Kurang dari dua pekan sebelum penutupan pendaftaran calon hakim agung dan hakim ”ad hoc” hak asasi manusia pada Mahkamah Agung, jumlah pendaftar untuk posisi itu masih minim.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga hari ke-10 pendaftaran calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia pada Mahkamah Agung, baru ada 81 orang yang mendaftar ke Komisi Yudisial. Dari jumlah itu, tak ada satu pun peminat untuk tiga posisi hakim ad hoc HAM tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Komisi Yudisial (KY) menduga tidak adanya pendaftar untuk hakim perkara pelanggaran HAM berat itu karena minimnya jumlah perkara yang ditangani. Terkait ada tidaknya perkara pelanggaran HAM berat sangat tergantung pada penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional HAM yang ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Juru bicara KY, Miko Ginting, Jumat (9/9/2022), mengatakan, KY sedang melakukan sosialisasi dan penjaringan kepada para hakim tinggi, akademisi, dan jaringan masyarakat sipil. Mengenai belum ada peminat untuk posisi hakim ad hoc HAM untuk MA, menurut Miko, perlu diidentifikasi lebih lanjut mengenai alasannya. Ini dilakukan sembari berefleksi pada seleksi untuk tingkat pertama dan banding pada MA atau seleksi komisioner Komnas HAM.
”Hipotesis sementara terkait soal perkara yang akan ditangani, apakah hanya perkara Paniai atau ada perkara-perkara lainnya. Sementara undang-undang menyatakan bahwa jabatan hakim ad hoc HAM memiliki masa jabatan lima tahun,” kata Miko.
Hingga saat ini, perkara pelanggaran HAM berat yang sudah diajukan ke pengadilan (setelah kasus Timor Timur ) hanyalah kasus di Paniai, Papua. Sidang akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.
Selain itu, Miko juga mewaspadai ketentuan jangka waktu penyelesaian perkara untuk setiap tahapan di dalam undang-undang. ”KY pasti berusaha agar seleksi bisa selesai dalam kerangka waktu itu,” ujar Miko.
Saat ini, KY tengah memantapkan peraturan KY terkait Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA. Peraturan tersebut akan memberikan penekanan terhadap hal-hal yang diselaraskan dengan karakter khusus dari perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Miko mencontohkan salah satu hal yang kini dibahas adalah mengenai persoalan pertanggungjawaban komando atau kompensasi dan rehabilitasi untuk korban dan sebagainya.
”Untuk kepentingan seleksi, peraturan KY untuk calon hakim agung ada. Untuk hakim ad hoc tipikor dan hakim ad hoc hubungan industrial (pada MA), ada. Cuma untuk (Hakim) ad hoc HAM, kan, baru pertama. Jadi, dibuat (peraturan KY) khusus juga,” ujarnya.
KY, menurut rencana, akan menutup pendaftaran calon hakim pada 20 September mendatang.
Tioria Pretty Stephanie dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menuturkan, pihaknya tidak mengajukan nama untuk menjadi hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung. Kontras mengembalikan hal itu pada kesadaran setiap orang yang memiliki kompetensi untuk mendaftar.
Ia berharap dalam proses seleksi kali ini ada hal-hal yang diperhatikan oleh KY. Di antaranya, pengertian setiap calon mengenai pelanggaran HAM berat, pertanggungjawaban komando, latar belakang dan rekam jejak yang tidak berpotensi mempunyai konflik kepentingan, seperti dari institusi yang sama dengan pelaku.
Pertanggungjawaban komando penting karena dalam kasus pelanggaran HAM berat, yang bersalah bukan hanya pelaku lapangan, tetapi juga pengambil kebijakan atau malah atasannya yang tidak melakukan apa-apa.
Namun, menurut dia, perlu diingat pula sebagai satu rangkaian persidangan bahwa apa yang diperiksa hakim juga bergantung dari konstruksi dakwaan. Pembuktian dan tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut sejak awal di persidangan tingkat pertama.
Saat ini, masih terdapat 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang masih belum tuntas penanganannya. Kasus itu ialah pembunuhan massal 1965, peristiwa Talangsari Lampung 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Rumah Geudong 1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisaksi, Semanggi I dan II, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, peristiwa Wasior dan Mawena 2001, peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, pembunuhan Munir, dan peristiwa Paniai.