Kursi Panas Pucuk Pimpinan ”Partai Kabah”
Sengketa kepengurusan 2014-2018 menyebabkan PPP kehilangan 20 kursi DPR pada Pemilu 2019. Kini, jelang Pemilu 2024, kisruh lantaran penggantian ketua umum kembali terjadi di tubuh partai berusia hampir lima dekade itu.
Pucuk pimpinan Partai Persatuan Pembangunan kembali ”digoyang”. Untuk ketiga kali dalam satu dekade terakhir, Ketua Umum PPP tidak berhasil menyelesaikan kepemimpinan hingga akhir masa jabatan. Setelah Suryadarma Ali dicopot akibat tersandung korupsi dan perbedaan sikap pasca-Pemilu 2014, Muhammad Romahurmuziy tersingkir akibat terjerat kasus korupsi menjelang Pemilu 2019, kini dua pekan setelah PPP mendaftar sebagai calon peserta Pemilu 2024, Suharso Monoarfa diganti akibat kontroversi pidato ”amplop kiai” hingga masalah pribadi.
Pemberhentian Suharso dari jabatan Ketua Umum PPP diputuskan dalam musyawarah kerja nasional di Kabupaten Serang, Banten, Senin (5/9/2022) dini hari. Ketua Majelis Pertimbangan PPP yang kini juga menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhamad Mardiono ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP.
Padahal, Suharso yang terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2020-2025 dalam Muktamar IX PPP baru 21 bulan menjabat sebagai pimpinan partai berlambang Kabah tersebut.
Penggantian Suharso menambah panjang daftar konflik yang berujung penggulingan ketua umum di tubuh PPP. Jelang Pemilu 2014, Suryadharma Ali diprotes setelah mengikuti kampanye dan memutuskan berkoalisi dengan Partai Gerindra pada 18 April 2014. Hari itu juga, Suryadharma menggeser Romahurmuziy dari posisi Sekretaris Jenderal menjadi Ketua DPP PPP.
Sehari kemudian, rapat pimpinan nasional digelar tanpa kehadiran Suryadharma Ali. Rapimnas memutuskan pemberhentian sementara Suryadharma dan pengangkatan Emron Pangkapi yang kala itu menjabat Wakil Ketua Umum menjadi Plt Ketua Umum PPP. Untung saja, perseteruan yang terjadi di tengah pemeriksaan Suryadharma sebagai tersangka korupsi dana haji itu berakhir damai. Dalam Rapimnas II PPP di Jakarta pada Mei 2014, PPP akhirnya sepakat berkoalisi dengan Gerindra dalam Pilpres 2014.
Baca juga: Suharso Monoarfa Dilengserkan, Wantimpres Mardiono Jadi Plt Ketua Umum PPP
Namun, kemudian sengketa kembali muncul pasca-Pemilu 2014. Status Suryadharma yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana haji sejak Mei 2014, satu bulan setelah pemilu legislatif, menjadi pemicunya. Ditambah lagi dengan keinginan sebagian pengurus serta kader PPP untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Perbedaan pandangan itu berujung pada pemberhentian Suryadharma sebagai ketua umum PPP. Keputusan ini diambil dalam rapat pengurus harian DPP PPP pada 9 September 2014. PPP kemudian mengukuhkan Emron Pangkapi sebagai ketua umum dalam rapimnas 15 September 2014 di Jakarta.
Namun, sebelumnya pada 12 September, Suryadharma yang menolak pemberhentian dirinya sebagai ketua umum memecat sejumlah pengurus PPP, di antaranya tiga wakil ketua umum, yaitu Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa, dan Lukman Hakim Saifuddin, serta Sekjen PPP M Romahurmuziy.
Setelah Rapimnas Jakarta, PPP terus memberikan isyarat akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang telah berhasil memenangkan Jokowi-Kalla. Meski dalam Pilpres Juli 2014 PPP tetap berada di barisan Koalisi Merah Putih pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, PPP memutuskan berubah haluan. Keputusan PPP merapat ke koalisi Jokowi-Kalla diambil pada detik-detik terakhir jelang pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat 7 Oktober 2014.
