Penjabat Gubernur Tiga Daerah Otonomi Baru Papua Diminta Jaga Stabilitas Politik
Selain meresmikan tiga daerah otonomi baru, Mendagri Tito Karnavian meminta Penjabat Gubernur Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, menjaga stabilitas politik dan pemerintahan di tiga daerah baru tersebut.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta Penjabat Gubernur Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan yang baru dilantik, Jumat (11/11/2022), menjaga stabilitas politik dan pemerintahan di tiga daerah otonom baru yang juga diresmikan pada hari yang sama. Stabilitas dipandang sebagai syarat utama pembangunan yang kondusif.
Namun, instabilitas yang mewujud dalam konflik dan berbagai aksi kekerasan yang selama ini terjadi tak bisa diselesaikan dengan pembentukan wilayah administratif. Negara masih harus mengupayakan dialog dengan semua kelompok, termasuk kelompok pro-kemerdekaan Papua, untuk menjamin partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meresmikan tiga daerah otonom baru (DOB), yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, di Jakarta, Jumat pagi. Peresmian itu juga diikuti dengan pelantikan penjabat gubernur untuk setiap provinsi. Mereka adalah Apolo Sapanfo, Penjabat Gubernur Papua Selatan; Ribka Haluk, Penjabat Gubernur Papua Tengah; dan Nikolaus Kondomo, Penjabat Gubernur Papua Pegunungan. Sehari sebelumnya, Apolo dan Ribka dilantik oleh Wakil Mendagri John Wempi Wetipo sebagai Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan dan Ribka sebagai Staf Ahli Mendagri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik. Nikolas juga dilantik di Kejaksaan Agung sebagai Staf Ahli Jaksa Agung.
Tito mengatakan, prioritas kerja ketiga penjabat saat ini adalah menjaga stabilitas politik dan pemerintahan di daerah masing-masing. Sebab, sumber daya alam dan anggaran yang memadai saja tidak bisa menjamin keberhasilan pembangunan, jika situasi daerah tidak aman. ”Semua akan bisa berjalan kalau situasinya aman, politiknya stabil, semua pihak dirangkul, baru bekerja bersama-sama,” ujarnya.
Semua akan bisa berjalan kalau situasinya aman, politiknya stabil, semua pihak dirangkul, baru bekerja bersama-sama.
Tito meyakini latar belakang ketiga penjabat cukup untuk menjalankan tugas tersebut. Ketiganya merupakan orang asli Papua dengan latar belakang dan pengalaman yang dinilai mampu untuk mengelola konflik. Apolo Sapanfo, misalnya, pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Cenderawasih, Papua. Nikolaus Kandomo adalah mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua. Adapun Ribka Haluk, terakhir menduduki posisi Penjabat Bupati Yalimo, Papua.
Khusus mengenai Ribka, lanjut Tito, kapasitasnya telah teruji selama menjadi penjabat bupati di Kabupaten Yalimo mulai tahun 2020. Ribka bertugas di tengah sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang berkepanjangan serta memunculkan konflik dan kekerasan di masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, sengketa Pilkada 2020 itu pun tuntas.
”Itu prestasi luar biasa Ibu Ribka di mata pemerintah pusat sehingga diberi kepercayaan untuk memimpin Papua Tengah yang juga tidak ringan,” ujarnya.
Itu prestasi luar biasa Ibu Ribka di mata pemerintah pusat sehingga diberi kepercayaan untuk memimpin Papua Tengah yang juga tidak ringan.
Berdasarkan catatan Kompas, konflik dan aksi kekerasan di Papua masih terus terjadi. Sepanjang Januari-Juli 2022, misalnya, tercatat ada 45 kali serangan yang dilancarkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di bumi Papua (Kompas.id, 18/7/2022). Aksi tersebut menambah catatan 92 kasus kekerasan yang mengakibatkan 34 orang meninggal sepanjang 2021 (Kompas.id, 23/12/2021).
