Parpol Berebut Simpati Warga Muhammadiyah
Dengan jumlah anggota sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia, tak heran jika Muhammadiyah juga menjadi incaran partai-partai politik. Namun, tak mudah untuk memikat mereka karena kesadaran politik yang tinggi.
> Dengan jumlah anggota sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia, tidak heran jika Muhammadiyah menjadi incaran partai-partai politik.
> Tidak sedikit kader serta tokoh Muhammadiyah yang bergabung, bahkan mendirikan partai politik, meski persyarikatan itu tidak berpolitik praktis dan tidak terafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
> Pemilih Muhammadiyah memiliki kesadaran politik yang tinggi sehingga tidak mudah bagi parpol menggaet suara mereka.
Baliho dan spanduk ucapan selamat bermuktamar ke-48 bagi Muhammadiyah dan Aisyiyah berjajar di jalan-jalan masuk menuju Kota Surakarta, Jawa Tengah, pekan lalu. Tidak sedikit dari baliho ataupun spanduk ucapan selamat itu datang dari para pejabat dan politisi negeri, lengkap dengan gambar wajah mereka.
Di sepanjang jalan akses masuk dan keluar Bandara Adi Soemarmo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, misalnya, berjajar papan baliho ucapan selamat bermuktamar dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani. Adapun di sepanjang jalan masuk baik dari Klaten maupun Sukoharjo, terpampang baliho bergambar wajah Menteri Perdagangan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Spanduk ucapan selamat bermuktamar dari para pejabat dan petinggi partai politik juga terlihat di jalan-jalan utama Kota Surakarta, termasuk di lokasi pembukaan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Stadion Manahan, Surakarta. Ucapan itu di antaranya datang dari Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu, Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono, dan lainnya.
Tak hanya itu, para petinggi parpol juga menyempatkan diri hadir pada pembukaan muktamar, Sabtu (19/11/2022). Selain Puan, Zulkifli, dan Prabowo, hadir pula Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, dan lainnya. Dua gubernur yang selalu mendapat sambutan positif dalam berbagai survei elektabilitas tokoh potensial calon presiden dan calon wakil presiden, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, juga terlihat hadir.
Muhammadiyah dan Aisyiyah, yang menggelar muktamar ke-48 pada 19-20 November 2022, merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Persyarikatan yang didirikan Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu kini memiliki 65 juta anggota di dalam negeri dan 1,5 juta anggota di luar negeri. Jumlah itu hanya yang tercatat oleh Pusat Syiar Digital Muhammadiyah, belum termasuk warga Muhammadiyah kultural. Angka itu bisa jadi juga belum termasuk keluarga dari 554.000 mahasiswa di kampus Muhammadiyah serta sanak saudara dari jutaan siswa sekolah Muhammadiyah dari PAUD hingga SMA.
Dengan jumlah anggota sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia, tidak mengherankan jika Muhammadiyah juga menjadi incaran partai-partai politik. Di sisi lain, tidak sedikit kader serta tokoh Muhammadiyah yang bergabung, bahkan mendirikan partai politik (parpol), meski secara kelembagaan, persyarikatan itu tidak berpolitik praktis dan tidak terafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.
Baca juga : Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Sejarah mencatat, pada 1945, Muhammadiyah bergabung dengan Partai Masyumi. Bahkan, pendirian Partai Masyumi diputuskan dalam Kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Ketua (saat ini ketua umum) PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo dan sejumlah pengurus persyarikatan seperti Kasman Singodimedjo, KH Fakih Usman, HM Farid Ma’ruf, dan M Mawardi, masuk dalam kepengurusan Partai Masyumi. Pada Pemilu 1955, Masyumi berhasil meraih 20,9 persen suara, terbanyak kedua setelah Partai Nasionalis Indonesia (22,3 persen).
Pembubaran Masyumi pada 1960 juga tak membuat para kader Muhammadiyah surut. Tahun 1968, sejumlah elite Muhammadiyah membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun, partai itu hanya bertahan lima tahun karena pada Pemilu 1971 hanya berhasil meraih 5,36 persen suara. Muhammadiyah pun segera melakukan evaluasi. Persoalan itu dibahas dalam muktamar ke-38 di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada September 1971. Hasilnya adalah Khittah Ujung Pandang yang salah satunya berisi penegasan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang tidak memiliki hubungan organisatoris dengan parpol dan tidak merupakan afiliasi dari parpol ataupun organisasi mana pun.
Meski begitu, faktanya sebagian kader dan elite Muhammadiyah tidak bisa putus hubungan dengan parpol. Bahkan di bawah kepemimpinan Amien Rais, Muhammadiyah dalam Tanwir Semarang pada Mei 1998 memutuskan untuk membentuk parpol sendiri. Namun pada akhirnya, bukan Muhammadiyah sebagai lembaga yang mendirikan parpol melainkan Amien Rais. Bersama dengan sejumlah tokoh reformasi lain, ia membidani lahirnya PAN pada 1998. PAN kemudian menjadi saluran politik sebagian besar kader Muhammadiyah.
