Kontras Minta MA Buka Seleksi Lanjutan Hakim ”Ad Hoc” HAM
Jumlah hakim yang lolos seleksi belum memenuhi kuota minimal seperti sebelumnya disampaikan oleh MA. Kontras meminta MA melakukan seleksi lanjutan untuk memenuhi kuota tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung telah memilih delapan hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai, Papua. Namun, jumlah hakim yang lolos seleksi belum memenuhi kuota minimal seperti sebelumnya disampaikan oleh MA. Kontras meminta MA melakukan seleksi lanjutan untuk memenuhi kuota tersebut.
Pada Senin (25/7/2022), Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan HAM MA telah memilih empat hakim ad hoc pengadilan tingkat banding, yakni Mochamad Mahin, Fenny Cahyani, Florentia Switi Andari, dan Hendrik Dengah. Selain itu, empat hakim ad hoc pengadilan tingkat pertama, yakni Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahma Dewi, dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti melalui keterangan tertulis, Selasa (26/7/2022), mengatakan, jumlah hakim yang diloloskan panitia seleksi berbeda dengan pernyataan pihak MA sebelumnya bahwa akan ada 12 hakim yang direkrut, yakni enam hakim di pengadilan tingkat pertama dan enam hakim di tingkat banding. Oleh karena itu, Kontras berharap MA kembali melakukan seleksi lanjutan untuk memilih setidaknya empat nama guna memenuhi kuota minimal itu.
”Untuk kemungkinan hakim ad hoc HAM ini dibutuhkan guna mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya, MA semestinya bisa menggunakan mekanisme seleksi berikutnya di waktu yang berbeda,” ujarnya menjelaskan alasan kuota harus terpenuhi.
Mengacu pada Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM yang sudah dilimpahkan dari Kejaksaan Agung akan ditangani oleh majelis hakim pengadilan HAM yang terdiri dari dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc HAM. Masa jabatan hakim ad hoc HAM selama 10 tahun seperti diatur dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 26/2000.
Dengan masa jabatan hakim selama 10 tahun, menurut Fatia, terbuka kemungkinan para calon hakim terpilih akan menyidangkan perkara kasus pelanggaran HAM berat tak hanya dalam kasus Paniai. Oleh karena itu, jumlah minimal hakim yang disebutkan MA sebelumnya hendaknya dipenuhi.
Yang juga penting, MA diminta mencari hakim yang memenuhi kualifikasi. Kualifikasi dimaksud, menurut kriteria Kontras, adalah memiliki pengetahuan yang memadai mengenai unsur pelanggaran HAM berat, konsep rantai komando, serta pemahaman mengenai hukum acara pengadilan HAM.
Hal ini, menurut dia, banyak tak terpenuhi oleh peserta seleksi. ”Hasil pemantauan langsung Kontras saat tes wawancara, hanya ada dua nama yang memenuhi kualifikasi,” kata Fatia.
Jika memungkinkan, MA bisa menggelar seleksi calon hakim ad hoc lagi untuk memenuhi kebutuhan minimal 12 hakim yang diperlukan. Seleksi tak harus dilakukan untuk pengadilan HAM berat dalam waku dekat, tetapi dalam rentang waktu yang leluasa agar bisa mendapatkan hakim yang benar-benar berkualitas.
”Situasi yang dihadapi pansel MA saat ini menunjukkan ketergesaan sehingga proses pencarian hakim ad hoc HAM tidak berjalan secara maksimal. Kondisi ini adalah dampak dari lambatnya respons MA yang tidak segera menindaklanjuti pengumuman tindak penyidikan peristiwa Paniai 2014 yang sudah diumumkan oleh Kejaksaan Agung sejak Desember 2021,” kata Fatia. Adapun proses rekrutmen hakim ad hoc pengadilan HAM baru dilansir oleh MA pada 20 Juni 2022.
Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM Andi Samsan Nganro, Senin, menyampaikan nama-nama calon hakim ad hoc yang lolos seleksi untuk dipersiapkan menyidangkan perkara dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Adapun hakim karier masih dipersiapkan.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi menambahkan, dari nama-nama yang sudah dipilih oleh pansel, akan dipilih tiga orang oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar untuk menyidangkan perkara dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Sementara itu, tiga hakim untuk tingkat banding dipilih oleh Ketua Pengadilan Tinggi Makassar.