20 Tahun Setelah Teror Bom Bali
Teror bom yang terjadi di Bali, 12 Oktober 2002, merupakan tragedi kemanusiaan. Peristiwa ini juga menjadi ”alarm” bagi Pemerintah Indonesia untuk menangani terorisme secara sistematis.
Dua dasawarsa yang lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, terjadi tragedi di Pulau Bali. Tiga bom meledak di tiga lokasi berbeda, yakni Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, dan satu lokasi lainnya terjadi di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat, Denpasar.
Bom berkekuatan besar yang diledakkan di pusat keramaian menyebabkan banyak jatuh korban. Tercatat, 202 orang tewas dan ratusan lain luka-luka. Sebanyak 164 korban tewas merupakan warga negara asing, sementara 38 orang merupakan warga negara Indonesia. Dari total korban warga negara asing, sebanyak 88 orang merupakan warga negara Australia.
Masih segar dalam ingatan warga dunia, serangan teroris pada 11 September 2001 yang terjadi di New York, Washington DC, serta di Shanksville, Pennsylvania, menewaskan hampir 3.000 orang. Setahun kemudian, ketika bom di Bali meledak, Indonesia tersentak. Aksi terorisme yang mematikan tidak lagi jauh di sana, tetapi sudah terjadi di halaman rumah sendiri.
Peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 tersebut merupakan alarm tanda bahaya. Aksi teror tersebut dirasakan pemerintah harus diatasi segera secara sistematis. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme yang dilanjutkan dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Berdasarkan perppu tersebut, ketiga pelaku utama Bom Bali tahun 2002 yang kemudian dikenal sebagai Bom Bali 1, yakni Abdul Aziz alias Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Amrozi, divonis mati pada 2003 dan dieksekusi pada November 2008. Perppu No 1/2002 tersebut kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang (UU) No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dari sisi penindakan, di tubuh Polri terdapat beberapa satuan yang menangani kasus peledakan bom, yakni Satgas Bom Polri, satuan antiteror Gegana Brimob, serta Direktorat IV Antiteror di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Agar tidak tumpang tindih, Mabes Polri kemudian melakukan reorganisasi terhadap Direktorat IV Antiteror dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang bertugas melaksanakan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, lahirnya Perppu No 1 dan 2/2002 juga memicu Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada 2002. Desk tersebut berisi Kesatuan Antiteror Polri yang dikenal sebagai Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri bersama tiga kesatuan antiteror TNI dan intelijen. Namun, di lapangan, tiap-tiap kesatuan tersebut berinduk pada organisasi yang membawahinya.
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Polkam Nomor Kep-26/MENKO/POLKAM/11/2002. Desk tersebut kemudian menjadi cikal bakal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 46/2010 dan Perpres No 12/2012.
Penindakan
Hingga saat ini, upaya penegakan hukum bagi para tersangka tindak pidana terorisme tetap berjalan. Pada periode 2015-2021, jumlah tahanan dan narapidana tindak pidana terorisme sebanyak 1.362 orang. Sementara dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2020, tercatat terdapat 553 serangan teror di Indonesia.
Penangkapan terhadap para terduga teroris juga terus dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Jika pada tahun 2020 dilakukan pengungkapan dan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme sebanyak 232 orang, jumlah itu meningkat menjadi 370 orang pada 2021.
Meski demikian, kegiatan yang merupakan bagian dari strategi pencegahan oleh Densus 88 tersebut berhasil menurunkan kejadian atau aksi teror, khususnya ledakan bom. Jika pada 2020 terjadi 13 kejadian, pada 2021 terdapat enam kejadian.
Meskipun di satu sisi upaya penegakan hukum dilakukan, di sisi lain terdapat hal yang khas dilakukan aparat di Indonesia dalam penanganan teroris, semisal melakukan shalat bersama teroris atau makan bersama teroris. Hal itu tidak akan terjadi di negara lain.
Visiting Fellow RSIS, NTU Singapore yang juga pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, ketika dihubungi, Rabu (12/10/2022), mengatakan, pendekatan yang digunakan pemerintah dalam menangani terorisme adalah dengan dilakukan oleh kepolisian, bukan militer. Meskipun di satu sisi upaya penegakan hukum dilakukan, lanjutnya, di sisi lain terdapat hal yang khas dilakukan aparat di Indonesia dalam penanganan teroris, semisal melakukan shalat bersama teroris atau makan bersama teroris. Hal itu tidak akan terjadi di negara lain.
”Itu sebenarnya merupakan embrio dari pemahaman aparat mengenai adanya potensi untuk mengajak mereka berdialog. Di sisi lain, aparat juga menyadari bahwa tidak mungkin menangkap mereka (teroris) semua,” kata Noor Huda.
