DPR Bergeming, Tetap Kirim Surat Penggantian Hakim Konstitusi kepada Presiden
Setelah disetujui dalam rapat paripurna, DPR akan segera mengirimkan surat terkait penggantian hakim konstitusi kepada Presiden Joko Widodo.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat bergeming, tidak mengindahkan kritik publik agar menganulir keputusan mengganti hakim konstitusi dari Aswanto dengan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah. DPR tetap akan melanjutkan proses penggantian hakim konstitusi yang telah disetujui dalam rapat paripurna, yakni mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo.
Ketua DPR Puan Maharani seusai Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2022/2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/9/2022), mengatakan, proses penggantian hakim konstitusi tetap berlanjut. Setelah disetujui dalam rapat paripurna, akan meneruskan dengan mengirim surat dari Komisi III kepada pemerintah atau Presiden.
”Jadi sudah diputuskan dalam paripurna, tentu saja setelah ini akan kami lanjutkan ke mekanisme selanjutnya, untuk meneruskan surat dari Komisi III kepada pemerintah atau Presiden,” ujanya.
Puan pun menegaskan, DPR memiliki hak untuk mengusulkan atau meminta penggantian pimpinan lembaga tertentu. Hal itu dilakukan agar lembaga yang dimaksud dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik demi kepentingan rakyat.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menambahkan, sesuai mekanisme, pimpinan DPR akan mengirim surat kepada Presiden setelah pengambilan keputusan di rapat paripurna. Biasanya itu dilakukan dalam jangka waktu seminggu setelah paripurna. Setelahnya, tinggal menunggu proses administratif untuk membuat keputusan presiden (keppres).
Tunggu keppres
Menanggapi kritik publik yang mendesak agar DPR menganulir keputusan tersebut, Arsul menyatakan tidak sepakat. Menurut dia, pembatalan keputusan itu harus melalui proses hukum yang didasarkan dengan keberadaan keppres. Artinya, jika penggantian hakim konstitusi dinilai tidak tepat, publik harus tetap menunggu Presiden menerbitkan keppres terkait. “Kalau tidak diterbitkan keppres-nya, kan, tidak ada forum untuk menyelesaikannya,” kata Arsul.
Jadi sudah diputuskan dalam paripurna, tentu saja setelah ini akan kami lanjutkan ke mekanisme selanjutnya, untuk meneruskan surat dari Komisi III kepada pemerintah atau Presiden.
Selain itu, pembatalan sebelum ada keppres akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Aswanto, hakim konsitusi yang sebelumnya diputuskan untuk tidak diperpanjang masa jabatannya dan digantikan oleh Guntur. ”DPR rasanya tak akan menganulir putusan itu. Karena bagi DPR persoalnnya bukan persoalan prosedural, ada persoalan besar lainnya terkait dengan putusan itu sebagai perilaku MK yang kita pandang inkonstitusional,” ujar Arsul.
Ia menjelaskan, DPR melihat ada persoalan mendasar di MK, yakni kecenderungan para hakim bertindak inkonstitusional. Kecenderungan tersebut terlihat dari tindakan MK yang kerap melakukan uji formil terhadap sebuah undang-undang. Padahal mengacu konstitusi, MK hanya berwenang untuk melakukan uji materiil.
”Kalau DPR disebut menyelonong (dalam mengganti hakim konstitusi), MK yang lebih dulu melakukan itu dalam ketatanegaraan,” kata Arsul.
Ia juga melihat, MK cenderung menerapkan standar ganda dalam membuat putusan. Misalnya, dalam putusan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK menerima uji formil dan menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat karena kurangnya prinsip partisipasi bermakna dalam pembentukannya.
Sementara itu, MK menolak uji formil UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK dengan pertimbangan yang sama, yakni soal partisipasi bermakna. ”Partisipasi publik di UU MK itu yang kami bahas, itu minim sekali. Jauh lebih minimalis partisipasi publiknya dibandingkan ketika DPR membahas UU Ciptaker. Tapi karena ini menyangkut kepentingan hakim MK, mereka tolak,” ujar Arsul.
