Wapres Amin: Kita Sepakat Tak Gunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Politik identitas yang memecah-belah pada Pemilu 2024 harus diantisipasi. Dibutuhkan pula tindakan tegas untuk mencegahnya.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
SERANG, KOMPAS — Semua elite politik semestinya memiliki kesadaran untuk tidak menggunakan politik identitas dalam Pemilu 2024. Tak hanya itu, semua pihak termasuk santri juga bisa ikut mengantisipasi konflik akibat perbedaan dalam pemilu. Namun, tanpa tindakan tegas, perpecahan akibat politik identitas akan terus terjadi.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan, menjelang pemilu, konflik menjadi rentan terjadi. ”Berbeda capres jangan konflik, jangan bermusuhan,” ujarnya dalam sambutan pada peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Pondok Pesantren An-Nawwawi Tanara, Kabupaten Serang, Banten.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam sesi wawancara dengan wartawan, Wapres kembali mengingatkan ancaman penggunaan politik identitas pada Pemilu 2024 dan kemungkinan gerakan radikalisme. ”Jangan sampai kelompok-kelompok radikal kemudian menggunakan, misalnya, mendorong adanya politik identitas, kita sudah sepakat tidak menggunakan politik identitas di dalam Pemilu 2024 nanti,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengingatkan risiko peningkatan radikalisme menjelang Pemilu 2024. Dia menilai, orang bisa melakukan apa pun termasuk kekerasan dan pelanggaran hukum menjelang Pemilu 2024.
Beberapa waktu lalu, seorang perempuan mencoba mendekati Istana Merdeka, Jakarta, dan menodongkan senjata kepada Pasukan Pengamanan Presiden. Kendati senjata yang dibawa tidak beramunisi, perempuan tersebut dibawa ke kantor polisi dan diperiksa. Dalam pemeriksaan diketahui, suami perempuan tersebut berafiliasi pada organisasi yang sudah dibubarkan, yakni HTI dan NII.
Menanggapi fenomena ini, Wapres Amin menilai antisipasi dilakukan pemerintah baik untuk mencegah politik identitas ataupun radikalisme yang mengarah pada kekerasan.
”Kita sudah menugaskan BNPT untuk terus memantau bahkan kita sudah membuat gerakan-gerakan secara keberlanjutan yang sifatnya kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Dua-duanya ini di BNPT dan melibatkan semua kementerian dan lembaga karena masalah radikalisasi bisa masuk ke mana saja lewat mana saja,” tuturnya.
Moderasi beragama dinilai sebagai salah satu program yang harus dikembangkan. Islam wasathiyah atau Islam moderat disebut Wapres sebagai arus utama di Indonesia. Namun, langkah-langkah antisipasi menjelang Pemilu 2024 tetap perlu diambil.
Pemerintah melalui berbagai kementerian/lembaga dan partai-partai politik mendorong supaya tidak ada politisi yang menggunakan politik identitas dalam kampanyenya. Hal ini dinilai bisa memicu konflik.
”Jadi, kesadaran elite-elite politik juga pokoknya semua pihak. Kita akan lakukan, dari semua pihak, BNPT sudah pasti akan lebih intens menghadapi ini dan menyasar berbagai pihak,” tambah Wapres.
Di sisi lain, santri bisa ikut menggaungkan paham Islam moderat dan menjaga supaya tidak terjadi konflik. Apalagi, menurut Wapres, santri juga memiliki tugas mendamaikan. Tugas mendamaikan ini dilakukan di antara manusia, bukan hanya umat Islam, tetapi bahkan di antara umat manusia. Karenanya, mencegah konflik saat Pemilu 2024 menjadi bagian dari itu.
Boy Rafli menambahkan, BNPT membuat program kontranarasi dengan melibatkan para santri, salah satunya melalui program Santri Keren yang sudah dilakukan di Jawa Timur. Kontranarasi bisa dilakukan para santri yang membuat konten kreatif di media sosial. Diharapkan semangat keberagaman dan toleransi bisa mengemuka di media sosial.
Selain kontranarasi, langkah yang bisa dilakukan adalah penegakan hukum dan menghapus konten yang dinilai melanggar aturan sesuai kewenangan negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama penyedia platform digital. Namun, langkah terakhir diakui kerap sulit dilakukan akibat sisi hukum yang dianut provider dan yang berlaku di Indonesia berbeda.
Tegas
Secara terpisah, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, menjelaskan, di Indonesia yang memiliki keragaman identitas budaya, optimalisasi identitas untuk kepentingan kontestasi dinilai sebagai sebuah keniscayaan dan wajar sepanjang diskursus yang dibangun inklusif dan kosmopolit. Dicontohkan, seorang Jawa wajar saja mengoptimalkan keberadaannya sebagai suku Jawa, tetapi tetap merangkul masyarakat yang bukan Jawa.
”Politik identitas menjadi masalah ketika diskursus yang dibangun bersifat eksklusif dan cenderung menegasikan kelompok-kelompok lain, apalagi dalam konteks keindonesiaan yang multikultur,” tutur Haryadi.
Pengalaman Indonesia, politik identitas yang terjadi pada Pilkada 2017 dan pemilu-pemilu setelahnya menunjukkan kecenderungan politik identitas yang eksklusif dan menegasikan kelompok lain. Kecemasan hal serupa terjadi pada Pemilu 2024 pun muncul.
”Penguatan politik identitas yang eksklusif dan menegasikan kelompok lain ini sama dengan meniadakan keindonesiaan itu sendiri. Politik identitas yang semacam ini harus dilawan,” tutur Haryadi.
Untuk itu, menurut Haryadi, selain penguatan keindonesiaan sebagai gerakan perlawanan, bisa diterapkan pula tata aturan yang menegaskan politik identitas yang mengedepankan diskursus eksklusif dan menegasikan kelompok lain sebagai pelanggaran.
”Kalau calon pasangan presiden dan wapres, tim sukses, dan kelompok pendukung atau simpatisan menggunakan politik identitas dengan diskursus eksklusif, pasangan calon bisa digugurkan. Ini membuat calon bertanggung jawab sekaligus ujian kepemimpinan calon dalam menertibkan pendukungnya. Jadi harus ada tindakan tegas,” tambahnya.