Kabar Bohong Masih Akan Membayangi 2024
Disinformasi menjadi problem global, termasuk di Indonesia. Melihat tren dunia, di 2024, disinformasi dikhawatirkan masih akan memberi warna. Menggali faktor penyubur disinformasi dapat menjadi langkah awal menekannya.
Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan seorang jurnalis senior yang menekuni isu keamanan siber dan disinformasi di Washington DC, Amerika Serikat, Juli 2022, saya bertanya akan jadi seperti apa lanskap disinformasi di Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024. ”Karakter disinformasi di Pemilihan Presiden 2024 akan berbeda karena aktor jahat akan belajar dari aktor jahat yang lain. Akan ada hal yang sama, tetapi juga akan ada evolusi,” katanya merespons.
Jurnalis yang pernah bekerja di sejumlah media ternama di AS itu menuturkan, evolusi disinformasi juga dapat dilihat dari Pilpres 2016 dan Pilpres 2020. Dia menemukan, misalnya, di Pilpres AS 2020, ada serangan dari kelompok sayap kanan yang mengirim e-mail kepada pada pemilih Demokrat. Mereka menyatakan memiliki alamat mereka dan akan datang ke rumah mereka jika tidak mengubah afiliasi politik. Hal ini akhirnya dalam waktu dekat dilacak oleh FBI.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Namun, ini sesuatu yang baru di 2020 dibandingkan 2016. Kita bisa lihat nanti hal yang baru lagi di 2024,” ungkapnya sembari menambahkan kekhawatiran akan ada potensi kampanye disinformasi di mana ada lawan dari luar negeri yang membantu aktor lokal, salah satunya kelompok sayap kanan.
Baca juga: Rektor Udayana: Berita Bohong Menggerus Kepercayaan
Dari sisi teknologi, ancaman disinformasi dari perkembangan kecerdasan buatan juga perlu diantisipasi. Deep fake untuk membuat video palsu bisa ikut memberi dampak negatif. Namun, seorang peneliti senior dari sebuah lembaga think thank di Washington DC juga mengingatkan potensi penggunaan teknologi kecerdasan buatan untuk membuat konten teks palsu. Teknologinya sudah ada.
Buchanan dan kawan-kawan dalam hasil kajiannya, Truth, Lies, and Automation: How Language Models Could Change Disinformation (2021), menuturkan, teknologi pemodelan bahasa autoregresi dapat menghasilkan teks serupa dengan yang dihasilkan manusia. ”Di tangan pihak yang salah, teknologi seperti GPT-3 (generative pre-trained transformer) dapat, di bawah arahan dan pemantauan dari manusia, membuat disinformasi lebih kuat, lebih terstruktur, dan lebih efisien,” tutur Buchanan dan kawan-kawan.
AS kerap menjadi salah satu rujukan ketika membicarakan disinformasi. Sebelum masyarakat Indonesia menghadapi banjir disinformasi di Pemilu 2019, ”alarm” peringatan sudah datang dari Pemilihan Presiden AS di tahun 2016. Disinformasi yang banyak tersebar di media sosial ketika itu disebut-sebut turut memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan. Beberapa bulan sebelum itu, referendum Brexit di Inggris yang menghasilkan keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa juga turut diwarnai oleh disinformasi.
Karakter disinformasi di Pemilihan Presiden 2024 akan berbeda karena aktor jahat akan belajar dari aktor jahat yang lain. Akan ada hal yang sama, tetapi juga akan ada evolusi.
Keterbelahan
Di AS, dampak dari disinformasi dalam politik masih tampak membekas. Kesan itu, setidaknya tertangkap ketika mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) dengan tema ”Combating Disinformation and Protecting Free Speech Online”, di sejumlah negara bagian di AS pada pertengahan Juli hingga awal Agustus 2022. Dari tayangan di televisi maupun di surat kabar, polarisasi politik di AS terasa kuat, utamanya di antara pendukung Partai Republik dan Demokrat.