Tito menambahkan, jika stabilitas politik sudah tercipta, pemerintah dapat membuat program-program pembangunan yang sesuai dengan tantangan di daerah masing-masing. Namun, selama ini program pembangunan Papua dilakukan tak hanya oleh pemerintah daerah, tetapi juga sekian banyak kementerian dan lembaga. Untuk mengharmonisasikannya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani keputusan presiden (keppres) mengenai pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Papua.
Badan yang dimaksud dipimpin oleh wakil presiden. Adapun anggotanya adalah menteri dalam negeri, menteri keuangan, menteri perencanaan pembangunan nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selain itu, perwakilan dari setiap provinsi yang sudah dipilih melalui seleksi juga merupakan bagian dari badan tersebut. ”Tugas Badan Percepatan Pembangunan Papua itu adalah harmonisasi, sinkronisasi, pengawasan, dan evaluasi. Tidak memperpanjang birokrasi,” kata Tito.
Komunikasi dan partisipasi
Peneliti senior Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan, tanpa ada pemekaran daerah, instabilitas di Papua memang sudah terjadi, karena masih ada pihak yang menginginkan kemerdekaan, baik yang diwujudkan melalui gerakan sipil politik maupun gerakan bersenjata. Oleh karena itu, tiga penjabat gubernur yang menjabat di ketiga DOB harus bisa berkomunikasi dengan kelompok tersebut. Apalagi, pemekaran daerah yang merupakan tindak lanjut dari revisi Undang-Undang Otonomi Khusus pada 2021 itu tingkat legitimasinya lemah di kalangan pro-kemerdekaan.
Selain berkomunikasi, penjabat gubernur juga perlu mengakomodasi tuntutan yang disampaikan tentang dampak negatif pemekaran, mulai dari jaminan melindungi sumber daya alam hingga mencegah adanya penambahan personel keamanan secara berlebihan. ”Selain itu, mereka juga harus menyiapkan sumber daya manusia untuk memastikan partisipasi orang asli Papua di dalam pemerintahan,” kata Cahyo.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan, instabilitas yang mewujud dalam konflik kekerasan yang berujung pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama ini tidak disebabkan oleh persoalan administrasi pemerintahan. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan agenda pembangunan yang dilakukan tanpa proses partisipasi bermakna orang asli Papua. Belum lagi adanya pengerahan pasukan militer yang berlebihan serta penggunaan kekuatan kepolisian secara eksesif.
Di balik itu semua, akar masalah Papua adalah sejarah dan status politik wilayah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menjajaki proses perundingan dengan kelompok-kelompok yang ada di Papua, tidak terkecuali kelompok pro-kemerdekaan, sebelum mempertimbangkan pelaksanaan kebijakan terpusatnya. ”Tanpa itu (dialog), pembangunan apa pun akan berpotensi mengalami kegagalan, kata Usman.
Tanpa itu (dialog), pembangunan apa pun akan berpotensi mengalami kegagalan.
Selain itu, tambahnya, pembangunan yang dilakukan hendaknya juga memperhatikan dampak yang akanterjadi pada orang asli Papua yang termarjinalisasikan. Layanan dan perlakuan aparat juga harus menghindari praktik diskriminatif terhadap mereka. ”Yang tak kalah penting, segala dugaan kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM harus diselesaikan lewat penegakan hukum yang benar dan adil,” kata Usman.
Mantan Wakil Ketua Komnas HAM Amirudin Al Rahab berharap, kehadiran tiga provinsi baru tersebut dapat memperbesar ruang partisipasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan begitu, kondisi sosial politik juga bisa lebih stabil.
Lebih dari itu, ia juga berharap agar Papua yang saat ini terdiri atas lima provinsi bisa memperbaiki kehidupan lima juta penduduk yang hidup di sana, terutama terkait pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. ”Perlindungan dan pemenuhan HAM (diharap) juga bisa membaik, serta aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini kerap terjadi, ke depan bisa berkurang,” ujar Amirudin.