Keadilan Restoratif Bisa Digunakan dalam Pidana Pemilu
Meskipun tidak diatur secara rigid, pendekatan keadilan restoratif terbuka dilakukan di semua pengadilan, termasuk pengadilan perkara kepemiluan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat penegak hukum dapat mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dalam menegakkan hukum pemilu. Peluang ini sangat dibuka terutama untuk perkara-perkara yang sudah dikoreksi akibat-akibat yang ditimbulkan dari sebuah tindakan.
Hakim Agung Irfan Fakhrudin mengungkapkan, meskipun tidak diatur secara rigid, pendekatan keadilan restoratif terbuka dilakukan di semua pengadilan, termasuk pengadilan perkara kepemiluan. Kadang-kadang pendekatan model ini tidak digunakan secara terbuka atau terang-terangan. Namun, hal itu akan berpengaruh pada putusan yang dijatuhkan yang sedikit banyak mengandung konsep keadilan restoratif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kalau akibat-akibat (yang timbul) sudah di-recovery, sudah ada remedial function yang berjalan. Itu (keadilan restoratif) berlaku untuk semua pengadilan. Di Peradilan TUN (tata usaha negara) juga seperti itu. Kalau sudah tidak ada masalah, sudah dikoreksi akibat-akibat yang timbul dari sebuah tindakan, itu kita akomodasi,” kata Irfan dalam acara dialog interaktif Rakornas Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), Selasa (20/9/2022).
Selain Irfan, dialog interaktif yang dipandu oleh pegiat pemilu Titi Anggaini tersebut juga menghadirkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari. Sentra Gakkumdu pertama kali dibentuk pada 2004 atau sudah menjelang 18 tahun. Sentra Gakkumdu sudah mengawal empat kali pemilu di Indonesia. Sentra Gakkumdu merupakan wadah bagi Badan Pengawas Pemilu, penyidik kepolisian, dan jaksa dalam berkoordinasi menangani pelanggaran pidana kepemiluan yang terjadi selama proses pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Apa yang dikemukakan oleh Irfan merupakan jawaban bagi pertanyaan yang diajukan anggota Bawaslu Provinsi Banten, Badrul Munir. Ia mempertanyakan apakah ada ruang bagi pendekatan keadilan restoratif digunakan dalam perbuatan pidana formil yang dilakukan selama masa tahapan pemilu tetapi masih bisa diperbaiki.
Hasyim Asy’ari yang juga aktif sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan, konsep keadilan restoratif berlaku untuk semua kategori peristiwa yang berpotensi dianggap sebagai tindak pidana. Ia sepakat bahwa pendekatan keadilan restoratif juga dapat diterapkan dalam pidana kepemiluan.
Namun, ia menyarankan, sebaiknya pendekatan keadilan restoratif tidak hanya dilakukan pada saat perkara sudah sampai di pengadilan.
”Tapi, ketika penyidikan (yang dilakukan) dengan cermat, dengan hati-hati, itu sudah bagian dari restorative justice. Tidak menjadikan orang yang sesungguhnya tidak kena pidana lalu kena pidana. Itu, kan, penting,” katanya.
Politik uang
Selain masalah penerapan keadilan restoratif, dibahas pula mengenai politik uang di masa kampanye yang marak terjadi dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya. Titi Anggraini menyampaikan data pidana pemilu yang ditangani pada tahun 2019 yang dimiliki oleh Bawaslu. Pada tahun tersebut terdapat 380 putusan perkara pidana pemilu yang berkekuatan hukum tetap.
Dari data tersebut terdapat tiga jenis tindak pidana yang tergolong paling banyak ditemui. Pertama, politik uang dengan jumlah putusan 69 perkara. Kedua, pemberian suara lebih dari satu kali dengan 65 perkara, dan ketiga adalah penggelembungan suara dengan 43 putusan.
Selain itu, Titi juga menyebutkan adanya hasil survei dari Global Corruption Barometer yang menyatakan bahwa satu dari tujuh pemilih di Asia terpapar politik uang. Indonesia, menurut dia, menempati posisi ketiga setelah Thailand dan Filipina. Disebutkan, sebanyak 26 persen pemilih di Indonesia sudah terkena praktik tersebut.
”Saya yakin pasti praktiknya lebih besar (dari 26 persen). Itu bukan kabar baik, tapi kita bertemu dengan kompleksitas hukum,” kata dia.
Hasyim Asy’ari mengungkapkan, rumusan politik uang dalam UU Pemilu sangat jelas. Namun, pembuktiannya relatif susah. Untuk membuktikan kebenaran materiil dari suatu peristiwa, penegak hukum harus sangat berhati-hati.
Ia kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya apakah seorang calon melakukan politik uang. Seorang kiai yang mencalonkan diri dalam suatu pemilihan memberikan uang zakat pada bulan Ramadhan. Ia ditanya oleh salah satu tim calon tersebut apakah jika membagi-bagikan zakat termasuk politik uang. Hasyim pun mengatakan, apabila jumlah uang yang dibagikan sama dengan tahun lalu, hal tersebut bukan politik uang.
”Beda lagi kalau misalnya tahun lalu membagikan zakat Rp 1,5 miliar, sekarang menjadi Rp 3 miliar. Nah, ini pasti yang Rp 1,5 miliar adalah money politic,” ungkapnya.
Ketua Bawaslu Gorontalo J Umar mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya politik uang.
Namun, hal itu sulit diberantas. Ada dua sebab yang melatarbelakangi, yaitu publik yang belum memiliki komitmen jelas untuk menolak politik uang dan adanya kekosongan hukum. Kemudian, Pasal 523 UU Pemilu yang mengatur larangan dan sanksi bagi pelanggar politik uang bagi pelaksana, petugas, dan peserta kampanye.
”Setelah dilihat, ternyata (pasal di UU Pemilu) hanya menyebutkan (larangan) bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Seolah-olah calon anggota DPR tidak masuk bagian yang dilarang. Ini problem norma yang perlu dipikirkan ke depan supaya politik uang bisa dicegah sedini mungkin. Kalau tidak, fenomena Pemilu 2024 bisa jadi akan dibanjiri oleh praktik politik uang yang susah dicegah,” katanya.