Namun hal itu tidak berlaku lagi, karena belakangan, lahir pula parpol lain dari tangan kader persyarikatan. Terbaru adalah Partai Ummat yang juga didirikan oleh Amien Rais serta Partai Pelita yang diinisiasi oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Kedua parpol itu tentu merekrut kader-kader Muhammadiyah sebagai pengurus, salah satunya mantan Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Beni Pramula yang didaulat sebagai Ketua Umum Partai Pelita.
Posisi strategis
Selain itu, tidak sedikit kader Muhammadiyah yang mengabdikan diri dalam politik dengan bergabung parpol lain seperti PDI-P, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan sebagainya. Tidak sedikit pula kader yang menduduki posisi strategis dalam kepengurusan parpol di semua tingkatan.
Saleh Partaonan Daulay, misalnya. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu saat ini menjabat sebagai Ketua DPP PAN sekaligus Ketua Fraksi PAN di DPR. Ia mengakui bahwa parpolnya sangat memperhitungkan suara warga Muhammadiyah secara elektoral. Tidak hanya besar secara jumlah, tetapi warga persyarikatan juga dinilai memiliki kesadaran politik tinggi sehingga aspirasi yang disampaikan umumnya berdasarkan pada pemikiran yang jernih dan rasional.
Oleh karena itu, pihaknya membuka ruang bagi setiap kader persyarikatan yang ingin bergabung dengan PAN. Kedekatan historis dan ideologis di antara keduanya membuat PAN melonggarkan jalur dan jenjang kaderisasi karena kader Muhammadiyah dinilai sudah terlebih dulu dididik sehingga memiliki bekal pengetahuan dan politik yang sudah mumpuni. Maka, tidak heran jika hingga saat ini kepemimpinan PAN di seluruh tingkat banyak diisi kader Muhammadiyah. “Selama kader Muhammadiyah ingin berkhidmat di politik, maka PAN selalu memberikan karpet biru dan menempatkan mereka di posisi strategis,” kata Saleh.
Untuk terus menjaga dukungan dari warga persyarikatan, PAN juga berupaya untuk menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan para pimpinan Muhammadiyah di semua level. Bahkan dalam mengambil keputusan politik terhadap sejumlah isu, tidak jarang PAN terlebih dulu meminta pandangan dari pimpinan persyarikatan, salah satunya terkait Undang-Undang Cipta Kerja. “Kami juga terus membantu perjuangan Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan berbagai amal usaha. Jika ada aspirasi terkait yang akan disalurkan, kami akan utamakan untuk warga Muhammadiyah,” ujar Saleh.
Baca juga : Kiat ”Total Football” PAN dan Janji Kejutan Saat Rakernas
Tak hanya PAN yang lahir dari rahim tokoh Muhammadiyah, ruang berpolitik praktis dan posisi strategis juga diberikan kepada para kader persyarikatan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Akar historis yang terjalin antara Presiden RI pertama Soekarno dan KH Ahmad Dahlan telah membentuk hubungan dekat antara Muhammadiyah dan PDI-P. Sejak muda, Bung Karno telah mengagumi pemikiran KH Ahmad Dahlan tentang gagasan Islam yang membangun peradaban bangsa. Bung Karno dan istrinya, Fatmawati, pun merupakan bagian dari warga Muhammadiyah.
“Hubungan kesejarahan ini yang membuat suasana kebatinan dalam membangun hubungan antara Muhammadiyah-PDI Perjuangan dan PDI Perjuangan-Muhammadiyah bisa berlangsung dengan baik,” kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Selama ini, hubungan antara PDI-P dan para pimpinan Muhammadiyah terjalin erat. Kedua pihak kerap membahas tentang penggemblengan kader persyarikatan yang berkiprah di PDI-P yang tidak bisa dimungkiri, jumlahnya pun tidak sedikit. “Kami berikan ruang yang cukup besar, baik di dalam struktur maupun juga dalam penempatan jabatan strategis,” katanya.
Meski demikian, kata Hasto, hubungan tersebut lebih dari sekadar politik elektoral. Ikatan batin yang kuat antara PDI-P dan Muhammadiyah akan terus dijaga demi kepentingan masa depan bangsa.
Perkuat silaturahmi
Warga Muhammadiyah juga menjadi incaran PPP. Arsul menuturkan, saat ini komposisi dukungan PPP 60 persen berasal dari kalangan nahdliyin, sedangkan 40 persen berasal dari berbagai kalangan, termasuk warga Muhammadiyah.
Sebenarnya, menurut Arsul, sudah ada pengurus, baik di pusat maupun daerah, yang merupakan kader Muhammadiyah. Namun, PPP masih merasa perlu mengembangkan sayap di seluruh ormas Islam, termasuk Muhammadiyah. “Kalau seperti Muhammadiyah, PPP jauh lebih mudah melakukan pendekatan, karena basis berpikirnya sudah sama, yakni Islam rahmatan lil alamin,” tuturnya.
