Saat Tafsir Partisipasi Publik Bermakna Mengundang Tanya
MK sudah secara jelas merumuskan partisipasi masyarakat yang bermakna. Namun, pertanyaan demi pertanyaan terkait hal itu tetap muncul di forum konferensi APHTN-HAN di Bali.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Selama pandemi Covid-19, cukup banyak undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap pembentukannya tidak sesuai dengan kaidah yang baik. Salah satunya soal minimnya partisipasi publik dalam proses legislasi.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil Undang-Undang Cipta Kerja, MK pun mengamininya. MK menekankan soal pentingnya keterpenuhan syarat partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan UU. Isu ini juga sempat menjadi bahasan hangat dalam forum konferensi nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang berlangsung di Bali 19-21 Mei 2022 lalu.
Dalam pertimbangan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyebutkan bahwa secara legal formal, pembentukan UU perlu melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Dengan begitu, tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi bermakna itu harus dilakukan paling tidak dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang; pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rayat (DPR) dan Presiden; pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang berkaitan dengan Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945; serta persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
MK juga menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna itu setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik terutama untuk kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap RUU yang sedang dibahas.
Walaupun MK sudah secara jelas menyebutkan apa partisipasi masyarakat yang bermakna, pertanyaan demi pertanyaan terkait hal itu tetap muncul di forum konferensi APHTN-HAN. Para akademisi yang sehari-hari mengajar disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara ingin mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif. Apalagi, forum itu juga dihadiri oleh para hakim konstitusi. Jawaban dari begawan-begawan hukum ini dirasa dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja legislasi pembentuk UU.
Konsep partisipasi publik itu diintrodusir sebagai ruang untuk membuka pembicaraan ulang antara pembentuk undang-undang dengan masyarakat. Sebab, konsep awal politik ketersambungannya itu sudah terputus. Harus dilihat di situ, ini menjadi ruang untuk mencerminkan kedaulatan rakyat. (Saldi Isra)
Menjawab pertanyaan dari peserta forum, hakim konstitusi Saldi Isra menegaskan, konsep partisipasi publik menjadi penting karena masyarakat menilai ada keterputusan perwakilan setelah pemilu selesai. Saldi menyebut, pada saat pemilu berlangsung wakil rakyat dipilih secara jor-joran. Namun, ketika terpilih, mereka kemudian tidak memedulikan lagi suara rakyat.
”Konsep partisipasi publik itu diintrodusir sebagai ruang untuk membuka pembicaraan ulang antara pembentuk undang-undang dengan masyarakat. Sebab, konsep awal politik ketersambungannya itu sudah terputus. Harus dilihat di situ, ini menjadi ruang untuk mencerminkan kedaulatan rakyat,” ungkap Saldi, yang dalam acara ini berbicara sebagai anggota APHTN-HAN.
Saldi juga menyadari bahwa konsep partisipasi publik bukan berarti 100 persen suara rakyat harus diterima dan diakomodasi. Menurutnya, partisipasi publik bermakna setidaknya sebagian masukan dari masyarakat itu harus diakomodasi.
”Saya melihatnya partisipasi publik itu adalah ruang untuk mengingatkan kembali mereka yang punya otoritas untuk membentuk hukum atau undang-undang. Jangan sampai otoritas melakukan sesuatu tanpa ada komunikasi baru dengan masyarakat. Itu ide dasarnya partisipasi publik menurut saya,” kata Saldi.
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono menuturkan, pada saat pandemi Covid-19, proses legislasi banyak mendapatkan catatan merah. Ini salah satunya memang dibuktikan oleh putusan MK di uji formil UU Cipta Kerja. UU itu mengingatkan pembentuk UU agar kembali pada hakikat legislasi. Termasuk di antaranya adalah partisipasi bermakna yang diperintahkan di pertimbangan hukum putusan MK.
”Di putusan itu, pembentuk UU diingatkan lagi soal ketertiban administrasi pembuatan undang-undang,” kata Bayu.
Kepala Bahan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengatakan, secara sistem, DPR telah membangun model partisipasi masyarakat baik secara konvensional maupun digital. DPR, misalnya, membuat aplikasi khusus agar masyarakat dapat memantau proses pembentukan UU sejak penyusunan rancangan naskah akademis. Misalnya, untuk mengetahui timnya siapa, akademisi yang terlibat dalam penyusunan NA tersebut. Aplikasi yang bisa diunduh di Playstore itu bernama ”DPR Now!”.
”Masyarakat sebenarnya bisa berpartisipasi sejak judul naskah pertama sampai perubahan kedua dan seterusnya,” kata Inosentius.
Inosentius memaparkan, di era digitalisasi seperti saat ini, DPR sudah memiliki televisi daring. Setiap pembahasan peraturan perundang-undangan dilakukan secara langsung melalui televisi daring. Ini dianggap sudah mencukupi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat. Namun, menurutnya, putusan MK tetap menjadi perhatian. DPR harus berbuat lebih baik lagi berdasarkan putusan MK tersebut.
”Partisipasi masyarakat menjadi pekerjaan rumah baru bagi DPR dengan konsep meaningful participation. Kami berpandangan bahwa support system harus kuat untuk menjangkau dan memfasilitasi kalau ada masukan dari masyarakat,” kata Inosentius.
Meskipun penjelasan MK dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja sudah sangat jelas, diharapkan pandangan dari ahli hukum tata negara tersebut lebih memperjelas. Ke depan, para pembentuk UU dapat memedomani partisipasi yang bermakna tersebut dalam kerja-kerja legislasi.