Selamatkan Jet "Siluman" KF-21
Bila ingin maju dan mandiri, program IFX (KF-21) selayaknya diselamatkan. Kemandirian memang membutuhkan energi, ketahanan, dan dana yang tidak sedikit.
Desing suara dua mesin general electric F414-GE-400k turbofan membelah udara Bandar Udara Sacheon, Korea Selatan. Perlahan-lahan mesin buatan General Aviation, Amerika Serikat itu mendorong prototipe KF-21 Boramae dari apron milik Korea Aerospace Industries (KAI) menuju landasan pacu.
Setelah menunggu ruang udara di sekitar Sacheon aman, dari ujung landasan pacu, Mayor Ahn Jun-hyun menggerakkan tuas thrust ke depan, mesin pun menggelegar dan si elang muda melaju kencang di landasan. Dan tepat pada pukul 15.40 waktu setempat, Selasa (19/7/2022) KF-21 Boramae lepas landas dan mengangkasa untuk pertama kalinya.
Saat uji terbang, merujuk Australiandefense.com, Mayor Ahn sebagai pilot uji Angkatan Udara Korsel memacu KF-21 hingga kecepatan 200 knot atau sekitar 400 kilometer per jam sambil memeriksa semua fungsi dasar pesawat. Dalam uji coba itu, KF-21 juga menggotong empat tiruan rudal udara-ke-udara Meteor di bawah perutnya. Kurang lebih, KF-21 mengudara selama 30 menit sebelum mendarat kembali dengan mulus di Sacheon.
Keberhasilan itu, menandai tonggak baru pencapaian Korsel dalam pengembangan industri persenjataan. Bagi publik Indonesia, keberhasilan itu juga memantik kebanggaan, sekaligus harapan. Meskipun dikembangkan oleh KAI, KF-21 lahir dari kerja sama antara Pemerintah Korea Selatan dan Pemerintah Indonesia yang diawali dengan penandatanganan Letter of Intent pada tahun 2009. Setahun berikutnya, nota kesepahaman disepakati dan Indonesia bersedia menanggung 20 persen dari total proyek senilai kurang lebih 8,8 triliun won atau setara dengan Rp 100 triliun itu.
Baca juga: KF-21 Proyek ”Pengubah Permainan”
Strategis
Wamenhan RI, M Herindra yang hadir dalam uji terbang resmi, Selasa (28/9/2022) lalu mengatakan, keberhasilan uji terbang KF-21 merupakan bentuk nyata kemajuan program yang awalnya dinamai KFX/IFX itu. “Indonesia boleh bersikap optimis bahwa suatu saat kelak KF-21 Boramae akan menjadi bagian dari sistem pertahanan udara Indonesia,” kata Herindra sebagaimana dikutip dari keterangan Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan.
Tahun ini, Indonesia telah mengirim 37 insinyur dan dua pilot untuk turut serta dalam proyek yang telah memasuki tahap Engineering and Manufacturing Development. Indonesia menargetkan mengirim 100 ahli – ditugaskan dengan sistem rotasi – hingga program itu tuntas pada pertengahan tahun 2026 ketika KF-21 memasuki tahap produksi massal.
Baca juga: Saat T-50i Jatuh, KF-21 Boramae Berjaya
Herindra menilai, program pengembangan pesawat tempur yang mengusung sejumlah teknologi canggih seperti radar AESA itu adalah program bernilai strategis. KF-21 atau IFX memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur TNI AU untuk periode 2025 – 2040. Selain itu, program ini menjadi bagian integral pengembangan industri pertahanan dan kemandirian nasional.
“Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan program pengembangan bersama pesawat tempur KFX/IFX, dan meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Korea Selatan,” kata Herindra menegaskan.
