Kamis, 1 September 2022, Albert Hasibuan, meninggal dunia. ia politisi yang punya prinsip teguh pada manusia dan kemanusiaan.Ia juga bergerak berdasarkan suara nurani, punya karakter kuat dan mendambakan keberagaman.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Kamis, 1 September 2022, menjelang siang, telepon genggam saya berbunyi. Tertera nama Bara Hasibuan. Saya sedang berada di Yogyakarta. Dengan tercekat, Bara mengabarkan, ”Babe meninggal.” Hubungan telepon kami tiba-tiba terputus. Saya telepon balik Bara. Ia mengabarkan, ayahnya, Albert Hasibuan, meninggal, Kamis, 1 September 2022, pukul 11.28. Saya berdoa, Requiem aeternam dona ei, Domine, et lux perpetua luceat ei. Requiescat in pace. Amen. Berikan perhentian abadi kepadanya, ya, Tuhan, dan semoga cahaya abadi menyinari dia. Semoga ia beristirahat dalam damai. Amin.
Kamis malam, saya balik ke Jakarta dengan kereta. Saya datang ke rumah almarhum di kawasan Permata Hijau, Jumat pagi. Beberapa kali rumah itu saya kunjungi untuk kepentingan wawancara. Tidak ada yang berubah di rumah itu. Karangan bunga dari sejumlah tokoh terpampang. Sejumlah politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) hadir melayat. Ada Bima Arya. Begitu juga politisi Partai Demokrat, Benny K Harman, Andi Arief, dan Presiden RI periode 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, hadir juga Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II Dipo Alam serta anggota Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab. Albert pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada era Presiden Yudhoyono.
Saya cukup lama mengenal Albert, ahli hukum dan politisi, kelahiran 25 Maret 1939. Ia orang Batak, tetapi sangat njawani. Pada era Orde Baru, ”koalisi” Albert Hasibuan, Marzuki Darusman, Theo Sambuaga, dan Martin Hutabarat sangat menentukan wajah Golkar di era kekuasaan Presiden Soeharto. Di Komnas HAM, Albert bersama Marzuki Darusman, HS Dhillon, dan Asmara Nababan banyak memberi warna. ”Kini tinggal Kiki (Marzuki Darusman) dari empat orang yang hampir setiap sore mendiskusikan soal kondisi hak asasi manusia dan politik,” kata Amiruddin yang kini jadi Wakil Ketua Komnas HAM. Amiruddin berperan sebagai ”pencatat”.
Sebagai ahli hukum, politisi, dan anggota Komnas HAM, Albert tergolong politisi yang punya prinsip teguh. Ia bukan politisi yang hanya mau bekerja di gedung mewah, tetapi sosok yang mau bergerak di jalanan, di penjara, di pedalaman, dan di tempat-tempat di mana banyak ditemukan ketidakadilan. Ia bergerak ke penjara dan ke dusun di Ketapang, Kalimantan Barat, untuk menemui keluarga korban peradilan sesat, Lingah-Pacah.
"Kamis malam, saya balik ke Jakarta dengan kereta. Saya datang ke rumah almarhum di kawasan Permata Hijau, Jumat pagi. Beberapa kali rumah itu saya kunjungi untuk kepentingan wawancara. Tidak ada yang berubah di rumah itu"
Saya teringat tujuh dosa sosial yang dirumuskan Mahatma Gandhi. Gandhi pernah merumuskan tujuh dosa sosial, yakni kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.
Saya mengikuti penziarahan dan perjuangan politik dan hukum Albert sejak mengungkap dua kasus ”peradilan sesat” Sengkon-Karta di Bekasi (1980) dan Lingah-Pacah di Ketapang (1987). Kasus Sengkon-Karta membawa perubahan dengan diintroduksinya peninjauan kembali (PK) di KUHAP guna menghindari peradilan sesat.
Albert pun ikut dalam perburuan harta hasil korupsi Pertamina yang dikuasai Kartika Thaher di Singapura (1992) yang memakan waktu bertahun-tahun sampai ke dana hasil korupsi itu bisa ditarik pemerintah. Menjadi ketua tim penyelidikan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur (1999) dan ketua tim penyelidikan kerusuhan Mei 1998 (2000). Penziarahan Albert memberikan sebuah pesan kuat minimal kepada saya: ia adalah politisi yang punya prinsip teguh pada manusia dan kemanusiaan. Ia bergerak berdasarkan suara nurani. Ia punya karakter yang kuat dan sangat mendambakan keberagaman dan dihormatinya hak asasi manusia. Ia pun banyak berkorban untuk perjuangannya. Satunya kata dan perbuatan menjadi cirinya. Bukan hanya menjalankan politik dengan kemunafikan. Politik panggung depan dan panggung belakang.
"Albert bersama dengan sejumlah tokoh mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) bersama Amien Rais. Lima puluh orang tokoh itu memberikan pernyataan terbuka dan meminta Presiden Soeharto mundur. Aktivis MARA kemudian mendirikan PAN, Albert termasuk salah seorang pendirinya"
Risiko ancaman kehilangan nyawa beberapa kali dialami. Sebagaimana tertera dalam buku Memoar Albert Hasibuan (2010), ia menceritakan bagaimana dia bersama Benjamin Mangkoedilaga dan saya di tempat terpisah di Ambon dihadang massa dengan kelewang di tangan. Massa bergerak karena provokasi. Beruntung kami semua bisa selamat dari kepungan massa yang sedang marah tak terkendali.
Keberanian Albert juga tampak ketika dia menjemput Pius Lustrilanang dari Palembang untuk dibawa ke Jakarta tahun 1998. Pius adalah korban penculikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru. Albert menjemput Pius dan membawa ke Komnas HAM untuk memberikan kesaksian. Harian Kompas 29 April 1998 terpampang foto Pius Lustrilanang, Samsuddin (anggota Komnas HAM), dan Albert Hasibuan mendampingi.
Di depan puluhan wartawan, Pius bersaksi mengenai penyiksaan yang dialaminya. ”Saya bicara begini dengan risiko mati, tetapi saya pilih itu karena saya ingin semua itu diakhiri.” Lewat sebuah operasi sunyi, Pius langsung diterbangkan ke Amsterdam, Belanda, seusai bersaksi di Komnas HAM.
Kemunculan Pius di depan publik, akibat kerja-kerja rahasia Albert bersama jaringan aktivis LSM, menjadi titik awal pengungkapan kasus penculikan dan ikut mendorong ambruknya Orde Baru pada 21 Mei 1998. Menjelang Orde Baru runtuh, Albert bersama dengan sejumlah tokoh mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) bersama Amien Rais. Lima puluh orang tokoh itu memberikan pernyataan terbuka dan meminta Presiden Soeharto mundur. Aktivis MARA kemudian mendirikan PAN, Albert termasuk salah seorang pendirinya.
Albert telah berpulang dipeluk tanah makam di pemakaman Tanah Kusir. Ia menjadi salah seorang politisi yang telah meninggalkan legacy bagi bangsanya. Legacy untuk menghormati hak asasi manusia dan legacy tentang perjuangan melawan korupsi karena ia adalah pendiri Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita). Gerakan menarik kembali aset yang telah dibawa lari koruptor.