya. Seperti diketahui, DPD menginginkan amendemen terbatas terhadap Pasal 22 UUD untuk memperkuat kewenangannya.
Sepanjang sejarah perubahan UUD, Susi memberikan beberapa catatan terkait budaya perubahan konstitusi. Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada 1999-2002 dibandingkan usulan yang muncul saat ini menunjukkan budaya perubahan konstitusi yang berbeda. Perubahan pertama hingga keempat UUD mendapat dorongan kuat dari masyarakat dan didukung oleh partai politik. Namun, prosedur perubahan UUD 1945 bersifat elitis.
Baca juga: Usulan Amendemen Terbatas Setelah Pemilu 2024 Menguat
Sebaliknya, usulan perubahan kelima saat ini tidak mendapat dorongan yang kuat dari rakyat. Usulan itu, kata Susi, diajukan oleh elite penguasa dan jika perubahan terjadi, hampir pasti prosesnya bersifat elitis pula.
”Namun, catatan kritis harus diberikan untuk usulan perubahan kelima UUD 1945 karena usulan tersebut dikhawatirkan diajukan dengan motif untuk melindungi oligarki kekuasaan atau bahkan untuk melindungi kepentingan sesaat,” kata Susi.
Ia mengingatkan, sejatinya UUD adalah untuk rakyat dan bukan rakyat untuk UUD. Oleh karena itu, kepentingan rakyat seharusnya menjadi dasar utama melakukan pembaruan. Pencapaian kesejahteraan rakyat harus didasarkan pada prinsip negara hukum yang demokratis. Susi juga mengutip pandangan Rusadi Kantaprawira yang menyatakan pengalaman amendemen menunjukkan perubahan yang terlalu jauh.
”Atau dengan kata lain, bandul perubahan mendorong terlalu keras. Rakyat didorong apabila menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perubahan, tetapi rakyat dicegah apabila perubahan dipandang tidak menguntungkan posisi para pihak yang berkepentingan,” kutip Susi.
Lebih jauh, Susi mengungkapkan bahwa sejarah perjalanan UUD 1945 seakan-akan menunjukkan kebenaran sebuah premis yang disampaikan KC Wheare: ”The fact that the ease or the frequency with which a constitution is amended depend not only on the legal provisions which prescribe the method of change but also on the predominant political and social groups in the community and the extent to which they are satisfied with or acquiesce in the organization and distribution of political power which the Constitution prescribes.”
Atau, kenyataan bahwa perubahan atau frekuensi perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada ketentuan hukum yang menentukan metode perubahan, tetapi juga pada kelompok politik sosial yang dominan di dalam masyarakat dan sejauh mana mereka puas dengan atau menyetujui organisasi dan pembagian kekuasaan politik yang ditentukan oleh konstitusi.
Susi juga mengungkapkan bahwa UUD yang sempurna tidak menjamin akan terwujudnya cita-cita negara. Penjelasan UUD 1945 memberi gambaran yang tepat bahwa hal yang sangat penting sebenarnya adalah semangat penyelenggaraan negara. Semangat ini haruslah diartikan sebagai integritas dan moral tinggi pada setiap penyelenggaraan negara.
Tanggung jawab akademisi
Dalam kesempatan tersebut, Susi juga mengingatkan tentang pentingnya peran akademisi dalam menjawab tantangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan nilai, asas, prinsip serta norma-norma UUD 1945 yang tidak mudah. Ia mengingatkan pesan Bung Hatta yang disampaikan pada 11 Juni 1957 di hari Alumni UI. Ketika itu, Bung Hatta mengatakan, ”Kaum intelegensia adalah bagian dari rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Ia ikut serta bertanggung jawab… tanggung jawabnya adalah intelektuil dan moral. Intelektuil karena mereka dianggap golongan yang mengetahui; moril karena masalah ini mengenai keselamatan masyarakat, sekarang dan kemudian.”
Tak hanya Bung Hatta, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga pernah mengingatkan bagaimana pentingnya kaum intelektual memiliki karakter dan kepribadian yang kuat sehingga ahli hukum tata negara tidak terperangkap sebagai alat kekuasaan belaka.
Pada pidato purnabakti sebagai guru besar pada 6 Oktober 2011, Bagir Manan menyerukan, ”Kepada rekan-rekan yang mendalami ilmu hukum tata negara. Ilmu hukum tata negara bukanlah ilmu yang sangat netral karena itu tidak selalu aman dan nyaman. Ilmu hukum tata negara adalah salah satu cabang ilmu kenegaraan, sangat erat bersentuhan dengan organisasi dan sistem kekuasaan yang tidak selalu sejalan dengan asas, kaidah, dan konsep ilmu hukum tata negara. Tanpa karakter dan kepribadian yang kuat, ahli hukum tata negara dapat menjadi alat kekuasaan belaka. Saya berharap kalian tetap teguh dengan prinsip-prinsip keilmuan yang bertanggung jawab. Jadilah selalu peniup sangkakala apabila kekuasaan tidak lagi bekerja demi kepentingan dan kebaikan bersama.”
Orasi konstitusi yang disampaikan selama lebih kurang 30 menit tersebut dimaksudkan untuk memicu diskusi dalam konferensi hukum tata negara ke-7 dengan tema ”20 Tahun Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” yang diikuti oleh sejumlah pakar hukum tata negara dari sejumlah daerah.
Kegiatan tersebut dibuka oleh Rektor Universitas Brawijaya Widodo yang dihadiri secara daring oleh Rektor Universitas Andalas, Padang, Yuliandri dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Ferdi Dekan FH Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safa’at, dan lainnya.
Baca juga: Saat Tafsir Partisipasi Publik Bermakna Mengundang Tanya
Ali Safa’at mengungkapkan, hukum tata negara saat ini sangat dinamis. Banyak sekali undang-undang yang dihasilkan, tetapi kemudian langsung diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu undang-undang yang banyak sekali diuji dan beberapa kali diubah adalah UU Pemilu. Ada banyak keprihatinan jika mencermati kondisi ketatanegaraan dan politik, tetapi diharapkan ke depan hal tersebut bisa lebih baik. Ia gembira bahwa konferensi HTN kali ini diikuti oleh pemikir-pemikir HTN muda yang memiliki pandangan yang sangat kritis dan konstruktif dalam mencermati fenomena hukum tata negara saat ini.
Dorong AI di bidang hukum
Rektor UB Widodo mengungkapkan, hukum tata negara berkembang sangat dinamis dimana hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan karena pengelolaan negara juga harus mengikuti perkembangan jaman. Di hari-hari ini, cara berpikir masyarakat sudah menggunakan metadata, menggunakan analisis big data. Demikian pula pengambil kebijakan negara yang mau tidak mau harus mengikuti perkembangan aspirasi dan opini yang ada di media sosial.
Ke depan, ia berharap analisis-analisis yang dilakukan oleh fakultas hukum juga menggunakan metadata analisis. ”Universitas Brawijaya mengajak semua stakeholder untuk melek artificial intelligence. Kita akan masuk ke situ, akan dibuat AI center. Tidak cuma untuk ilmu computer, tetapi teman-teman dari ilmu sosial juga sangat berkepentingan,” ungkapnya.
Ia mendorong penggunaan AI di bidang hukum yang bisa diaplikasikan dalam konsultasi hukum. AI di bidang hukum akan membantu para advokat terutama ketika berhadapan dengan banyak aturan seperti peraturan daerah yang jumlahnya bisa ribuan. ”Dengan AI akan sangat bagus sehingga menghasilkan kebijakan dan keputusan yang pas dan relevan dengan perkembangan kultur yang ada,” kata Widodo.