”Kita harapkan pemimpin yang lahir dari sebuah proses demokrasi yang transparan, terbuka, dapat diakses oleh publik dapat menyatukan seluruh proses dan meredusir semua disinformasi,” kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Pengalaman Badan Pengawas Pemilu dalam menghadapi pemilihan kepala daerah atau pilkada pada 2020 akan menjadi salah satu hal yang akan dibagikan dalam perhelatan Fifth Plenary Assembly of the Global Network of Electoral Justice di Bali. Dalam pertemuan tersebut, hadir perwakilan lembaga yang mengawasi ataupun mengadili persoalan pemilu dari 31 negara.
Global Network of Electoral Justice (GNEJ) atau Jaringan Global Keadilan Pemilu adalah forum internasional yang mempertemukan anggota pengadilan, pengadilan khusus, serta badan pemilu yuridis dari sejumlah negara. Dalam forum tersebut terlibat pula organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil, akademisi, ahli pemilu, serta ahli peradilan pemilu.
Pada saat sidang pleno tahunan keempat, Bawaslu dipilih sebagai Presiden GNEJ untuk periode 1 Januari 2022 sampai 31 Desember 2023 sekaligus meneruskan peran sebagai wakil presiden wilayah Asia. Sebagai Presiden GNEJ, Bawaslu menyelenggarakan sidang pleno tahunan kelima pada 9-11 Oktober 2022 di Bali. Sidang tersebut dihadiri 86 peserta dari 31 negara.
Dalam pembukaan Sidang Pleno Tahunan Kelima GNEJ, Senin (10/10/2022), Ketua Bawaslu sekaligus Presiden GNEJ, Rahmat Bagja, mengatakan, forum GNEJ tersebut diharapkan dapat membangun kesamaan persepsi mengenai badan pengawas pemilu yang dapat melindungi hak pemilih dan kesetaraan dalam pemilu, inklusif, melindungi hak perempuan, serta melindungi masyarakat rentan. Dengan demikian, proses pemilu dapat berjalan secara transparan dan dapat diakses oleh siapa pun.
”Sehingga, kemudian sebuah pemilu tidak hanya menghasilkan sebuah kekuasaan, tetapi menghasilkan produk demokrasi yang lahir dari proses yang transparan,” kata Rahmat.
Dalam konteks pengawasan pemilu, kata Rahmat, Bawaslu di Indonesia memiliki pengalaman berbeda dari negara lain. Salah satunya, sebagai pengawas pemilu, Bawaslu menangani empat pelanggaran, yakni pelanggaran pidana, administrasi pemilu, kode etik penyelenggara pemilu, serta pelanggaran hukum lain, semisal terkait netralitas TNI dan Polri serta aparatur sipil negara (ASN).
Selain dari sisi tugas, Bawaslu juga hendak membagikan pengalamannya dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020, saat pandemi Covid-19 masih melanda banyak negara. Pengalaman penyelenggaraan pilkada tanpa adanya satu korban yang jatuh tersebut juga akan disampaikan Bawaslu dalam forum sidang pleno tahunan tersebut.
Forum itu juga akan membahas tema lain, yakni media digital dan disinformasi dalam proses pemilu serta strategi untuk mendekatkan keadilan pemilu (electoral justice) kepada warga negara. Oleh karena itu, Rahmat berharap forum GNEJ dapat menghasilkan model atau praktik-praktik terbaik yang bisa diterapkan oleh negara-negara yang memiliki pengadilan pemilu. Sebagaimana di Indonesia, sengketa pemilu disidangkan dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
”Kita harapkan pemimpin yang lahir dari sebuah proses demokrasi yang transparan, terbuka, dapat diakses oleh publik dapat menyatukan seluruh proses dan meredusir semua disinformasi,” kata Rahmat.
President and Executive Director International Foundation for Electoral Systems (IFES) Anthony Banbury menyoroti pentingnya peran lembaga pengawas dan peradilan pemilu. Menurut dia, pemilu memiliki kerentanan, mulai dari kesalahan administratif hingga perilaku koruptif. Di sisi lain, terdapat kemungkinan bahwa seorang pemimpin yang otoriter menggunakan pemilu untuk mendapatkan legalitas sekaligus mempertahankan kekuasaan.
Hakim dan lembaga yudikatif harus bisa memberikan kepercayaan itu. Jika tidak, demokrasi akan menjadi lemah dan rapuh. Maka, akan mudah bagi aktor-aktor untuk mengeksploitasi kerentanan itu.
Terkait hal tersebut, lanjut Banbury, baik lembaga pengawas pemilu maupun peradilan pemilu memiliki peran penting untuk meminimalkan hal itu. Sebab, hal itu tidak hanya menyangkut masyarakat sebagai pemilih, tetapi juga terkait dengan demokrasi. Secara khusus bagi hakim pemilu, kata Banbury, hakim berperan penting untuk menstabilkan demokrasi.
”Hakim dan lembaga yudikatif harus bisa memberikan kepercayaan itu. Jika tidak, demokrasi akan menjadi lemah dan rapuh. Maka, akan mudah bagi aktor-aktor untuk mengeksploitasi kerentanan itu,” katanya.
Sementara itu, President Emeritus Special Representative of the Venice Commission Gianni Buquicchio mengatakan, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa pemilu yang bebas dan dijamin oleh pihak independen. Untuk itu, baik lembaga yudikatif maupun pembuat hukum berperan penting untuk menciptakan hal itu.