Presiden: Lindungi Warga dari Obat-obatan Penyebab Gangguan Ginjal Akut
Pemerintah menyiapkan obat penawar atau antidotum, yaitu Fomepizole. Obat ini akan dibiayai oleh pemerintah dan nantinya akan diedarkan ke seluruh rumah sakit yang memiliki pasien dengan gejala ginjal akut.
BOGOR, KOMPAS - Ketika memimpin rapat terbatas terkait gangguan ginjal akut progresif atipikal, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat dilindungi dari obat-obatan yang menjadi penyebab gangguan ginjal akut pada anak-anak. Prioritas Presiden adalah memastikan seluruh masyarakat bisa terlindungi. Saat ini, dua perusahaan industri farmasi juga akan ditindaklanjuti ke ranah pidana.
Dalam rapat terbatas tersebut, Presiden Jokowi meminta untuk mengutamakan keselamatan masyarakat. ”Jangan menganggap ini masalah kecil. Ini adalah masalah besar dan saya hari Minggu sudah menyampaikan kepada Menkes untuk sementara obat yang diduga meskipun masih diduga itu dihentikan terlebih dahulu,” ujar Presiden saat memimpin rapat terbatas mengenai penanganan ginjal akut yang menimbulkan kematian, di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta untuk menarik dan menghentikan peredaran obat sirop yang secara eviden terbukti mengandung bahan obat penyebab gangguan ginjal. Kementerian Kesehatan harus melakukan eksplorasi terhadap seluruh faktor risiko penyebab kasus gagal ginjal, baik dari sumber obat-obatan maupun potensi penyebab lain.Presiden Jokowi juga menginstruksikan jajarannya untuk menyiapkan pelayanan kesehatan, termasuk pengadaan obat-obatan yang dapat mengatasi dan menangani masalah gagal ginjal. ”Saya minta diberikan pengobatan gratis kepada pasien-pasien yang dirawat. Saya kira ini penting sekali,” tambahnya.
Saya minta diberikan pengobatan gratis kepada pasien-pasien yang dirawat. Saya kira ini penting sekali.
Baca juga: Kematian akibat Gangguan Ginjal Akut pada Anak Terus Bertambah
Sebanyak delapan provinsi berkontribusi terhadap 80 persen kasus, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara. Sejak Kementerian Kesehatan melarang penggunaan obat cair dan sirop untuk sementara, Menkes Budi menyebut terjadi penurunan kasus secara drastis. ”Kita lihat pasien yang masuk sekarang gejala klinisnya sesudah larangan itu dikeluarkan turun drastis dari puluhan ke angka di bawah 10,” ujar Menkes.
Fatality rate atau persentase angka kematian cukup tinggi, yaitu 141 anak atau 57,6 persen. Menurut Budi, jumlah kasus mulai naik sejak Agustus dan sebagian besar menyerang anak di bawah 5 tahun. Pemerintah sempat melakukan analisis patologi karena dugaan awal penyebabnya adalah virus, bakteri, atau parasit.
Dugaan lain adalah kemungkinan adanya keterkaitan dengan pandemi Covid-19 yang ternyata juga tidak terbukti. Kurang dari 1 persen pasien yang menderita Covid-19. ”Kita baru agak terang saat WHO mengeluarkan surat edaran 5 Oktober, mengeluarkan warning, terjadi kasus yang mirip di Gambia. Penyebabnya adalah zat kimia yang ada di pelarut obat-obatan. Sesudah itu, kita komunikasi dengan WHO dan Pemerintah Gambia. Kita lakukan analisis toksikologi,” tambahnya.
Dari uji yang dilakukan pada 10 pasien, 7 orang ternyata darah atau urinenya mengandung zat kimia berbahaya. ”Jadi positif memang 70 persen yang kena itu disebabkan zat kimia itu. Kita lakukan konfirmasi kedua dengan biopsi pada korban meninggal. Apakah ada ciri-ciri kerusakan ginjal yang disebabkan zat kimia ini. Kita cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri-ciri yang disebabkan obat kimia ini,” tutur Budi.
