Cahaya di Tengah Kabut Covid-19
Lebih dari sebulan masyarakat Indonesia seperti melalui malam-malam kelam sejak pandemi Covid-19 awal Maret lalu. Namun, ada cahaya terang dengan kepedulian dan kegotongroyongan, di antaranya dari NU dan Muhammadiyah.
Inisiatif yang bermunculan dari kelompok masyarakat sipil, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, memberikan pengharapan ketika kesulitan mendera akibat pandemi Covid-19.
Lebih dari sebulan masyarakat Indonesia seperti melalui malam-malam kelam. Sejak kasus pertama Covid-19 ditemukan pada 2 Maret 2020, jumlah kasus terus bertambah, hingga 6.248 orang pada Sabtu (18/4/2020). Jika pada awal-awal masuknya Covid-19 banyak kasus yang berasal dari luar negeri, sekarang sudah lebih banyak ditemukan kasus transmisi lokal, menular begitu saja antarwarga.
Dampak sosial-ekonomi dari pandemi juga tidak sedikit. Sudah tak terhitung masyarakat yang kehilangan penghasilan, bahkan mata pencarian, akibat pandemi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi, jumlah kemiskinan bisa bertambah 3,78 juta dan penganggur bertambah 5,2 juta jiwa.
Baca juga: Persaudaraan NU dan Muhammadiyah Penting bagi Bangsa
Kondisi itulah yang menggerakkan kalangan masyarakat sipil beramai-ramai turut membantu pemerintah memerangi Covid-19. Tak terkecuali dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki untuk penanganan virus SARS-CoV-2.
Kondisi itulah yang menggerakkan kalangan masyarakat sipil beramai-ramai turut membantu pemerintah memerangi Covid-19. Tak terkecuali dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki.
Hanya beberapa jam setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif Covid-19 pertama, Senin, 2 Maret, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan kesiapan membantu pemerintah menangani Covid-19. Persyarikatan yang berdiri pada 1912 itu mempersiapkan 15 rumah sakitnya untuk membantu menangani pasien Covid-19.
Tiga hari kemudian, Muhammadiyah membentuk tim khusus bernama Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Tugasnya melakukan upaya pencegahan melalui edukasi dan kesehatan masyarakat, mitigasi, pengobatan, serta psikososial. Dari semula hanya 15 rumah sakit, kini bertambah menjadi 67 rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah yang tersebar di enam provinsi. Hingga Jumat, 17 April, sudah 43 pasien positif Covid-19, 626 pasien dalam pengawasan (PDP), serta 1.986 orang dalam pemantauan (ODP) dirawat di rumah sakit milik Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Bahkan, demi membantu percepatan penanganan Covid-19, Muhammadiyah pun menerima saat pemerintah meminta rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah menjadi rumah sakit rujukan Covid-19.
Menurut Sekretaris MCCC Arif Nur Kholis, saat ini enam rumah sakit, yakni PKU Muhammadiyah Yogyakarta, PKU Gamping, PKU Bantul, RSM Lamongan, RS Siti Khodijah Sidoarjo, dan RS Ahmad Dahlah Kediri, sudah menjadi rumah sakit rujukan Covid-19.
Sama dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) juga membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peduli Covid-19. Tak hanya itu, Posko Peduli Covid-19 juga sudah berdiri di 300 kabupaten/kota yang tersebar di 31 provinsi.
Rumah sakit milik NU juga menangani pasien yang terpapar virus SARS-CoV-2. Ketua Pengurus Besar NU Bidang Kesehatan Syahrizal Syarif menyebutkan, sampai saat ini sudah 30 rumah sakit milik NU di sejumlah daerah merawat 7 pasien positif Covid-19, 87 PDP, dan 295 ODP.
Tawarkan solusi
Baik NU maupun Muhammadiyah juga sama-sama menawarkan solusi atas persoalan yang muncul dalam penanganan Covid-19. Masalah kekurangan alat pelindung diri (APD), misalnya, dijawab Muhammadiyah dengan mengerahkan para penjahit difabel dampingan Majelis Pemberdayaan Masyarakat untuk menjahit APD. Dari tangan para penyandang disabilitas di Yogyakarta itulah dokter dan petugas medis mendapatkan APD. Persyarikatan itu juga menyediakan 20.000 unit APD dari dana yang dikumpulkan Lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu). Total dana yang dibelanjakan mencapai Rp 5 miliar.
Begitu pula saat petugas medis dan masyarakat kesulitan memperoleh masker karena harga melonjak, bahkan langka di pasaran, NU mengerahkan para penjahit di daerah-daerah untuk memproduksi ratusan ribu masker, kemudian membagikannya secara gratis. Ormas yang lahir pada 1926 itu pun mengerahkan sumber daya yang dimiliki untuk memproduksi disinfektan dan cairan antiseptik.