Sejalan dengan itu, lanjut Noor Huda, keterlibatan masyarakat sipil untuk turut melakukan dialog dengan para mantan narapidana terorisme dan keluarganya merupakan upaya yang penting. Hal itu merupakan kemewahan karena di banyak negara lain keterlibatan masyarakat amat terbatas.
Perang narasi
Meski demikian, menurut Noor Huda, tantangan dalam menghadapi terorisme banyak berubah jika dibandingkan 20 tahun yang lalu. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, kini yang dihadapi pertama-tama bukanlah para teroris yang memegang senjata, tetapi narasi tentang ideologi yang eksklusif yang disebarkan secara halus melalui pendidikan hingga partai politik.
”Tantangan saat ini sama sekali berbeda. Teroris saat ini dan di masa depan itu sosok yang berpendidikan, bisa jadi dikenal sangat baik kepada orang di sekitarnya. Teroris kini bukan lagi orang yang membawa rompi berisi bom,” ujar Huda.
Ibarat virus, lanjut Huda, satu-satunya cara untuk menangkal ideologi eksklusif yang bisa bermuara pada terorisme itu adalah dengan menyebarkan ”vaksin” Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika melalui edukasi secara terus-menerus. Masyarakat, lanjutnya, diajak untuk belajar merayakan perbedaan dan dimampukan untuk menerima kompleksitas kehidupan, tidak memahami hanya hitam dan putih.
Hal senada diungkapkan Kepala BNPT Boy Rafli Amar. Menurut dia, penanganan terhadap terorisme terus berkembang sejak peristiwa Bom Bali 1. Peristiwa tersebut membuat banyak pihak di Indonesia menyadari adanya ideologi berbasis kekerasan yang bersifat lintas negara atau transnasional.
Sejak kejadian itu, kata Boy Rafli, pemerintah dinilai telah berhasil memperkuat regulasi dalam menangani terorisme. Pemerintah juga telah membuat berbagai program pencegahan dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, dilakukan perkuatan wawasan kebangsaan berdasarkan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Ideologi kekerasan ini dapat mengubah cara berpikir seseorang untuk menyetujui kekerasan dalam mencapai sesuatu. Ini harus ditangani dari hulu ke hilir. Tidak hanya dengan menangkap (teroris), tetapi dengan literasi, termasuk di digital, agar masyarakat dapat membedakan mana yang positif dan yang negatif bagi bangsa,” kata Boy Rafli.
Untuk memerangi ideologi transnasional tersebut, lanjut Boy Rafli, moderasi beragama harus terus digaungkan. Dalam hal ini, BNPT banyak bekerja sama dengan tokoh agama dan elemen masyarakat, termasuk dengan memperkuat budaya Nusantara.
Menurut Boy Rafli, upaya lain dalam mencegah terorisme adalah membangun kesejahteraan, khususnya bagi kaum marjinal, para penyintas atau korban terorisme, serta mantan narapidana terorisme. Hal itu merupakan bentuk pendekatan humanis untuk mencegah bibit terorisme berkembang.
Baca juga: Waspadai Serangan Teroris di Tahun Politik
Menutup ruang tumbuh
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, berpandangan, upaya preventif berupa pendekatan deradikalisasi diambil setelah pemerintah melihat bahwa pendekatan hukum yang keras ternyata tidak efektif. Meski tetap diperlukan, penegakan hukum diharapkan dilakukan secara efektif agar tidak menyulitkan upaya pencegahan yang dilakukan.
Seiring dengan itu, lanjut Taufik, pemerintah perlu bekerja sama dengan masyarakat dalam membangun upaya preventif tersebut. Caranya adalah dengan mengajak masyarakat menutup ruang tumbuh bagi pandangan ekstrem yang menjadi bibit terorisme.
”Butuh kerja sama dengan seluruh komponen masyarakat karena pandangan ekstrem akan tumbuh subur jika lingkungannya mendukung,” kata Taufik.
Pemerintah perlu bekerja sama dengan masyarakat dalam membangun upaya preventif tersebut. Caranya adalah dengan mengajak masyarakat menutup ruang tumbuh bagi pandangan ekstrem yang menjadi bibit terorisme.
Terkait upaya pemerintah dalam mencegah terorisme, menurut Huda, pada dasarnya sudah di jalur yang benar. Namun, yang dinilainya kurang adalah minimnya kerja sama antara lembaga atau institusi pemerintah di lapangan. Akibatnya, masing-masing berjalan sendiri.
Selain itu, Huda berharap agar dilakukan desentralisasi dalam penanganan terorisme. Sebab, selama ini para ahli yang berkompeten kebanyakan berada di pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemahaman aparatur pemerintah daerah mengenai terorisme perlu ditingkatkan sehingga nantinya tahu apa yang harus dilakukan, tidak hanya menunggu dari pusat. Terlebih, ketika terorisme kini berkembang mengikuti perkembangan zaman.