Antara Membakar Lumbung Padi dan Memberi Roti Lapis Kebenaran
Dalam menghadapi disinformasi di tengah peristiwa politik, apa yang bisa dilakukan? Apakah mengambil langkah ekstrem mematikan akses internet atau menyajikan konten yang benar sembari terus memperkuat literasi?
Seperti halnya membakar lumbung padi untuk memberangus tikus, sejumlah pemerintah di Afrika membuat kebijakan memutuskan konektivitas ke media sosial tertentu menjelang pemungutan suara. Bahkan, ada pula yang sampai mematikan akses internet secara total.
Di Uganda, sehari sebelum pemungutan suara pemilihan presiden digelar pada 14 Januari 2021, pemerintah memutus akses internet. Akses internet baru mulai dipulihkan bertahap lima hari setelahnya. Namun, akses pada media sosial dan platform komunikasi baru mulai dipulihkan beberapa waktu setelahnya. Kejadian semacam ini tidak hanya unik pada kasus Uganda. Berdasar laporan Theafricanreport.com (9/8/2022), pemutusan internet menjelang dan sesudah pemilu digelar berlangsung pula di Niger, Republik Kongo, dan Zambia.
”Sebelum memutus internet mereka menyampaikan bahwa orang-orang akan menyebarkan disinformasi mengenai pemilu di internet. Kami ingin damai, jadi mereka memutus akses kepada internet,” kata Enock Nyariki, Community and Impact Manager Poynter Institute, dalam pertemuan dengan peserta International Visitor Leadership Program bertajuk ”Combating Disinformation and Protecting Free Speeh Online” di St Petersburg, Florida, Amerika Serikat, akhir Juli 2022.
Sebelum memutus internet, mereka menyampaikan bahwa orang-orang akan menyebarkan disinformasi mengenai pemilu di internet. Kami ingin damai, jadi mereka memutus akses internet.
Di Uganda, Enock mencatat, sumber informasi ketika akses internet diputus menjadi sangat terbatas. Masyarakat mendapat informasi dari media-media yang dikontrol oleh negara. Dalam pemilihan itu, akhirnya Presiden Yoweri Museveni yang sudah berkuasa sjak 1986 memenangi pemilihan. Diputusnya akses ternyata tidak menekan disinformasi. Kabar bohong justru berkembang di kalangan diaspora Uganda yang berada di luar negeri serta di negara sekitar.
Maka itu, sejumlah pegiat pemeriksa fakta di Uganda bekerja sama dengan wartawan di negara tetangganya, seperti Kenya, yang masih mendapat akses internet dan mendapat konten-konten disinformasi seputar pemilu di Uganda. Disinformasi yang beredar beragam termasuk berupa foto-foto yang direkayasa untuk menunjukkan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.
”Kami ada jejaring fact checker tiga orang di Uganda menggunakan telepon berkomunikasi dengan tim di Kenya dengan jumlah lebih besar. Tim di Uganda mengklarifikasi informasi yang tidak benar dan hasil pemeriksaan fakta disebarkan tim dari Kenya yang memanfaatkan peranti dari Facebook untuk menekan penyebaran klaim yang misleading,” katanya.
Baca juga: Kabar Bohong Masih Akan Membayangi 2024
Ketika jejaring pemeriksa fakta melabeli informasi sebagai misleading atau disinformasi, kata Enock, alogritma Facebook akan menurunkan penyebarannya hingga lebih dari 90 persen. Menurut dia, upaya untuk menjernihkan disinformasi harus dilakukan segera agar ketika askes internet tersambung kembali, disinformasi tak menyebar luas, sehingga bisa meminimalkan keterpaparan warga terhadap disinformasi yang bisa mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan.
Selain menekankan pentingnya keberadaan pemeriksa fakta untuk menekan penyebaran konten disinformasi baik terkait perstiwa politik maupun non-politik, Enock juga menekankan bahwa memutus internet maupun platform tertentu bukan solusi untuk mengatasi penyebaran disinformasi.
Di satu sisi, bisa jadi, seperti kasus Uganda, memang tidak terjadi kekerasan sekala besar selama pemilu. Namun, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi memadai sebelum mereka menentukan pilihan di bilik suara. Dalam kondisi ini, masyarakat juga menjadi kesulitan memfalsifikasi informasi dan justru bisa menyuburkan spekulasi.
Baca juga: Agar Obat Tak Lebih Buruk dari Penyakit
Selain itu, memutus akses internet juga membuat hak masyarakat untuk menyampaikan pandangan mereka juga menjadi amat terbatas. ”Kalau pemerintah bisa memutuskan untuk menghentikan internet maupun perusahaan teknologi informasi, apa yang bisa menghentikan mereka untuk menghentikan Anda berpendapat,” katanya.
Pemutusan dan pelambatan akses terhadap internet juga pernah terjadi di Indonesia dalam dua peristiwa tahun 2019. Peristiwa pertama terjadi saat unjuk rasa terkait penetapan hasil Pemilu 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilu pada 22-23 Mei. Saat itu pemerintah memperlambat akses terhadap internet secara nasional. Peristiwa kedua berlangsung di Papua dan Papua Barat terkait dengan unjuk rasa berujung kerusuhan. Pada 19-20 Agustus, pemerintah memperlambat akses internet, lalu dilanjutkan dengan pemutusan akses terhadap internet pada 21 Agustus sampai 4 September 2019 di Tanah Papua.
Sejumlah elemen masyarakat sipil kemudian menggugat kebijakan pemerintah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan mereka dikabulkan. PTUN Jakarta menyatakan, tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 merupakan perbuatan melawan hukum karena pemblokiran akses internet dilakukan tanpa menyatakan status kedaruratan (Kompas.id, 3/6/2020).