Kita cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri-ciri yang disebabkan obat kimia ini.
Pemerintah kemudian juga mendatangi rumah dari pasien dan mengumpulkan obat-obatan yang dikonsumsi. Di rumah pasien, ditemukan sebagian besar obat-obatan yang mengandung senyawa berbahaya. ”Dari situ kita simpulkan, penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran dari pelarut obat itu,” lanjut Budi.
Senyawa berbahaya yang dimaksud adalah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Budi menegaskan bahwa obat sirop tetap dapat diberikan untuk penyakit kritis dengan resep dokter. BPOM juga akan segera merilis daftar sekitar 150 obat-obatan dengan pelarut yang tidak mengandung bahan berbahaya.
Obat penawar
Pemerintah juga menyiapkan obat penawar atau antidotum dengan efikasi paling tinggi berdasarkan riset dari para ahli farmakologi di Indonesia, yaitu Fomepizole. Pemerintah telah menerima 20 vail Fomepizole dari Singapura. Sebanyak 16 vail juga akan masuk dari Australia. Pemerintah juga sedang proses beli dari Amerika Serikat dan Jepang. Pemerintah akan menyiapkan antidotum sebanyak 200-500 vial. ”Jadi, obat barunya akan biaya kita, nanti kita yang memberikan itu ke seluruh rumah sakit yang ada pasien bergejala ginjal akut ini,” ucapnya.
Kepala BPOM Penny menegaskan bahwa dua industri farmasi akan segera ditindaklanjuti ke ranah pidana. ”Jadi kedeputian IV, yaitu kedeputian bidang penindakan dari BPOM, sudah kami tugaskan untuk masuk ke industri farmasi tersebut bekerja sama dengan kepolisian dan akan segera melakukan penyidikan untuk menuju pada perkara pidana,” ujar Penny.
Jadi obat barunya akan biaya kita, nanti kita yang memberikan itu ke seluruh rumah sakit yang ada pasien bergejala ginjal akut ini.
Penny belum bersedia menyebutkan nama kedua perusahaan tersebut. ”Karena prosesnya masih berlangsung dan akan segera nanti tentu akan kami komunikasikan kepada masyarakat. Karena ada indikasinya bahwa kandungan dari EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan, tapi sangat-sangat tinggi dan tentu saja sangat toksik,” tambahnya.
Pelarut polietilen glikol ini sebenarnya sudah lama dipakai dan tidak hanya di industri obat. Penny menambahkan, BPOM sudah melakukan pengawasan sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun, secara internasional belum ada standar untuk penetapan kadar dan bagaimana cara pengawasan untuk EG dan DEG ini.
”Kalau di Indonesia itu namanya farmakope Indonesia, yaitu tata cara pembuatan obat untuk obat apa pun di sana. Ditetapkan kadar dan bagaimana cara pengawasannya. EG dan DEG ini belum ada standar yang ada untuk menjadi referensi kami untuk melakukan pengawasan, baik itu di premarket maupun di postmarket,” kata Penny.
Pada intinya, BPOM sudah melakukan pengawasan sesuai dengan aturan yang ada, tapi melihat kondisi yang ada sekarang, memang ada berapa titik-titik yang nanti harus diadakan, yang tadinya tidak ada standar harus diperkuat lagi.
Menurut Penny, pelaku usaha juga bertanggung jawab untuk betul-betul melakukan studi kajian analisis yuridis terhadap bahan baku yang mereka beli. ”Pada intinya, BPOM sudah melakukan pengawasan sesuai dengan aturan yang ada, tapi melihat kondisi yang ada sekarang, memang ada berapa titik-titik yang nanti harus diadakan, yang tadinya tidak ada standar harus diperkuat lagi,” ucapnya.
