Presiden Serahkan Keputusan soal Sanksi kepada FIFA
Dua hari setelah Tragedi Kanjuruhan, Presiden Joko Widodo langsung membahas persoalan tersebut dengan Presiden FIFA melalui sambungan telepon.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo telah berbicara dengan Presiden Federasi Sepak Bola International atau FIFA Gianni Infantino mengenai tragedi yang terjadi seusai laga pekan ke-11 BRI Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam lalu. Keputusan apa pun, termasuk sanksi, bagi sepak bola Indonesia menjadi kewenangan FIFA.
”Hari Senin malam saya telah bertelepon langsung, berbicara langsung, dengan Presiden FIFA, Presiden Gianni Invantino, berbicara banyak mengenai tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang,” kata Presiden Jokowi saat menjawab pertanyaan media seusai upacara Hari Ulang Tahun Ke-77 Tentara Nasional Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Presiden menyampaikan telah berbicara mengenai banyak hal dengan Presiden FIFA. Meski demikian, ia menyerahkan keputusan terkait nasib sepak bola Indonesia kepada FIFA sebagai pihak yang berwenang. ”Keputusan apa pun adalah kewenangan di FIFA,” tuturnya saat ditanya potensi sanksi dari FIFA.
Dalam perbincangan itu, Presiden juga membahas mengenai penyelenggaraan Piala Dunia U20. Menurut rencana, kejuaraan sepak bola itu akan dihelat di Indonesia pada Maret 2023 nanti.
Keputusan apa pun adalah kewenangan di FIFA.
Tragedi Kanjuruhan telah menjadi sorotan banyak pihak, tak hanya di Tanah Air, tetapi juga di luar negeri. Tragedi kerusuhan itu setidaknya menewaskan 125 penonton sepak bola di Stadion Kanjurhan. Tragedi itu berawal saat ribuan suporter, yang tak puas dengan hasil pertandingan 2-3 yang dimenangi Persebaya, turun ke lapangan. Polisi kemudian melepaskan tembakan gas air mata di dalam stadion yang masih dipenuhi penonton.
Selain penyelidikan oleh kepolisian, pemerintah juga telah membentuk Tim Gabungan Independen Perncari Fakta yang dipimpin langsung oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Tim tersebut akan mengumpulkan data dan fakta terkait Tragedi Kanjuruhan sekaligus mengungkap pelaku lain yang tak berada di lokasi kerusuhan saat peristiwa tersebut terjadi.
Lima prajurit diperiksa
Pengusutan tragedi Kanjuruhan juga dilakukan TNI. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa berjanji terus mengusut tuntas tindakan berlebihan dari prajurit TNI dalam pengananan insiden di Stadion Kanjuruhan tersebut. Sejauh ini sudah ada lima prajurit yang diperiksa.
“Diperiksa ini karena sudah ada bukti awal. Dari lima ini, empat di antaranya sudah mengakui, satu belum. Tapi, kami enggak menyerah,” ujar Andika saat ditemui di Kompleks Istana Kepresiden seusai perayaan HUT Ke-77 TNI.
Selain itu, menurut Andika, TNI juga sedang memeriksa unsur pimpinan TNI terkait penanganan kerusuhan. ”Karena mereka ini (lima prajurit), kan, sersan dua ada empat orang dan prajurit satu (ada) satu orang. Kami memeriksa juga yang lebih atasnya,” tambahnya.
Pemeriksaan di antaranya dilakukan terkait prosedur penanganan kerusuhan. Andika mempertanyakan apakah unsur pimpinan tersebut sudah memberi peringatan kepada prajurit dan lainnya. Pemeriksanan unsur pimpinan ini dilakukan sampai dengan tingkat komandan batalyon yang bertugas ketika insiden terjadi.
”Jadi kami terus (investigasi). Ini juga satu bentuk evaluasi, karena nggak boleh terjadi. Berarti, kan, briefing, penekanan tentang batas kewenangan TNI dalam bertindak, walaupun kita hanya BKO (bawah kendali operasi), itu berarti tidak berjalan,” ucap Andika. Berbagai informasi terus dikumpulkan, termasuk video viral yang memperlihatkan aksi anarkistis prajurit TNI terhadap suporter di Stadion Kanjuruhan.
Andika menegaskan, TNI telah memiliki prosedur tetap dalam pengawasan di lapangan. Dalam penanganan insiden seperti seusai pertandingan sepak bola di Kanjuruhan, TNI bertugas di lapisan keempat. ”Di polisi itu, kan, ada SOP (prosedur operasional standar) bila terjadi. Misal, terjadi emergensi, respons awal itu siapa? Apakah Sabhara, yang terakhir itu seingat saya Brimob, yang ketiga. Nah, kita itu keempat, biasanya begitu. Tapi, itu yang menggerakkan adalah pimpinan Polri di situ, ya,” kata Andika.
Jika dilihat dari segi prosedur tetap tersebut, tindakan yang dilakukan prajurit TNI dinilai sudah berlebihan dan tidak merespons terhadap masalah yang terjadi. ”Masalah yang terjadi ada orang lagi jalan di depannya. Tahu-tahu itu diberikan tindakan kekerasan seperti yang kita lihat di video, kan, itu menyalahi sekali, ya,” tambahnya.
Sanksi pidana
Dalam kesempatan itu, Andika juga menegaskan, akan ada sanksi tegas bagi tentara yang melakukan kekerasan fisik. Investigasi akan terus dilakukan. Mereka kemungkinan akan diberi sanksi sesuai KUHP Pasal 351 Ayat (1) dan KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) Pasal 126. ”Melebihi kewenangannya dalam bertindak. Itu minimal, jadi kita akan terus dan masing-masing pasal, kan, ada ancaman hukumannya,” tuturnya.
Menurut Andika, sanksi yang diberikan terutama adalah sanksi pidana dan bukan sanksi etik. ”Saya berusaha untuk tidak etik. (Hal tersebut) karena etik ini apabila tadi (sanksi etik), ada memang syarat-syaratnya. Bagi saya itu sudah sangat jelas, itu pidana,” ungkapnya.