”Kami elemen masyarakat sipil tidak mau ada pemutusan internet. Penanganan penegakan hukum terhadap konten tidak boleh sampai pemutusan internet karena seperti membakar lumbung untuk menangkap tikus. Kepentingan kita terhadap internet banyak, ada pelayanan publik, ada transaksi masyarakat melalui internet,” kata Abdul Azis Dumpa, pengacara publik yang juga Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar.
Media massa dan pendidikan
Dalam mengatasi dampak paparan konten disinformasi terhadap masyarakat dengan cara lebih terukur, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dari jangka pendek dibutuhkan penjernihan disinformasi secara cepat, sedangkan jangka panjang dibutuhkan pendidikan yang memadai terkait ekosistem informasi bagi masyarakat, utamanya generasi muda.
Pertama, sampaikan dulu kebenarannya, baru katakan yang salah, kemudian jelaskan bagaimana kita mengetahui bahwa hal itu salah. Jadi kita menutup berita dengan kebenaran. Judulnya juga harus sudah berisi kebenaran, tidak boleh kebohongan.
Penjernihan informasi dapat dilakukan oleh inisiatif pemeriksa fakta maupun dilakukan oleh media massa arus utama. Namun, dalam membongkar disinformasi, Adam Ashton, Wakil Redaktur Pelaksana Sacramento Bee, surat kabar di California, mengingatkan, jangan sampai media massa arus utama justru mengamplifikasi maupun mengulang kabar bohong tersebut.
Seperti halnya dengan media massa lain di AS, Ashton menuturkan, Sacramento Bee menggunakan pula metode ”truth sandwich” atau roti lapis kebenaran. Secara sederhana, mereka meletakkan kabar bohong yang hendak ”dibongkar” di antara fakta-fakta.
”Pertama sampaikan dulu kebenarannya, baru katakan yang salah, kemudian jelaskan bagaimana kita mengetahui bahwa hal itu salah. Jadi kita menutup berita dengan kebenaran. Judulnya juga harus sudah berisi kebenaran, tidak boleh kebohongan,” kata Ashton.
Dia juga menekankan, di tengah adanya upaya mendiskreditkan media massa arus utama, menjadi penting untuk transparan menjelaskan bagaimana cara wartawan mengetahui yang dia ketahui terutama dalam membongkar disinformasi. Dengan banyaknya diinformasi yang tersebar, tidak semua disinformasi perlu untuk dibongkar. Setidaknya ada dua aspek yang perlu dipertimbangkan, yakni apakah disinformasi itu sudah tersebar luas dan apakah disinformasi itu menyangkut kepentingan atau bisa berdampak pada banyak orang.
Soal roti lapis kebenaran, Roy Peter Clark, dalam ”How to Serve Up a Tasty ‘Truth Sandwich?’” yang dimuat di Poynter.org (18/8/2020) menuturkan, penempatan kata-kata untuk penekanan merupakan salah satu strategi yang penting dalam retorika dan penulisan. Dia mengingatkan untuk menempatkan kata-kata yang kuat dan ingin ditekankan di bagian awal dan di bagian akhir.
Untuk mengilustrasikan dampak dari penempatan di awal dan akhir tulisan terhadap pembaca, dia mengutip jurnalis perempuan peraih Pulitzer di Amerika Serikat, Jacqui Banaszynski, yang menyebut, ”Saya pernah dipuji karena lead tulisan. Saya pernah dipuji karena penutup tulisan. Namun, saya tidak pernah sekalipun dipuji karena bagian tengah tulisan.”
Hanya saja, tidak semua wartawan dan ruang redaksi memiliki bekal yang memadai untuk menghadapi disinformasi. Tidak hanya terkait bagaimana cara paling efektif menjernihkan disinformasi, tetapi juga bagaimana mengetahui sebuah informasi itu fakta atau bukan. Keterampilan ini dibutuhkan di tengah siklus informasi yang 24 jam sehari dan tujuh hari dalam sepekan.
Apalagi, juga terjadi banjir informasi di ruang daring. Belum lagi ada kebutuhkan media daring untuk ”menunggangi gelombang” informasi yang viral di media sosial agar banyak pembaca yang membuka tautan berita mereka karena hal itu berarti lebih banyak pageview dan lebih banyak penghasilan.
Tidak hanya media, masyarakat umum juga perlu punya kapabilitas dan daya kritis untuk menilai informasi. Mike Webb, Senior Vice President of Communication, News Literacy Project di Washington DC, menuturkan, anak muda berhak mendapat pengetahuan literasi media. Sebab, di satu sisi banyak keputusan yang akan mereka buat berbasis informasi yang mereka tangkap. Di sisi lain, mereka berada dalam lansekap informasi yang sangat kompleks.
”Mereka membutuhkan literasi berita. Apa itu? Kemampuan menilai kredibilitas informasi dan sumbernya,” kata Webb.
Mereka perlu mengenali jenis informasi yang disajikan di media massa, bagaimana mengenali misinformasi dan disinformasi yang bentuknya bisa sangat beragam baik menggunakan teks, foto, maupun video, serta bagaimana media massa arus utama bekerja. Dia berharap pendidikan untuk mengembangkan literasi berita ini bisa masuk dalam kurikulum sekolah.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Udayana Bali yang juga aktivis Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Ni Made Ras Amanda Gelgel menuturkan, di Indonesia inisiatif untuk meningkatkan literasi digital sudah berjalan. Japelidi, misalnya ,mengajak masyarakat untuk kritis dalam menerima informasi, yakni apa yang harus mereka lakukan jika menerima informasi.
Namun, dia juga menilai apa yang dikembangkan oleh News Literacy Project, yang berfokus pada membangun literasi pada berita dan media, masih bisa dikembangkan di Indonesia.