Sederet strategi pun disiapkan PPP untuk menggaet dukungan Muhammadiyah. Salah satunya memperkuat silaturahmi. PPP akan lebih banyak mendengarkan aspirasi dan masukan dari ormas-ormas Islam tentang bagaimana sebaiknya menjalankan pemerintahan di negeri ini.
Selama ini, menurut Arsul, PPP mendapatkan berbagai masukan terkait pendidikan dan kesehatan dari Muhammadiyah. “Kritik PPP kepada pemerintah itu banyak yang merupakan masukan dari Muhammadiyah, terutama soal pendidikan. Jadi sebenarnya komunikasi kami berjalan baik,” katanya.
Baca juga : Caleg Tandem, Simbiosis Mutualisme demi Gaet Suara Pemilih
Tak hanya memasang spanduk ucapan serta hadir di pembukaan muktamar, PPP juga mencoba mengambil hati warga Muhammadiyah dengan membuka posko makanan gratis untuk para penggembira muktamar. Bekerja sama dengan asosiasi pedagang mi, PPP menyiapkan 3.000-5.000 porsi mi gratis untuk penggembira muktamar.
Menurut rencana, PPP juga akan kembali bersafari mengunjungi ormas-ormas Islam. Salah satu tujuan kunjungan itu adalah meminta ormas untuk menyiapkan kader-kadernya agar bergabung menjadi calon anggota legislatif dari PPP. “Kami memang menunggu kader-kader ormas Islam bergabung. Setelah muktamar ini, kami akan datang ke ormas-ormas meminta mereka untuk menyiapkan kadernya,” kata Arsul.
Distribusi kader
Muhammadiyah menyadari peran lembaga-lembaga negara dan partai politik sangat penting dalam konteks demokratisasi dan penyelenggaraan negara serta proses legislasi. Oleh karena itu menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, persyarikatan memahami pentingnya distribusi kader untuk bisa tampil dalam kepemimpinan nasional, baik di eksekutif, legislatif, maupun lembaga-lembaga lainnya. “Jadi, politik aktor itu salah satu yang kami buka untuk dilakukan sebagai bagian dari, sekali lagi, distribusi kader di bidang kebangsaan,” tuturnya.
Akan tetapi, Mu’ti menegaskan, hal itu bukan berarti Muhammadiyah kemudian menjadi bagian dari parpol tertentu. Muhammadiyah tetap memosisikan diri sebagai organisasi dakwah tetapi punya komunikasi lebih intens dengan partai-partai politik di Indonesia.
Mu’ti memaparkan, kader Muhammadiyah hampir ada di keanggotaan maupun kepengurusan seluruh parpol, baik parpol parlemen, nonparlemen, bahkan parpol yang baru mendaftar untuk menjadi peserta Pemilu 2024. Hal ini juga menunjukkan bahwa posisi Muhammadiyah netral, tidak condong pada parpol tertentu.
Keberadaan kader Muhammadiyah di parpol berasal dari dua jalur. “Ada sebagian yang memang kami beri endorsement dan ada pula sebagian yang memang memilih berkarier di bidang politik sebagai bagian dari pengabdian pada bangsa dan negara,” kata Mu’ti.
Dukungan kepada kader untuk berkiprah di parpol di antaranya diberikan oleh para pengurus wilayah dan daerah Muhammadiyah. Mu’ti mencontohkan Zainudin Maliki, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, maju menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari PAN setelah mendapat dukungan resmi dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. “Mungkin di tempat lain juga ada, tetapi saya tidak tahu,” tuturnya.
Bukti kerja
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, dalam dua pemilu terakhir ada kecenderungan bahwa pilihan warga Muhammadiyah memang tidak terkonsentrasi pada salah satu parpol saja. Pilihan mereka tersebar ke berbagai parpol, baik yang memiliki massa berbasis agama maupun nasionalis.
Baca juga : Kursus Memasak hingga Tata Rias, Cara Parpol Gaet Emak-emak
Hal tersebut disinyalir karena pemilih Muhammadiyah memiliki kesadaran politik yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi parpol untuk menggaet suara mereka. Kesadaran politik itu juga membuat mereka tidak serta merta menjatuhkan pilihan ke parpol tertentu lantaran keberadaan kader persyarikatan dalam posisi strategis.
Menurut Arya, di tingkat lokal, pilihan warga Muhammadiyah akan lebih dipengaruhi oleh calon anggota legislatif (caleg). Melalui caleg, mereka akan menilai program yang ditawarkan serta rekam jejak kerja nyata yang pernah dilakukan. “Adapun pada level parpol, parpol atau kandidat perlu menunjukkan bukti apa yang telah mereka hasilkan dalam isu-isu publik dan bagaimana program mereka di daerah pemilihan,” katanya.
Tanpa bukti kerja nyata, kata Arya, sulit bagi parpol untuk merebut ceruk suara warga Muhammadiyah. Apalagi secara organisasi, selama ini Muhammadiyah terbukti mampu menjaga jarak dengan politik praktis. Peran itu juga yang ke depan harus terus dijaga oleh Muhammadiyah sebagaimana khitahnya sebagai ormas keagamaan yang berkomitmen menjaga nilai-nilai kebangsaan.