Setelah tertunda dua tahun, Muhammadiyah dan Aisyiyah akhirnya menggelar Muktamar ke-48 pada November ini. Muktamar digelar dua tahap, yakni secara daring pada 5-6 November dan luring pada 18-20 November.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah terus meneguhkan peran yang lebih besar dalam ranah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Berbagai isu, dari kekuasaan berbasis agama, polarisasi masyarakat, sistem pemilu, hingga suksesi 2024, akan dibahas dalam Muktamar ke-48 yang akan digelar secara daring dan luring pada dua waktu yang berbeda. Sejumlah masukan untuk para pemangku kepentingan juga disiapkan guna memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta.
Muhammadiyah dan Aisyiyah merasa perlu memberikan sumbangsih pikiran dan gagasan karena melihat banyaknya persoalan dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. ”Muhammadiyah ingin hadir lebih aktif, berperan lebih konstruktif dalam kehidupan kebangsaan,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat memberikan keterangan terkait Muktamar Ke-48 Muhammadiyah, Jumat (4/11/2022).
Salah satu persoalan yang menjadi sorotan Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan adalah menguatnya gejala rezimentasi agama di mana paham agama tertentu begitu dominan. Gejala itu setidaknya terlihat dari fenomena pemaksaan pemahaman keagamaan, khususnya keislaman, karena adanya kekuatan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang bekerja sama dengan kekuatan politik. Selain itu, adanya pemaksaan paham keagamaan menjadi tafsir tunggal yang monolitik karena kuatnya oligarki kekuasaan dan otoritas keagamaan.
Muhammadiyah ingin hadir lebih aktif, berperan lebih konstruktif dalam kehidupan kebangsaan
Padahal, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan Pancasila, bukan negara agama. Oleh karena itu, Muhammadiyah mengajak seluruh ormas Islam memperkuat moderasi beragama. Bukan hanya itu, Muhammadiyah juga meminta negara mengontrol kepentingan kekuasaan berbasis agama dan tidak menjadikan isu agama sebagai isu politik.
Selain isu keumatan, persoalan kebangsaan juga akan didiskusikan dalam muktamar. Salah satunya kebijakan deradikalisasi yang menurut Muhammadiyah perlu dievaluasi. Isu radikalisme yang terus digulirkan tanpa diikuti upaya menangkal akar penyakit radikalisme justru akan membuat persoalan tidak pernah tuntas diselesaikan. Deradikalisasi pun pada akhirnya terkesan hanya menjadi proyek bagi kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan material dari masalah radikalisme yang memang membahayakan ekosistem sosial-keagamaan.
Suksesi 2024
Suksesi kepemimpinan pada tahun 2024 juga menjadi salah satu isu yang dibahas dalam muktamar kali ini. Muhammadiyah melihat pesta demokrasi lima tahunan lebih sering dihinggapi politik ketakutan akan konflik akibat polarisasi politik, politik identitas, sentimen SARA, dan politik penghukuman atau pemerasan. Kondisi itu terjadi karena maraknya praktik politik uang, oligarki partai politik, pragmatisme politik, serta pemilihan yang didasarkan pada pertimbangan figur kandidat, bukan program kerja yang dirancang para calon anggota legislatif, calon presiden- calon wakil presiden, maupun calon kepala daerah.
Praktik pemilu yang hanya didasarkan pada kepentingan elektoral juga telah melahirkan polarisasi atau keterbelahan. Masyarakat enggan menghargai perbedaan politik sehingga persatuan dan kesatuan bangsa pun terancam.
Melihat fenomena itu, Muhammadiyah mengajak seluruh elemen bangsa mendorong kepemimpinan yang memiliki visi kebangsaan dan kenegaraan kuat, menghargai kemajemukan, dan punya keinginan untuk menyatukan serta memajukan Indonesia. Partai politik semestinya dapat melahirkan calon pemimpin legislatif ataupun eksekutif yang punya orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa.
”Pengelola negara ini haruslah sosok negarawan yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kekuatan yang terus- menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional,” ucap Mu’ti.
Dalam muktamar kali ini, Muhammadiyah juga akan membahas sumbangsih pemikiran untuk memperbaiki praktik demokrasi di Tanah Air. Ini karena Muhammadiyah menilai pemilu belum juga berkualitas meski Indonesia berkali-kali menyelenggarakan pemilu. Pemilu masih sarat masalah, terutama politik uang dan politik identitas. Melemahnya moralitas, sistem kepartaian, cengkeraman oligarki kekuasaan, dan sistem pemilu yang liberal merupakan persoalan lainnya.
Pengelola negara ini haruslah sosok negarawan yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kekuatan yang terus- menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional
Muhammadiyah memandang kesadaran dan akhlak berpolitik masyarakat, penyelenggara pemilu, dan terutama para elite partai politik perlu ditingkatkan untuk mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas. Di sisi lain, sistem pemilu juga dinilai perlu direformasi, salah satunya dengan mengubah sistem proporsional daftar terbuka yang selama ini diterapkan.
Menurut Mu’ti, perubahan sistem pemilu ini penting untuk mencegah pembelahan di masyarakat. ”Misalnya, mengubah menjadi sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat,” tuturnya.
Topik lain yang akan dibahas adalah tentang kemajuan teknologi yang harus dibarengi dengan kesalehan setiap masyarakat. Saat dunia semakin digital, seharusnya kesantunan dan kearifan tidak boleh sirna. Muhammadiyah berharap ada dorongan untuk gerakan di kalangan pendidik, ulama, intelektual, dan anak muda untuk membangun kesalehan digital.
Sama dengan Muhammadiyah, Muktamar Aisyiyah juga akan membahas berbagai isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Sekretaris PP Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, mengungkapkan, setidaknya terdapat 10 isu yang akan dibahas dalam muktamar organisasi perempuan Muhammadiyah itu. Hal itu antara lain penguatan peran strategis umat Islam dalam mencerahkan bangsa, menguatkan perdamaian dan persatuan bangsa, serta pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi yang substantif.
”Sebentar lagi 2024 kita dihadapkan dengan pemilu, kita mengharapkan pemilu damai dan tak sekadar prosedural tetapi substantif yang menghasilkan pemimpin yang berpihak kepada masyarakat,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute Abdul Rohim Ghazali mengatakan, Muhammadiyah harus punya ketegasan sikap dalam mencegah politisasi agama. ”Seperti saat Muhammadiyah dipimpin Buya Syafii Ma”arif dulu, punya ketegasan sikap untuk mencegah politik identitas,” tuturnya.
Muhammadiyah diharapkan dapat menarik garis demarkasi yang tegas untuk memisahkan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan politik. Sebab, kepentingan politik yang dibalut dengan agama itu yang merusak agama dan berpotensi memecah belah umat.
Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah tahun ini akan digelar dalam dua tahap. Pertama, Muktamar Muhammadiyah akan digelar secara daring pada 5 November dan Aisyiyah pada 6 November. Kemudian tahap kedua adalah Muktamar luring yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, pada 18-20 November. Salah satu agenda utama muktamar adalah pemilihan pengurus PP Muhammadiyah dan Aisyiyah.