Tak lama berselang, PPP pimpinan Emron Pangkapi menggelar Muktamar VIII di Surabaya, Jawa Timur. Dalam forum yang digelar 15-17 Oktober 2014 itu, Romahurmuziy terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP.
Sejak saat itu konflik di internal PPP semakin meruncing. Suryadharma yang tak terima dengan hasil Muktamar Surabaya kemudian menggelar forum serupa di Jakarta. Muktamar yang digelar 30 Oktober-2 November 2014 memutuskan Djan Faridz sebagai Ketua Umum PPP menggantikan Suryadharma.
Tak berhenti di situ, kedua kubu, baik Djan maupun Romahurmuziy, saling gugat di pengadilan. Kedua kubu kepengurusan itu pun sempat berebut markas PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Sengketa terus berlanjut, meski pada 20 Oktober 2015, Mahkamah Agung menetapkan kepengurusan PPP yang sah adalah pengurus hasil Muktamar Bandung tahun 2010 dengan ketua umum Suryadharma Ali. Konflik baru mereda pada tahun 2018, beberapa bulan sebelum Pemilu 2019 berlangsung.
Suara tergerus
Sengketa berkepanjangan itu tak pelak mengakibatkan suara PPP tergerus cukup dalam pada Pemilu 2019. Ditambah lagi, beberapa bulan menjelang pemungutan suara, KPK menangkap Romahurmuziy karena korupsi.
Raihan suara PPP turun dari 6,5 persen pada Pemilu 2014 menjadi 4,5 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019. Perolehan suara ini menempatkan PPP sebagai parpol yang capaiannya terendah di antara sembilan partai yang lolos ambang batas parlemen. Secara persentase, raihan suara PPP itu juga yang terendah sepanjang sejarah keikutsertaan PPP dalam pemilu sejak Orde Baru.
Turunnya raihan suara pemilu itu otomatis mengakibatkan PPP kehilangan banyak kursi DPR. Jika pada Pemilu 2014 PPP berhasil menguasai 39 kursi DPR, di Pemilu 2019 hanya 19 kursi.
Baca juga: Mardiono dan Suharso Didorong untuk Islah
Kini sejarah kembali terulang. Suharso yang pernah menjadi Plt Ketua Umum PPP menggantikan Romahurmuziy juga digulingkan. Dikutip dari Pendapat Hukum Mahkamah PPP tentang Pemberhentian Suharso, ada lima alasan Mahkamah Partai menjatuhkan putusan tersebut.
Pertama, keputusan dan kebijakan Suharso terkait konsolidasi organisasi bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PPP. Hal ini mengakibatkan kegaduhan, bahkan memunculkan aksi demonstrasi yang terus-menerus oleh kader yang dirugikan atas keputusan tersebut.
Kedua, masalah dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang mengemuka di publik. Dua hal itu memunculkan respons negatif dari masyarakat dan aktivis antikorupsi terhadap Suharso dan PPP sebagai parpol.
Ketiga, ada isu sensitif yang menyertai prahara rumah tangga Suharso yang mengarah pada hal yang melanggar syariat Islam. Selain itu, ada isu negatif yang mengemuka di ruang publik tentang pernikahan baru Suharso selaku pejabat negara yang tidak memenuhi syarat di UU Perkawinan dan hukum negara lainnya.
Selanjutnya, ketidakpantasan dan kesalahan yang tidak diterima oleh berbagai kalangan umat Islam terkait dengan pernyataan Suharso di Komisi Pemberantasan Korupsi soal ”amplop kiai” yang dianggap sebagai penghinaan terhadap para kiai dan dunia pesantren.
Terakhir, surat tiga unsur pimpinan Majelis DPP PPP yang meminta Suharso untuk mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PPP. Surat itu diabaikan, bahkan memecah belah para kiai yang terhimpun dalam pimpinan majelis-majelis.
