Reformasi Polri Jalan Menghapus Belenggu Kekerasan
Insiden di Stadion Kanjuruhan merupakan tragedi terhadap kemanusiaan. Peristiwa tersebut diharapkan menjadi momentum aparat keamanan, khususnya Polri, untuk berbenah.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022), diharapkan menjadi momentum bagi aparat keamanan, khususnya Polri, untuk berbenah.
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Pos Malang Daniel Alexander Siagian mengatakan, insiden di Kanjuruhan merupakan tragedi terhadap kemanusiaan. Tindakan berlebihan aparat keamanan menggunakan tembakan gas air mata saat mengamankan kerusuhan seusai laga Arema FC melawan Persebaya menyebabkan terjadinya kepanikan suporter.
”Pentingnya reformasi Polri sebagai salah satu upaya untuk menghapus belenggu kekerasan bahwa di tubuh aparat keamanan kita masih terjadi yang namanya bentuk-bentuk kekerasan yang semakin terlegitimasi melalui insiden Kanjuruhan ini,” kata Daniel dalam konferensi pers virtual Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Rabu (5/10/2022).
Daniel menyayangkan petugas kepolisian menggunakan gas air mata di dalam stadion. Hal itu membuat ribuan penonton panik sehingga menimbulkan ratusan nyawa melayang. Berdasarkan Pasal 19 poin (b) Regulasi Keselamatan dan Kemanan Stadion FIFA, gas air mata tidak boleh dibawa pada sebuah laga sepak bola.
UJ, salah satu Aremania atau pendukung Arema FC, menilai, tragedi Kanjuruhan terjadi karena kelalaian aparat kepolisian, khususnya Brimob. UJ menilai, Brimob tidak bisa menahan diri dan melanggar aturan FIFA.
”Undang-undang regulasi FIFA itu berlaku untuk semua negara. Membawa masuk saat pertandingan sepak bola itu tidak boleh ke dalam stadion, tetapi faktanya tetap saja membawa senjata gas air mata,” kata UJ.
UJ menceritakan, saat kerusuhan itu terjadi, dia duduk di kursi penonton kelas VIP. Polisi, kata UJ, menembakkan gas air mata sebanyak tiga kali ke bagian utara dan selatan stadion. Ia pun menyayangkan, tembakan gas air mata tersebut diarahkan ke kursi tribune penonton.
Ingatan UJ masih jelas. Begitu ia turun dari kelas VIP, tangga tribune sudah dipenuhi orang-orang yang panik akibat tembakan gas air mata. Tidak hanya itu, pemukulan juga dilakukan oleh polisi. ”Memang sangat terlihat jelas pemukulan yang membabi buta itu bukan hanya dari Brimob, melainkan juga dari tentara yang memakai seragam loreng, yang memakai seragam lengkap dengan tameng dan pentungan,” ucap UJ.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, sejak awal prosedur pengamanan sudah salah. Menurut dia, tentara dan polisi yang menggunakan gas air mata tidak perlu dilibatkan.
Ia berpandangan, ada unsur komando yang membuat polisi menggunakan gas air mata sebagai upaya melumpuhkan pihak-pihak yang menyerang. Kasus ini, kata Julius, tidak boleh hanya fokus pada pelanggaran etik dan pidana. Dia meminta Presiden Joko Widodo bersikap lebih tegas. ”Negara harus turun, Presiden Joko Widodo harus turun. Ini ada konteks pelanggaran HAM, tinggal diidentifikasi ada komandonya atau tidak sehingga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat atau tidak,” ujar Julius.
Senada dengan Julius, peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menyampaikan, penggunaan gas air mata tidak mungkin bukan perintah atau izin dari atasan. Evaluasi menyeluruh diharapkan mampu membenahi institusi, baik Polri maupun TNI.
”Kalau Presiden mau serius, kalau negara ini mau serius, harus ada evaluasi menyeluruh, termasuk terhadap unsur pimpinan di kedua institusi tersebut,” ucap Hussein.
Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat sebagai buntut tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 suporter dan aparat kepolisian. Selain itu, sembilan anggota Brimob Polda Jatim juga ikut dinonaktifkan akibat kasus ini.
Dihubungi terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan, Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta juga seharusnya dinonaktifkan. ”Belum tepat kalau Kapolda Jatim belum dicopot juga. Tanpa pencopotan Irjen Nico sebagai Kapolda Jatim, yang tampak kebijakan Kapolri ini masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata Bambang.
Bambang menyampaikan, sebagai kapolda, Nico adalah penanggung jawab keamanan di wilayah Jawa Timur. Insiden Kanjuruhan melibatkan personel kepolisian di bawah jajarannya. Hal ini menandakan Nico mengetahui pergerakan anggotanya di Kanjuruhan.
”Pernyataan prematur pasca-insiden oleh Kapolda yang mengatakan bahwa aparat keamanan sudah melaksanakan prosedur tentu tak bisa bisa menjadi pembenar munculnya insiden yang mengakibatkan korban 125 meninggal sia-sia dan menunjukkan Kapolda tidak memiliki sense of crisis dan empati pada begitu banyaknya korban,” tutur Bambang.