Pengurus Tak Langsung Disahkan, Kemenkumham Masih Kaji Usulan PPP
Kemenkumham tidak serta-merta mengesahkan kepengurusan baru PPP hasil Mukernas Serang. Kemenkumham akan mengkaji terlebih dahulu permohonan itu apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku ataukah tidak.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia masih mengkaji berkas kepengurusan baru Partai Persatuan Pembangunan hasil Musyawarah Kerja Nasional Serang, Banten. Dalam struktur kepengurusan baru tersebut, posisi ketua umum yang terpilih dalam Muktamar IX tahun 2020, Suharso Monoarfa, sudah digantikan oleh Muhammad Mardiono selaku Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/9/2022), mengatakan, pihaknya telah menerima surat permohonan untuk perubahan struktur kepengurusan PPP pada Selasa (6/9/2022). Dalam struktur kepengurusan baru, hanya ketua umum yang berganti, sedangkan pengurus lain tak berubah.
Terhadap permohonan tersebut, Cahyo menegaskan, Kemenkumham tidak akan asal-asalan mengesahkan pengurus baru PPP. Kemenkumham akan mengecek kelengkapan serta mengkaji terlebih dahulu permohonan itu sesuai dengan aturan yang berlaku.
”Jadi, kami tentu tidak semudah itu (mengabulkan permohonan). Artinya, harus dipelajari dulu berkasnya, kelengkapannya, apakah sesuai aturan, sesuai AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) partai atau tidak. Kan, tidak secepat itu dan segampang itu kami melihatnya,” ujar Cahyo.
Mardiono yang sebelumnya merupakan Ketua Majelis Pertimbangan PPP ditunjuk menjadi Plt Ketua Umum PPP dalam mukernas yang digelar di Kabupaten Serang, Banten, Minggu (4/9/2022) sore hingga Senin (5/9/2022) dini hari. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu menggantikan posisi Suharso Monoarfa yang diberhentikan karena sejumlah pertimbangan.
Penggantian ketua umum itu kemudian menimbulkan kekisruhan di internal PPP. Sebagian kader mendukung keputusan mukernas, sedangkan sebagian lainnya menolak dan tetap menganggap Suharso sebagai Ketua Umum PPP. Suharso sendiri, di hadapan kader dari sejumlah daerah di Indonesia yang mengikuti bimbingan teknis anggota DPRD dari PPP, Selasa pagi, menegaskan bahwa ia masih Ketua Umum PPP yang sah dan pelaksanaan mukernas di Serang tidak sesuai dengan AD/ART partai.
Kami tentu tidak semudah itu (mengabulkan permohonan). Artinya, harus dipelajari dulu berkasnya, kelengkapannya, apakah sesuai aturan, sesuai AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) partai atau tidak.
Cahyo menyampaikan, salah satu yang dikaji oleh Kemenkumham adalah keabsahan penyelenggaraan mukernas, di mana di dalam mukernas tersebut terjadi pergantian Ketua Umum PPP. Mukernas akan dianggap sah apabila sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan dan AD/ART partai.
”Kami akan pelajari semuanya, berkasnya, tentunya setiap parpol apalagi PPP, kan, punya AD/ART. Nah, nanti secara internal itu, pelaksanaannya (mukernas) harus sesuai dengan AD/ART,” kata Cahyo.
Dalam tahap pemeriksaan berkas ini, lanjut Cahyo, pihaknya juga membuka diri bagi siapa pun untuk menyampaikan klarifikasi. Begitu pula terhadap Suharso, pintu klarifikasi terbuka apabila ada hal-hal yang dinilai masih tidak sesuai dengan AD/ART partai. ”Silakan saja. Kami tidak menutup diri,” ucapnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai PPP Arsul Sani menyerahkan sepenuhnya pengesahan struktur kepengurusan baru PPP kepada Kemenkumham. ”Nanti menjadi tugas Dirjen AHU untuk mengakaji dan meneliti. Kami sabar untuk menunggu apa persyaratan yang kurang,” ujarnya.
Saat ditanya, apakah mukernas di Serang beberapa waktu lalu sudah sesuai AD/ART, Arsul justru mengungkit saat Suharso menduduki kursi Plt Ketua Umum PPP menggantikan Muhammad Romahurmuziy. Berdasarkan aturan AD/ART, yang bisa menjadi plt ketua umum hanya wakil ketua umum. Namun, kursi Plt ketua umum justru diduduki oleh Suharso yang saat itu menjabat Ketua Majelis Pertimbangan.
”Tetapi, kan, kemudian dengan fatwa dari Majelis Syariah yang dibenarkan oleh Mahkamah Partai, maka yang ada di AD/ART ’ter-delete’ atau tergantikan oleh fatwa Majelis Syariah yang dibenarkan oleh Mahkamah Partai,” ungkap Arsul.
Menurut Arsul, fatwa Majelis Syariah PPP kala itu dibenarkan lantaran PPP tengah menghadapi kondisi darurat. Selain itu, Suharso juga dipandang cakap dan mumpuni untuk menduduki kursi Ketua Umum PPP.
Jika hal ini masih dipersoalkan, lanjut Arsul, sama saja jabatan Suharso menjadi Plt Ketum PPP pada saat itu juga tidak sah. Dengan demikian, Muktamar IX Tahun 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk memilih ketua umum baru secara otomatis juga melanggar ketentuan yang berlaku.
”Karena muktamar yang diselenggarakan di Makassar itu oleh Plt Ketua Umum yang tidak sah menduduki jabatan. Kok, enggak dipertanyakan seperti itu,” ujar Arsul.