Komitmen
Proses itu tidak mudah. Oleh sejumlah pihak program itu, membutuhkan komitmen tinggi. Apalagi, sejak tahun 2017 ada tunggakan biaya pengembangan yang harus dilunasi oleh Pemerintah Indonesia. Pada November 2021 lalu, setelah melalui sejumlah proses renegosiasi, Indonesia memastikan untuk tetap terlibat dalam proyek itu.
Mantan Sekjen Kementerian Pertahanan Eris Herryanto mengapresiasi komitmen itu. Dengan banyak ahli yang dimiliki, pembuatan pesawat dengan metode pengembangan bersama ini memberi banyak keuntungan bagi Indonesia. “Selain tidak ada penalti, Indonesia dapat menguasai teknologi sekaligus memperoleh alutsista,” kata Eris.
Akan tetapi, proses ini membutuhkan konsistensi karena bersifat jangka panjang. Selain itu, Eris juga mengatakan, pentingnya Pemerintah Indonesia untuk bersikap lebih tegas. Eris yang turut serta dalam proses awal proyek KFX/IFX mengatakan, proyek itu tidak semata-mata proyek bisnis.
Baca juga: Indonesia Apresiasi Peluncuran Purwarupa KFX/IFX
“Ini kerja sama dua negara, karena ditandatangani di depan dua presiden,” kata Eris.
Namun dalam perjalanannya, Pemerintah Korsel menyerahkan proyek itu kepada KAI yang memenangi bidding pengembangan KFX/IFX. Posisi ini yang membuat ‘situasi tidak setara’. Dengan pendekatan value model, posisi Indonesia yang ‘hanya’ menanggung 20 persen biaya pengembangan, menurut Eris menjadi inferior. Seharusnya, menurut Eris, meskipun menanggung 20 persen biaya pengembangan, Indonesia sebagai negara, bisa mengambil posisi lebih kuat.
“Value model itu yang perlu dinegosiasikan lagi,” kata Eris.
Langkah itu penting untuk membuka akses lebih luas bagi para ahli yang dikirim oleh Indonesia. “Sekarang belum terlambat. Tanggung jawab yang tertunda kita penuhi, lalu renegosiasi kembali ke tujuan awal, apa yang kita dapat dari kontribusi 20 persen itu, perlu negosiasi yang lebih setara,” kata Eris.
Setidaknya ada 129 teknologi yang terkandung dalam ‘tubuh’ KF-21 Boramae. Ada empat teknologi kunci, diantaranya radar dan pengindera infra merah, yang hanya dibagikan AS pada Korsel. “Sebetulnya tidak masalah, namun paling tidak dalam pembuatan KFX/IFX 80 persen teknologinya kita kuasai. Nanti dalam proses pengujian yang kita lakukan sendiri, kita bisa mengganti atau mengembangkan sesuai dengan kebutuhan kita,” kata Eris.
Ditemui terpisah, Kepala Bidang Teknologi dan Ofset Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Yono Reksoprodjo mengharapkan proyek IFX jangan berhenti di tengah jalan. Meskipun ada sejumlah kendala, menurutnya proyek itu belum gagal. Menurutnya, kemandirian nasional hanya akan menjadi ilusi bila Indonesia berhenti di tengah jalan.
Menurutnya, Indonesia harus memanfaatkan setiap kesempatan yang saat ini dimiliki. “Alih teknologi, transfer teknologi itu bahasa diplomasi. KFX/IFX adalah pesawat dengan teknologi 4.5, bahkan generasi 5. Apa teknologi yang mau diambil, elektroniknya, bukan platformnya, itu yang harus dikejar,” kata Yono.
Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan Kementerian Pertahanan, Marsma Wajariman mengungkapkan proyek KFX/IFX masih berjalan dengan baik. Meskipun demikian ada sejumlah penyesuaian terkait dengan terhentinya pembiayaan proyek bersama itu.