Baca juga: Polutan yang Mencekik Demokrasi
Kami berada di AS ketika ada dua peristiwa penting tengah berlangsung terkait dengan relasi antara disinformasi, kebebasan berpendapat, dan demokrasi. Peristiwa pertama ialah Dewan Perwakilan Rakyat AS tengah menginvestigasi insiden 6 Januari, yakni penyerangan terhadap Gedung Capitol, kantor DPR dan Senat AS di Washington DC oleh pendukung Presiden Donald Trump yang ingin menghalangi sertifikasi kemenangan Joe Biden dalam Pilpres 2020.
Dalam pilpres tersebut, Trump yang dinominasikan oleh Partai Republik dikalahkan oleh Biden dari Partai Demokrat. Namun, Trump menyebut pilpres telah dicurangi dan tidak mengakui kemenangan Biden. Narasi soal pemilu dicurangi ini sudah digaungkan Trump kandidat petahana, bahkan sebelum pemungutan suara dimulai. Sebagian pendukung Trump percaya pada hal ini. Politisi Partai Republik yang tak mendukung pandangan Trump soal hasil pemilu ini diserang habis-habisan oleh Trump dan pendukungnya.
Peristiwa kedua ialah persidangan perdata Alex Jones, seorang penganut teori konspirasi yang menyebut penembakan massal di sekolah dasar Sandy Hook di Connecticut tahun 2012 sebagai hoax. Dia menyebut peristiwa yang menewaskan 27 orang, dengan korban mayoritas anak-anak itu sebagai kebohongan yang dibuat pemerintah untuk mendorong kontrol terhadap senjata. Di AS, isu pengendalian kepemilikan senjata sangat politis dan membelah masyarakat.
Jones kepada penggemarnya di Infowars, sebuah website sayap kanan konspiratif menyebut, peristiwa itu hanya dilakukan oleh aktor dan anak-anak itu tidak tewas. Ayah Jesse Lewis, korban tewas berusia enam tahun menuntut Jones 150 juta dollar AS. Pengadilan memerintahkan Jones membayar ganti rugi tambahan 45,2 juta dollar dan ganti rugi 4,2 juta dollar kepada orangtua Lewis.
Memahami persoalan
Selama mengikuti program IVLP selama lebih kurang tiga pekan di Washington DC, New York, Florida, dan California, kami berdiskusi dan bertukar pikiran dengan banyak pemangku kepentingan terkait isu ini; peneliti, penegak hukum, kelompok masyarakat sipil, wartawan, representasi perusahaan teknologi informasi, dan konsultan politik. Secara umum, benang merah yang tertangkap ialah disinformasi menjadi ancaman yang tak dapat dipandang sebelah mata.
”Konsekuensi dari informasi yang salah, membuat seseorang membuat keputusan yang buruk dan bisa berujung pada tindakan berbahaya. Penembakan di sebuah supermarket di Buffalo (di New York) terjadi karena pelakunya percaya pada teori konspirasi bahwa orang kulit putih tengah diganti (oleh imigran dan nonkulit putih),” kata Mike Webb, Senior Vice President of Communication, News Literacy Project di Washington DC.
Baca juga: Ibu Negara, Pelobi Politik, dan Monumen
Di berbagai belahan dunia, disinformasi menimbulkan kekhawatiran. Laporan Edelman Trust Barometer tahun 2022 menunjukkan 76 persen responden secara global khawatir bahwa kabar bohong digunakan sebagai senjata. Kekhawatiran ini meningkat dibandingkan laporan serupa di tahun 2021 yang mencapai 74 persen. Di Indonesia, 83 persen responden mengaku khawatir, lebih tinggi ketimbang di AS yang tercatat 72 persen.
Laporan ini bisa dibaca dari dua sudut pandang. Di satu sisi, bisa dimaknai positif bahwa disinformasi disadari sebagai masalah oleh berbagai komponen masyarakat. Mengakui bahwa persoalan itu ada menjadi langkah awal untuk mencari solusi dari persoalan.
Informasi yang terlampau banyak ketika bertemu dengan eco chambers (mendapat paparan informasi yang sama terus menerus), algoritma, dan konsumsi informasi yang pasif membuat kita makin rentan terhadap misinformasi.
