Keinginan pemerintah menerbitkan perppu mengubah UU Pemilu dinilai tidak tepat. Jika perppu itu digunakan agar Pemilu 2024 bisa diadakan di daerah otonomi baru, bisa melakukan revisi UU Pemilu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai tidak tepat. Penerbitan perppu tersebut tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri mengungkap bahwa pemerintah tengah merapikan rumusan-rumusan yang akan diatur dalam perppu. Pemerintah menyiapkan perppu ini agar penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 bisa diselenggarakan di daerah-daerah otonomi baru di Papua, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Kini, satu RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua juga sedang dibahas, yakni DOB Papua Barat Daya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pemerintah mengupayakan agar penyusunan perppu itu selesai Oktober. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengungkapkan, perppu tersebut untuk mengubah Lampiran I, II, dan II terkait penataan daerah pemilihan di DOB, seperti Papua Selatan (Kompas, 2/9/2022).
Guru Besar Ilmu Perundangan-undangan Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, Jumat (2/9/2022), mempertanyakan pilihan kebijakan yang diambil dalam mengubah UU Pemilu. Pemerintah perlu memberikan penjelasan tentang alasan penerbitan perppu tersebut.
”Sebab, dengan semakin tidak adanya pembeda kapan suatu pengaturan harus dengan undang-undang dan kapan dengan perppu, akan menjadikan perppu tidak lagi bernilai sebagai produk hukum khusus dalam keadaan tertentu yang tidak sesuai maksud awal keberadaan Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur perppu sebagai produk hukum khusus,” kata Bayu yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember.
Apabila mengacu pada Pasal 22 UUD 1945, konstitusi memberi kewenangan kepada presiden untuk menerbitkan perppu. Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberi rambu-rambu kapan penerbitan perppu dapat dilakukan. Rambu-rambu itu meliputi adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
”Kalau perubahan terbatas, kan, tidak butuh waktu yang lama, proses cepat juga bisa. Coba lihat rekaman ke belakang, beberapa UU yang materi perubahannya banak saja bisa selesai dalam waktu tujuh hari,” kata Bayu yang mengungkapkan apalagi saat ini DPR juga sedang dalam masa sidang.
Tidak ada halangan bagi DPR untuk segera mengajukan revisi UU Pemilu.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan DPR memiliki kebiasaan membentuk sebuah regulasi secara cepat. Para pengamat bahkan menilainya proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang dilakukan secara ugal-ugalan. Misalnya, UU Komisi Pemberantasan Korupsi diselesaikan dalam waktu 12 hari, perubahan UU Mahkamah Konstitusi diselesaikan dalam tujuh hari, UU Ibu Kota Negara dirampungkan dalam waktu 42 hari, dan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibahas selama 10 hari.
Menurut Bayu, tidak ada halangan bagi DPR untuk segera mengajukan revisi UU Pemilu. DPR lebih tepat bertindak sebagai pengusul revisi. ”Kalau UU terkait politik kenegaraan seperti pemilu ini, sebaiknya DPR. Apalagi kekuasaan membentuk UU di Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, kan, DPR,” kata Bayu.
Ia mengusulkan agar DPR menggunakan mekanisme Rancangan Undang-Undang di Luar Prolegnas yang diatur di UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Disebutkan di dalam Pasal 23 Ayat (2) Huruf b UU PPP itu bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas yang mencakup keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi dan menteri yang menyelenggaran urusan pemerintahan di bidang hukum.
Dapil baru
Persoalan penetapan daerah pemilihan (dapil) di DOB sebelumnya pernah dibawa ke MK oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Agustyati dan Irmalidarti. Mereka meminta MK agar penataan dapil dikembalikan sesuai keinginan Pasal 185 UU No 7/2017 yang mengatur tujuh prinsip penyusunan dapil yang berlaku secara kumulatif. Tujuh prinsip itu ialah kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, ada proporsionalitas, integritas wilayah, berada dalam cakupan wilayan yang sama, ada kohesivitas, dan berkesinambungan.
”Kami sama sekali tidak tahu bagaimana proses penyusunan daerah pemilihan yang kemudian menjadi lampiran dalam UU a quo. Kita tidak tahu data penduduk yang digunakan yang mana, kemudian bagaimana proses penyusunan daerah pemilihannya, dan yang paling penting dari proses pemeriksaan yang kami lakukan terhadap lampiran 3 dan lampiran 4 UU No 7/2017 terdapat pertentangan dengan prinsip penyusuunan dapil yang ada di Pasal 185 UU No 7/2017,” tutur Fadli Ramadhanil, salah satu kuasa hukum pemohon uji materi dalam sidang MK, Kamis (1/9/2022).
Ketidakpastian hukum lainnya adalah UU Pemilu menyebutkan dapil DPRD kabupaten/kota disebutkan diatur melalui peraturan KPU. Namun, dapil untuk DPR RI dan DPRD provinsi tersebut sudah menjadi lampiran UU Pemilu. Hal tersebut makin menegaskan inkonsistensi dan ketidakpastian dalam mengatur suatu situasi dan keadaan hukum yang sama, tetapi dengan klausul yang berbeda.