Sukarelawan kedua ormas Islam itu juga turun ke kampung-kampung untuk melakukan penyemprotan disinfektan. Jika dihitung, sudah ratusan ribu titik penyemprotan disinfektan yang dilakukan sukarelawan NU dan Muhammadiyah.
Tak lupa, kedua ormas tersebut bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya Covid-19 serta protokol kesehatan yang harus ditaati. Tidak hanya menyebarkan buku panduan, poster, dan video, sukarelawan NU juga berkeliling memberikan penyuluhan menggunakan mobil edukasi. Tak tanggung-tanggung, edukasi dilakukan dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa Ngapak, Madura, Jawa Timur, Sunda, Bima, Banjar, Medan, dan Minang.
Bukan hanya protokol kesehatan, edukasi dalam menjalankan ibadah keagamaan juga dilakukan kedua ormas tersebut. Saat marak penolakan pemakaman pasien Covid-19, Muhammadiyah secara khusus membuat video sosialisasi bahwa menolak pemakaman adalah perbuatan yang tidak benar. Sebab, Islam mengajarkan, mereka yang meninggal karena wabah adalah syahid.
Ketika bantuan bahan pangan bagi masyarakat terdampak belum dibagikan, NU dan Muhammadiyah sudah memulai membagi-bagikan bahan pangan. ”Penanganan dampak sosial dan ekonomi juga kami lakukan dengan memberikan bahan makanan bagi mereka yang dikenai PHK, usaha kecil, pengemudi ojol, sudah banyak yang diperhatikan,” ujar Syahrizal.
Soal dana untuk penanganan Covid-19 dan dampaknya, keduanya punya lembaga penghimpun dana masyarakat. NU dengan Lazisnu dan Muhammadiyah dengan Lazismu.
Bangsa dan kemanusiaan
Syahrizal menjelaskan, pada dasarnya, karakter dasar NU untuk kemanusiaan adalah kepedulian. ”NU Peduli sudah dimulai sejak tsunami Aceh, gempa Nias, gempa Padang, hingga tsunami Pandeglang dan Lampung. Ini wabah dunia, sewajarnya NU bergerak. Kepedulian adalah karakter dasar NU untuk kemanusiaan,” ucapnya.
Bahkan, untuk menghadapi wabah seperti saat ini, NU telah mempersiapkannya selama 18 tahun. Syahrizal melihat langsung bagaimana China menghadapi SARS pada 2002-2003. Karena itulah, warga Nahdliyin didampingi Satgas NU Peduli Covid-19 tergolong siap menghadapi wabah dan paham apa yang harus dilakukan.
Sementara itu, Muhammadiyah dan Aisyiyah turun membantu menangani pandemi beserta dampaknya sebagai panggilan dakwah dan tajdid (pembaruan). Sejak awal, Haedar mengatakan, Covid-19 menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Muhammadiyah hanya berusaha membuktikan amaliah nyata, berkiprah tak kenal lelah dan nirpamrih bagi bangsa dan kemanusiaan semesta.
”Semua gerak Muhammadiyah yang melibatkan segenap komponen secara bersinergi itu membuktikan kiprah kemanusiaan yang melintasi dan inklusif sebagaimana diajarkan KH Ahmad Dahlan tentang Al-Ma’un ataupun misi risalah dakwah Nabi Muhammad untuk menebar rahmatan lil alamin,” tutur Haedar.
Langkah yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat sipil pun dinilai sudah tepat. Di negara berkembang seperti Indonesia, dengan oligarki yang tumbuh subur di berbagai sektor, tidak cukup jika publik hanya bergantung kepada pemerintah.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta, Musa Maliki, mengatakan, gerakan masyarakat sipil, seperti NU dan Muhammadiyah, dalam menangani Covid-19 layak diapresiasi. Apalagi kedua ormas itu sudah bertindak nyata saat pemerintah masih kebingungan menangani pandemi.
Baca juga: NU dan Muhammadiyah Galakkan Solidaritas Covid-19
Langkah yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat sipil pun dinilai sudah tepat. Di negara berkembang seperti Indonesia, dengan oligarki yang tumbuh subur di berbagai sektor, lanjut Musa, tidak cukup jika publik hanya bergantung kepada pemerintah. Maka, langkah nyata yang ditunjukkan kelompok masyarakat sipil demi menyelamatkan warga bangsa menjadi sebuah keharusan.
Jika pandemi Covid-19 ini merupakan kabut pekat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, gerakan kelompok masyarakat sipil bak cahaya matahari yang menyeruak di tengah kabut.