Di sisi lain, indikator itu bisa dipandang negatif bahwa kekhawatiran itu menandai masyarakat sudah merasakan disinformasi dijadikan senjata untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi. Selain itu, jika tidak berhati-hati mencari solusi yang tepat, dari sisi psikologi politik, masyarakat yang merasa berhadapan dengan ancaman menakutkan, bersedia melepaskan sebagian dari kebebasannya demi ”selamat” dari ancaman itu. Dalam hal disinformasi, kebebasan berpendapat dapat menjadi salah satu yang terancam untuk dikorbankan.
Untuk itu bisa menghasilkan solusi tepat sasaran, maka hal-hal yang dapat menyebabkan disinformasi muncul dan tersebar di masyarakat perlu digali. Perkembangan pesat teknologi informasi yang tidak diikuti dengan daya kritis masyarakat ditengarai jadi salah satu penyebab berkembangnya disinformasi.
”Informasi yang terlampau banyak ketika bertemu dengan eco chambers (mendapat paparan informasi yang sama terus menerus), algoritma, dan konsumsi informasi yang pasif membuat kita makin rentan terhadap misinformasi,” kata Mike Webb.
Di ruang daring, informasi yang berputar membanjiri masyarakat. Berdasarkan data yang dikutip News Literary Project, misalnya, di tahun 2021, sebanyak 61 persen populasi dunia terkoneksi dengan internet di mana 92 persen di antaranya akses melalui telepon genggam. Setiap menit di seluruh dunia ada 575.000 cuitan Twitter diproduksi, 65.000 foto dibagikan di Instagram, 240.000 foto diunggah ke Facebook, 694.000 jam streaming Youtube, 167 juta pengguna menonton video Tiktok, ada 5,7 juta pencarian di Google.
Benjamin Kirby, konsultan politik yang pernah bergabung dengan tim kampanye Bill Clinton di Arkansas tahun 1992 dan menjadi tim pemenangan salah seorang calon Gubernur Florida di pemilihan pendahuluan Partai Demokrat tahun 2022, menuturkan, masyarakat tengah berada dalam kondisi di mana disinformasi dapat dengan mudah terjadi.
Menurut dia, media massa arus utama menerapkan prinsip pemberitaan 24 jam dan saling berkompetisi untuk menyajikan breaking news. Dalam kaitan dengan pemilihan umum, masa kampanye yang terlampau panjang juga membuat masyarakat menjadi jenuh, sebab tidak ada orang yang mau terus menerus selama berbulan-bulan mendengar soal kandidat dalam pemilihan. Akibatnya, mereka tidak lagi mendengarkan isu yang disampaikan maupun mengikuti kandidat. Masyarakat menjadi tidak terkoneksi sehingga rentan pula untuk terpapar disinformasi.
Ketika saya sampaikan di Indonesia diputuskan masa kampanye dipersingkat dari sebelumnya di Pemilu 2019 mencapai 203 hari menjadi 75 hari di Pemilu 2024dengan alasan mencegah ujaran kebencian dan disinformasi serta polarisasi, dia menilai hal itu bisa menjadi sesuatu yang baik. Bagi dia masa kampanye yang hanya 75 hari itu akan bisa lebih baik ketimbang masa kampanye dimulai dua tahun sebelum pemilihan.
”Apakah ini (memendekkan masa kampanye) bisa menjadi solusi (disinformasi)? Menurut saya ini bisa menjadi bagian dari solusi,” katanya.
Hanya saja, soal paparan informasi yang membanjir, boleh jadi hanya bagian kecil dari persoalan yang memungkinkan disinformasi berkembang. Ben Wizner, Director Speech, Privacy, and Technology Project dari American Civil Liberties Union Foundation yang bermarkas di New York mengingatkan, setelah Pilpres AS 2016, banyak orang yang mencari penjelasan di luar politik tradisional, seperti perbuatan jahat dari kekuatan asing. Bertahun-tahun dilakukan investigasi terkait peranan Rusia dalam hal ini. Ada pula investigasi mengenai disinformasi yang terjadi di sosial media.
”Tetapi amat sedikit diskusi mengenai faktor inti yang mendasari disrupsi politik itu, yakni gaji minimum masyarakat (di AS) sudah stagnan sejak tahun 1970-an dan kesenjangan meningkat signifikan. Kondisi ini yang membuat orang yang hadir dengan pesan populis menemukan audiens yang tertarik,” ungkap Ben.