Prahara yang terjadi saat ini pun dikhawatirkan kembali berdampak pada elektabilitas PPP. Berdasarkan Survei Litbang Kompas yang diselenggarakan Juni lalu, elektabilitas PPP berada pada angka 2 persen, lebih rendah dibandingkan survei serupa pada Januari yang mencatat elektabilitas 2,8 persen. Bahkan, PPP menjadi partai di parlemen yang berada di urutan paling buncit.
Meskipun demikian, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani meyakinkan bahwa pemberhentian Suharso dari posisi ketua umum tidak menunjukkan adanya perpecahan di internal partai. Bahkan, Suharso disebut telah mengutarakan keinginan untuk mengundurkan diri.
”Apakah artinya Pak Suharso Monoarfa dipecat atau diberhentikan, jawabannya, tidak,” kata Arsul yang juga menjabat sebagai penanggung jawab mukernas.
Sementara, Mardiono menjelaskan, keputusan ini merupakan estafet kepemimpinan sebagai bentuk pembagian tugas agar masing-masing bisa fokus dalam menghadapi agenda tugasnya masing-masing. Apalagi pemungutan suara Pemilu 2024 kurang dari 500 hari lagi sehingga perlu lebih fokus melakukan konsolidasi pemenangan.
”Insya Allah tidak ada (pergantian pengurus yang lain). Kami akan fokus melanjutkan agenda-agenda pemilu. Itu fokus yang paling utama,” tuturnya.
Namun, tetap saja penggantian ketua umum itu menimbulkan pro dan kontra. Apalagi, Suharso berkukuh jabatan ketua umum masih berada di tangannya. ”Apa yang telah dikembangkan adalah tidak benar. Saya masih ketua umum. Sekali lagi, saya adalah Ketua Umum PPP yang diberi mandat oleh Muktamar IX PPP pada Desember 2020,” kata Suharso yang tiba-tiba muncul di hadapan para kader yang tengah mengikuti bimbingan teknis anggota legislatif PPP di Jakarta, Selasa lalu.
Baca juga: Tak Ada Nama Suharso, PPP Serahkan Berkas Pengurus Baru ke Kemenkumham
Pada hari yang sama, Mardiono bersama Arsul menyerahkan berkas kepengurusan baru ke Kementerian Hukum dan HAM. Dalam susunan kepengurusan baru itu, tidak ada nama Suharso karena posisinya telah digantikan oleh Mardiono.
Seruan islah
Sadar akan risiko yang bakal dihadapi PPP setelah penggantian ketua umum, sejumlah kader senior menyerukan agar Mardiono dan Suharso segera islah. Seruan itu salah satunya disampaikan politikus senior PPP, Akhmad Muqowam. Ia mengingatkan bahwa persengketaan justru akan merugikan PPP karena pasti banyak kader yang merasa tidak aman. Selain itu, mereka yang ingin bergabung dengan PPP juga dikhawatirkan akan mengurungkan niat karena melihat kondisi parpol yang tidak stabil.
”Pak Suharso dan Pak Mardiono, kan, secara personal baik. Jadi, saya yakin, ini seharusnya bisa diselesaikan pula secara baik. Hal-hal itu, kan, mesti ditabayunkan, dikomunikasikan,” ujar Muqowam.
Sama dengan Muqowam, Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi juga mendorong Suharso, Mardiono, dan para senior partai berembuk. Perbedaan pandangan di internal partai jangan sampai menjadi pemicu munculnya dualisme kepengurusan partai seperti di periode sebelumnya.
Pengalaman konflik internal sebelumnya yang berlangsung lebih dari empat tahun semestinya menjadi pelajaran. Sengketa kepengurusan terbukti membuat partai yang didirikan tahun 1973 itu mengalami banyak kerugian. Kehilangan 20 kursi DPR tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Jangan sampai pula upaya mempertahankan eksistensi partai selama hampir lima dekade menjadi sia-sia.