Arsul menambahkan, hal itu lebih jelas lagi dalam pengujian Pasal 87 UU MK. Hakim konstitusi menghapuskan Pasal 87 Huruf a UU MK mengenai periodisasi jabatan ketua dan wakil ketua MK karena dianggap merugikan hak konstitusional para hakim konstitusi. Akan tetapi, mereka juga mempertahankan Pasal 87 Huruf b UU MK yang menyatakan bahwa masa tugas hakim konstitusi berlaku hingga usia 70 tahun selama mereka menjabat maksimal 15 tahun.
Oleh karena itu, kata Arsul, MK tak ubahnya lembaga politik seperti DPR yang memutuskan sesuatu berdasarkan kepentingan tertentu. “Kami ingin MK ke depan benar-benar (diisi) negarawan,” ujarnya.
Desakan kepada Presiden
Para pegiat kepemiluan melihat bahwa selain melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tindakan DPR memberhentikan hakim konstitusi Aswanto merupakan bentuk kesewenang-wenangan, arogansi, antidemokrasi, dan semakin menunjukkan sikap kecongkakan lembaga DPR. DPR tidak patuh terhadap supremasi konstitusi yang berkedaulatan rakyat.
Mereka meminta Presiden tidak menindaklanjuti hasil keputusan Rapat Paripurna VII Masa Sidang I Tahun 2022-2023 pada Kamis (29/9/2022). Presiden perlu mendiamkan saja keputusan tersebut.
Pegiat pemilu Titi Anggraini mengungkapkan, DPR seharusnya patuh dan tunduk pada konstitusi, UU MK, putusan MK, ataupun peraturan perundangan lain terkait pengangkatan dan pemberhentian hakim MK. Konstitusi menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak dapat diintervensi atau bahkan dipengaruhi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menjaga dan menegakkan konstitusi. Tindakan DPR jelas melanggar ketentuan tersebut.
Selain itu, UU No 7/2020 tentang Perubahan ketiga UU MK juga sudah menghapus periodisasi masa jabatan hakim konstitusi dan mengubahnya menjadi sistem pensiun pada usia 70 tahun dengan maksimal menjabat sebagai hakim konstitusi 15 tahun. Ketentuan tersebut juga sudah dinyatakan konstitusional oleh putusan MK.
”DPR mestinya mengubah keputusannya memberhentikan hakim konstitusi Aswanto dan memulihkan hak Aswanto sebagai hakim konstitusi,” kata Titi.
Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengungkapkan, tindakan DPR memberhentikan Aswanto tak hanya merusak independensi hakim konstitusi, tetapi juga berpotensi merusak hukum tata negara. Sebab, DPR tidak memiliki dasar untuk memberhentikan Aswanto kecuali ketidaksukaan terhadap hakim konstitusi yang seharusnya berakhir masa tugasnya pada 2029 tersebut karena dinilai tidak mengamankan produk-produk mereka.
”Ini berbahaya. Istilah saya, sudah satu tahap menuju otoriatarianisme DPR. Atas dasar ketidaksukaan mereka, wewenang yang diberikan oleh rakyat dipakai untuk merusak hukum tata negara,” ujarnya.
Menurut Ray, DPR tidak boleh berpikir bahwa karena dipilih oleh mereka, hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR menjadi wakil atau milik mereka.
Ia sendiri geregetan dengan sejumlah putusan MK, misalnya terkait dengan putusan presidential threshold ataupun parliamentary threshold. Namun, ketidaksetujuan atas putusan tersebut ada dalam ranah perdebatan atau sesuatu yang bisa didiskusikan.
”Langkah DPR ini harus dicegah. Kalau hakim MK saja bisa diberhentikan, nanti KPU atau Bawaslu atau KPK bisa juga diberhentikan sewaktu-waktu karena mereka yang memilih,” kata Ray.