Kamis, pekan lalu, saat ditemui di Bandung, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan memaparkan, 37 ahli dan dua pilot uji dari TNI Angkatan Udara yang saat ini dikirim ke Korsel menjadi kunci perkembangan teknologi pesawat tempur Indonesia di masa depan. Mereka akan menyerap pengembangan dari dua aspek yaitu perancangan dan pengujian, serta pembuatan purwarupa. “Mereka melihat teknologi-teknologi kunci apa yang harus dikuasai. Tentunya 37 engineer ini tidak sebanding dengan 1000-an dari mereka (Korsel). Namun, dengan jumlah terbatas ini, kami akan maksimalkan benefitnya,” papar Gita.
Sejumlah teknologi yang perlu dikuasai diantaranya struktur dasar pembangunan pesawat hingga integrasinya. Hal ini membutuhkan waktu yang panjang sehingga SDM yang dikirimkan merupakan karyawan muda dan memiliki kapasitas yang baik di bidangnya. “Ini pertama kami bicara fighter (jet tempur). Selama ini basis kami adalah transportasi. Karena itu, kami memilih SDM yang masih muda, sebagai masa depan PT DI, agar bisa menguasai teknologi pesawat tempur masa depan ini,” ujarnya.
Baca juga: Kerja Sama Pertahanan Jadi Keniscayaan
Gita memaparkan, dalam kerja sama proyek KFX/IFX, yang diharapkan bisa diproduksi di Indonesia ini antara lain sayap, ekor, hingga pylon atau adaptor penghubung senjata pada pesawat tempur. Di samping itu, PT DI juga mengupayakan agar bisa melakukan perawatan dan perbaikan pesawat tersebut. “Kalau kita bicara maksimal, 20 persen kontribusi ini sudah sesuai dengan cost share. Tetapi ini bisa kurang kalau kami tidak hati-hati. Karena itu, kami harus mendapatkan kualifikasi dari bagian-bagian yang akan diproduksi. Artinya, kami harus menguasai teknologi komposit,” ujarnya.
“Ini menjadi bagian dari roadmap kita. Meskipun hanya memproduksi sejumlah bagian, kami selalu mendorong agar IFX bisa di delivery dari Indonesia. Artinya, perakitan, pengetesan, hingga sertifikasi bisa dilakukan di Indonesia,” ujarnya. Menurut Gita, upaya ini sejalan dengan keinginan untuk memproduksi pesawat tempur secara mandiri, dimulai dari kemampuan merawat hingga bisa meningkatkan kemampuan pesawat, PT DI pun bersiap menuju era manufaktur pesawat tempur. “PT DI sebagai integrator bersiap untuk mengarah ke sana (produksi pesawat tempur). Sekarang sudah ada komponen dari dalam negeri, maintenance (perawatan) sudah dari kami. Setelah itu, baru kita masuk ke sistem persenjataan, avionic, dan lainnya,” papar Gita.
Masa depan
Mengomentari uji terbang perdana KF-21 Boramae, kepada CNN, Peter Layton rekanan pada Griffith Asia Institute Australia mengatakan, keberhasilan KF-21 merupakan tonggak mengesankan bagi Korsel. “Program ini secara signifikan meningkatkan kemampuan kedirgantaraan Korea Selatan khususnya dalam desain, manufaktur, komponen badan pesawat dan sistem avionik,” kata mantan perwira Angkatan Udara Australia itu.
Sementara itu merujuk pada militarywatchmagazine.com keberhasilan industri pertahanan Korsel meluncurkan KF-21, menjadikan negeri itu sebagai ‘pemain keempat’ setelah China, Rusia, atau AS yang lebih dulu mampu menguasai teknologi pesawat siluman. Dan untuk mendukung pengembangan itu, Angkatan Udara Korea Selatan telah berencana – hingga tahun 2036 – membeli 40 unit KF-21 “Blok1”, dan 80 unit KF-21 “Blok 2”.
Sebagai satu-satunya mitra dalam pengembangan bersama KF-21, Indonesia sebaiknya jangan sampai kehilangan momentum ini…