Penny kembali mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dalam membeli obat. Tiga produk yang mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman, yang meliputi Unibebi Cough Sirop, Unibebi Demam Sirop, dan Unibebi Demam Drops produksi Universal Pharmaceutical Industries, banyak dijual secara daring.
”Kita tidak pernah tahu impurities apa yang ada di dalamnya, tapi penting juga selalu mencatat obat yang dikonsumsi. Apakah itu swamedika, di rumah, ataupun ada di faskes untuk selalu mencatat. Apabila ada kejadian seperti yang kita alami ini, mudah juga BPOM membantu menelusuri,” ujarnya.
Usut tuntas
Politikus PDI-P, Ribka Tjiptaning, mengkritisi kebijakan Menteri Kesehatan Budi Sadikin yang hendak mengimpor obat penawar bagi pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal. Menurut Ribka, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah mengusut tuntas terlebih dahulu penyebab gangguan ginjal akut.
Sebelum mengimpor obat penawar, Ribka mendesak BPOM menelusuri lebih dalam apakah benar obat sirop yang mengandung cemaran EG dan DEG menjadi penyebab gangguan ginjal akut terhadap anak.
Ribka meminta agar pemerintah tak terburu-buru mengimpor obat karena masih dalam kajian BPOM. Apalagi, menurut informasi yang dia dapatkan, harga obat impor dari Singapura itu cukup mahal. Pemerintah perlu memikirkan apakah obat itu bisa di-cover oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau tidak. Kemampuan masyarakat ekonomi rendah untuk bisa mengakses obat itu perlu dipikirkan.
”Kebetulan, saya punya teman dekat, cucunya lahir memang sudah ada kelainan ginjal. Artinya, penyakit genetik. Nah, kalau genetik, belum minum obat sirop juga sudah ada penyakit. Jangan membuat pernyataan membuat orang gusar. Karena, sejak dulu obat sirop sudah digunakan dalam pengobatan dokter,” katanya melalui keterangan tertulis, Senin.
Kebetulan, saya punya teman dekat, cucunya lahir memang sudah ada kelainan ginjal. Artinya, penyakit genetik. Nah, kalau genetik, belum minum obat sirop juga sudah ada penyakit. Jangan membuat pernyataan membuat orang gusar.
Menurut pengalamannya sebagai dokter, selama ini, obat jenis sirop sudah digunakan dalam pengobatan anak-anak. Berpuluh tahun obat itu digunakan dan tidak ada efek sampingnya yang memicu gagal ginjal akut.
Baca juga: Penanggulangan Gagal Ginjal Akut Misterius Diperkuat
Mantan Ketua Komisi IX DPR itu meminta agar BPOM terlebih dahulu mengecek izin edar obat-obat yang ditemukan kandungan kimia berbahaya. BPOM harus terlebih dahulu menguji laboratorium, uji klinis, terkait efek samping penggunaan obat penurun panas sirop pada anak.
”Apalagi, BPOM dalam jumpa pers terbaru sudah bilang bahwa ada 30 lebih sirop aman, termasuk parasetamol. Jangan sampai rakyat dibuat panik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ribka juga mempertanyakan langkah Kementerian Kesehatan yang dinilainya terburu-buru membeli obat dari Singapura. Padahal, harganya cukup mahal. Dia justru mengendus ada dugaan persaingan bisnis di tengah kasus ini. Sebab, ada kesan Kementerian Kesehatan terburu-buru mengimpor obat tersebut.
”Sudahlah, ini kan persaingan dagang. Kayaknya pengin banget buru-buru impor obat. Kalau memang alasan bisnis, bilang saja alasan bisnis, tapi jangan dibikin alasan yang lain, orang jadi panik,” ucapnya.
Dia juga berpesan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk kembali kepada ajaran Trisakti Bung Karno, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
”Manfaatkan obat dari dalam negeri karena bahan bakunya Indonesia punya. Jangan selalu melirik ke Barat. Jalankan Trisakti Bung Karno, berdaulat di bidang politik, dalam arti politik kesehatan, supaya kita bisa berdikari,” katanya.